Senin, 31 Desember 2007

KESETIAAN-KESETIAAN NAN AGUNG

Sejarah selalu mencatat cerita-cerita tentang sebuah kesetiaan. Sesuatu yang kelihatan mulai luntur dari diri kita, baik itu sebagai pribadi maupun hubungan manusia secara lebih luas. Zaman memang selalu berubah dan kita pun demikian. Kesetiaan yang dulu sangatlah diagungkan lambat laun mulai tergerus. Komitmen bersama yang melandasi sebuah kesetiaan mulai terbeli oleh harta, kedudukan dan cita rasa duniawi semata. Kesetiaan kita kepada tuhan tergadai oleh rutinitas semu yang membelenggu dari waktu ke waktu, hingga tak ada ruang lagi untuk-Nya. Kesetiaan kita pada tanah kelahiran tergadai oleh materi yang memabukan hingga rela berkhianat pada negeri yang telah memberi hidup. Kesetiaan pada negara dan bangsa juga telah tergantikan oleh kepentingan perorangan atau kelompok yang mengatasnamakan kepentingan umum, politik atau ekonomi. Lihatlah sebagian kekayaan alam negeri ini yang telah dikuasai oleh modal-modal asing dan hanya segelintir konglomerat pribumi yang menikmatinya.

Dalam relasi yang lebih kecil, kesetiaan kita pada teman atau mungkin pasangan hidup terlihat mulai meluntur juga. Banyak yang lupa akan asal-usulnya. Seperti orang bilang, kacang lupa akan kulitnya. Mereka yang telah berada diatas seakan tak mau menengok lagi ke bawah. Mereka lupa akan saudara-saudaranya yang masih berkutat dalam lubang kemiskinan. Padahal, dari situlah mereka juga bermula.

Sementara itu lunturnya kesetiaan antar pasangan hidup, dapat dilihat dari tingginya angka perceraian, banyaknya kasus perselingkuhan dan berantakannya banyak biduk rumah tangga yang berawal dari rasa saling curiga, saling tidak percaya yang akhirnya memuncak menjadi sebuah kehancuran. Memang, hidup di era terbuka seperti ini lebih banyak godaannya. Segala hal dan kemudahan dapat kita peroleh. Seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain dengan bebas dan leluasa. Ruang yang makin menyempit ini juga memberikan kelonggaran bagi seseorang untuk berbuat melampaui komitmen yang telah mereka buat. Perbincangan sesaat bisa meruntuhkan bangunan kepercayaan yang begitu kokoh. Bermula dari saling sapa, saling kenal, saling jalan dan akhirnya berakhir di ranjang. Alangkah mudahnya mereka melepas dan melupakan komitmen, padahal secara langsung  itu berhubungan dengan dua hati. Apabila ada satu yang tersakiti, sangatlah sulit membuatnya sembuh kembali.

Melihat hal-hal diatas, saya jadi teringat kisah-kisah tentang kesetiaan nan agung sepanjang zaman, baik itu berupa dongengan, kisah nyata, atau sisi sejarah lainnya. Kesetiaan kepada tuhan, kesetiaan kepada janji, kesetiaan kepada pasangan, kesetiaan kepada kawan, kesetiaan kepada tanah air dan kesetiaan-kesetiaan lainnya. Mereka memegang teguh komitmennya dengan sempurna sampai maut memisahkan dari raga.

Cerita klasik Ramayana salah satunya. Sebuah epos yang memberi pelajaran kepada kita tentang betapa agungnya kesetiaan dalam berbagai bentuk. Kesetiaan seorang perempuan kepada suaminya diperlihatkan dengan indah oleh Dewi Sinta. Ia selalu menjaga kesuciaannya dari Rahwana, raksasa yang menculiknya dan menginginkannya menjadi istri. Berbagai daya upaya dilakukan Rahwana, tetapi Dewi Sinta tetap memegang teguh komitmennya. Ia tetap setia pada Sri Rama, suaminya. Setelah terbebaspun, ia harus mendapat cobaan lagi. Sri Rama ternyata meragukan kesuciaannya. Akhirnya, dengan tulus ikhlas ia rela membakar diri (pati obong)  untuk membuktikan kesetiaannya pada Sri Rama.

Kesetiaan pada nusa dan bangsa diperlihatkan dengan gagah oleh Kumbakarna, adik Rahwana. Walau ia berbeda pendapat dengan kakaknya dalam berbagai hal sampai ia diasingkan dari istana tetapi sewaktu negerinya membutuhkan tenaganya ia siap sedia membela. Memang, apa yang dilakukan kakaknya adalah salah. Tetapi ia tidak dapat membiarkan negeri yang telah memberinya hidup hancur oleh pasukan kera Sri Rama. Ia membela tanah kelahirannya, bukan membela tindakan Rahwana. Dengan gagah berani ia seorang diri maju ke medan laga. Banyak tentara musuh kocar-kacir sampai akhirnya ia gugur juga. Gugur dengan nama harum membela bumi pertiwi yang amat dicintainya.

Masih banyak sebenarnya sejarah masa lalu yang mengandung nilai-nilai agung kesetiaan. Akan tetapi terbatasnya waktu membuat saya hanya menukilkan salah satunya tadi. Sebagai tambahan saya tampilkan pula  kisah nyata tentang sebuah kesetiaan di zaman modern. Kesetiaan yang mengandung kearifan lokal. Kesetiaan seorang Raden Ngabehi Surakso Hargo atau lebih terkenal dengan nama Mbah Maridjan kepada tuhannya, kepada rajanya, kepada lingkungannya dan kepada Gunung Merapi yang menjadi tanggungjawabnya. Ia selalu menjaga komitmennya untuk setia menjaga Gunung Merapi, apapun yang akan terjadi. Ia tidak akan turun gunung walau Merapi meletus. Ia mengemban amanah Sri Sultan HB IX, Raja Yogyakarta terdahulu. Sewaktu Merapi memperlihatkan tanda- tanda akan meletus, banyak pihak termasuk penguasa, memintanya turun. Ia teguh dengan pendiriannya. Akhirnya Merapi memang meletus tidak terlalu besar. Mbah Maridjan menyerahkan hidup dan kesetiaanya kepada tuhan dan alam Merapi yang begitu dikenalnya. Karena keteguhan hatinya, Mbah Maridjan sangat dihormati dan menjadi anutan banyak orang. Berbagai tawaran menggiurkan datang dari berbagai tokoh politik atau organisasi tertentu untuk ikut di dalamnya selalu ditolak dengan ramah. Bahkan, honor dari iklan jamu kondang yang dibintanginya diberikan untuk masyarakat dan alam Merapi. Sekali lagi, Mbah Maridjan menunjukkan kesetiaannya.

Demikianlah, beberapa cerita nan agung tentang sebuah kesetiaan. Apabila kita memiliki jiwa-jiwa Dewi Sinta, Kumbakarna ataupun Mbah Maridjan niscaya tatanan kehidupan akan terjaga baik. Mereka memperlihatkan jiwa dan karakter luhur dalam kesederhanaannya. Sesuatu yang jarang kita temui di masa kini.

Pesan saya secara pribadi, berpegang teguhlah pada komitmen yang Anda buat dalam berbagi hal. Janganlah mudah goyah oleh hantaman apapun. Janganlah begitu mudah melepas komitmen sampai mungkin orang lain yang terlebih dahulu melanggar komitmen yang Anda buat bersama. Semoga kita selalu menemukan solusi masalah-masalah yang kita hadapi.

Tulisan ini saya posting kembali dari blog friendster saya , www.imam77.blogs.friendster.com/my_blog/
spesial untuk my lovely sist untuk segala kesetiaannya....

Sabtu, 29 Desember 2007

JEJAK-JEJAK PENSIL

Sebentar lagi tahun 2007 akan meninggalkan kita. Segera akan kita sambut fajar baru tahun 2008. Sebenarnya itu adalah hal biasa dan merupakan hukum alam, dimana waktu akan terus merambat sepanjang zaman. Tetapi yang perlu kita renungkan adalah betapa sang waktu merambat begitu cepat. Serasa baru kemarin kita menjadi anak kecil yang bermain lepas kesana-kemari tanpa beban kini telah menjadi orang dewasa dengan segala problemanya yang bertubi-tubi. Serasa baru kemarin kita bertegur sapa dengan orang-orang yang kita kasihi sekarang mereka telah pergi meninggalkan kita satu persatu. Serasa baru kemarin kita mereguk nikmat kebahagiaan kini kesedihan-kesedihan melanda tak terkira. Memang, segala sesuatu berjalan tanpa bisa kita duga dan sadari. Hanya perenungan-perenungan yang menyadarkan kita tentang hakikat hidup dan kehidupan yang kita jalani.

Hidup ini penuh tamsil, bila mau memahaminya. Alam adalah guru yang baik bagi kita. Mengajarkan nilai-nilai melalui tamsil-tamsilnya yang tersebar di jagad mayapada ini. Lewat sebuah pensil, Pablo Coelho dalam bukunya The Story of The Pencil secara gamblang menamsilkan betapa pensil tidak hanya bisa dijadikan rujukan dalam membentuk kepribadian, tetapi juga menyadarkan bagaimana kita memandang segala hal di luar diri kita. Seperti yang diterjemahkan oleh Sitok Srengenge dalam kolomnya di sebuah harian berikut ini.

****
Seorang bocah menyaksikan neneknya sedang menulis sepucuk surat. Seketika si bocah bertanya, ”Nenek menulis tentang apa yang telah kita kerjakan? Apakah itu cerita tentang aku?”

Sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya : ”Nenek memang menulis tentang kamu, tapi yang lebih penting daripada cerita ini adalah pensil yang Nenek gunakan. Nenek harap, ketika dewasa nanti, kamu akan seperti pensil ini.”

Si bocah memandang pensil itu. Tak ada yang istimewa. “Tapi nek, ini tak beda dari pensil-pensil lain yang pernah kulihat.”

“Itu tergantung bagaimana kamu memandang sesuatu,” sahut sang nenek.

Pensil ini, lanjutnya, punya lima keistimewaan yang bila kamu kelola secara baik, akan menjadikanmu seseorang yang senantiasa berdamai dengan dunia.

Pertama, kamu berbakat menghasilkan sesuatu yang hebat, tapi jangan pernah lupa ada tangan yang membimbing langkahmu. Kita sebut itu tangan tuhan dan Dia senantisa membimbing kita sesuai kehendak-Nya.

Kedua, sekarang dan nanti, Nenek harus berhenti menulis dan menggunakan sebuah rautan. Itu akan membuat pensil ini sedikit menderita, tapi setelah itu ia akan lebih tajam. Kamu juga begitu, harus belajar menahan sakit dan derita, sebab semua itu akan membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik.

Ketiga, pensil ini selalu mengingatkan kita agar menggunakan penyetip untuk menghapus kesalahan. Artinya, mengoreksi segala yang telah kita lakukan bukanlah hal yang buruk, dan akan membantu menjaga kita tetap pada jalan menuju keadilan.

Keempat, apakah sesungguhnya yang berarti pada sebatang pensil bukanlah kayu bagian luar, melainkan grafit yang berada di bagian dalam. Maka selalu perhatikan apa yang terjadi di dalam dirimu.

Terakhir, yang kelima, pensil selalu meninggalkan jejak. Dengan cara yang sama, kamu musti tahu bahwa apapun yang kamu lakukan dalam hidup akan meninggalkan jejak, maka sadarilah setiap tindakanmu.

***

Demikianlah, sang alchemist Pablo Coelho mengungkapkan tamsil kehidupan sebuah pensil melalui percakapan seorang nenek dan cucunya. Di dalamnya terkandung pesan agar kita selalu arif dan bijak menyikapi segala sesuatu dalam hidup ini. Hidup adalah sebuah anugerah, dimana segala warna-warninya ada disitu silih berganti. Nikmatilah semua itu dengan tetap selalu yakin bahwa tuhan bersama kita.

Tahun 2007 akan segera kita tutup. Jejak-jejak kita yang tertinggal di tahun tersebut akan menjadi kenangan indah di tahun berikutnya sebagai pelajaran untuk melangkah ke depan dengan lebih baik. Semoga tahun 2008 memberikan pencerahan dan kehidupan yang lebih baik bagi kita semua.

SELAMAT TAHUN BARU 2008 UNTUK KAWAN-KAWAN SEMUA.

Wates city of Pepunden, 29 Desember 2007

Rabu, 26 Desember 2007

MY BUTUT SHOES




Aku sebenarnya enggan menulis ini,tapi karena ide di kepala yang benar-benar bagus tak jua muncul, jadilah kutulis ini. Beberapa hari terakhir ini banyak kawan-kawan yang menyindir kebiasaanku selalu memakai sepatu butut bila ke tempat kerja. Sebenarnya maksud mereka baik, menyarankan agar aku tampil lebih rapi dan klimis, salah satunya ya mengganti sepatu butut andalanku ini dengan yang baru. Tetapi seperti biasa aku tetap tak bergeming, tetap setia dengan sepatu bututku. Jangan lihat sepatu ini dari nilai nominal atau fisiknya, tapi lihatlah sepatu ini dari nilai sejarahnya. Begitu timpalku membalas sindiran mereka.

Memang, sepatu yang satu ini sangat berarti sekali buatku. Mempunyai riwayat dan sejarah panjang dalam perjalanan hidupku. Bukan karena percaya mitos atupun sejenisnya bila aku enggan membuang atau menggantinya, tapi itulah bentuk kesetianku terhadap sesuatu walaupun cuma sekedar barang biasa saja. Selain itu juga sebagai bentuk penghormatan padanya yang telah menemani langkah-langkahku hampir lebih dari sepuluh tahun sejak lulus SMA dulu. Dan aku ingin lebih memperpanjang sejarah perjuangan sepatu ini hingga suatu saat pensiun kemudian menghuni museum pribadiku sebagai memorabilia yang paling berharga...hehehe.

Sepatu butut ini memang dibeli dengan murah, cuma harga pasar. Itupun dulu masih ditawar lagi :D. Tetapi kualitas dan mutunya tak kalah dengan merk-merk mahal yang terpampang di mall-mall besar. Terbukti masih bisa bertahan lebih dari sepuluh tahun meski wajahnya compang-camping tak karuan. Memang berat bila memiliki tuan seperti diriku ini. Harus rela terseok-seok hampir sepanjang hari. Sepatu ini pernah merasakan turun naik gunung dan berjalan tanpa henti menyusuri jalan-jalan besar. Maklumlah, dulu sebelum bisa beli motor sendiri, aku lebih sering jalan kaki walau itu jaraknya jauhnya minta ampun. Naik bus mungkin hanya sekali dua kali saja bila memang jaraknya tak terjangkau atau diburu waktu. Mungkin Anda berpikir aku terlalu pelit, bahkan untuk diri sendiri. Bukan begitu sebenarnya. Memang dulu keadaan keuanganku lumayan memprihatinkan. Tapi sekarang sudah mendingan. Sudah bisa beli motor, jajan hampir setiap hari, beli ini itu dan yang penting bisa nyangggongi warnet tiap hari...hehe. Jadi ngelantur ni bos...

Kembali ke sepatu butut ini. Ada beberapa keuntungan yang sebenarnya kuperoleh dengan memakai sepatu ini. Pertama, aman tidak khawatir diambil orang bila sewaktu-waktu mampir ke masjid. Kedua, tidak memerlukan perawatan khusus , semisal disemir atau dicuci karena dirawat sebaik apapun wajahnya tetaplah butut. Ketiga, sepatu ini elastis, bila diinjak bagian belakangnya bisa membentuk sepatu sandal sehingga multi fungsi. Bisa sebagai sepatu bisa juga sebagai sandal. Keempat, bobotnya yang lumayan besar bisa digunakan sebagi senjata. Misalnya, untuk melempar anjing atau hewan lain yang mengganggu. Niscaya akan terkapar tak berdaya. Bukan karena terkena lemparan sepatu tapi tersengat bau terasinya yang naudzubillah.....hehe. Manfaat kelima dan seterusnya silahkan Anda imajinasikan sendiri...

Terus terang sebenarnya aku orang yang berpenampilan nyante. Lebih suka bersandal jepit ria dibanding memakai sepatu. Njagong manten pun sering pake sandal jepit. Tetapi karena terpaksa mengikuti aturan umum, seperti di tempat kerja atau pertemuan-pertemuan formal lainnya aku memakai sepatu. Sepatu butut ini juga mewakili kenyantaianku dengan bentuknya yang fleksibel tadi. So, guys...thanks atas saran-sarannya, tetapi aku teramat setia dengan sepatu ini. My butut shoes, the ‘living’ legend...

Kamis, 13 Desember 2007

SARKEM




Pasar Kembang atau orang sering menyebutnya Sarkem, terletak di Kampung Sosrowijayan. Orang Jogja pasti mengenal kawasan ini. Sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kota Jogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu. Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Jogjakarta punya Sarkem yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu. (Bila saya sangat hafal tempat-tempat itu bukan berarti saya sering kesana lho, tapi mungkin karena pengetahuan saya terlalu luas...whakaka???)

Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya. Bagi wisatawan mancanegara, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun.

Nama Sarkem kembali menjadi wacana menarik belakangan ini ketika banyak orang mengusulkan agar dijadikan kawasan wisata andalan bagi Prpvinsi DIY. Termasuk kemungkinan sebagai wisata seks. Salah satu tokoh pariwisata dan perhotelan Jogjakarta dalam sebuah koran terbitan lokal mengemukakan bahwa banyak sekali tamu hotel yang minta diantar ke Sarkem setiap berkunjung ke Jogja sehingga kawasan ini cocok sekali digunakan sebagai sentra wista seks. Ia kemudian mencontohkan bahwa Malaysia dan Singapura pun telah memilikinya. Karena itu, selain akan menambah pendapatan daerah juga bisa memantau penyebaran HIV/AIDS sehingga terkendali sebab para PSK-nya terpusat di satu tempat saja.

Tentu saja wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Jogjakarta. Bahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai turut angkat bicara. Secara tegas orang nomor satu di keraton Jogjakarta itu menolak wacana tersebut. Sultan menginginkan Jogjakarta maju dan terkenal karena budaya dan keramahannya, bukan karena sisi gelapnya. Janganlah menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat.

Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia pariwisata ujung-ujungnya akan berkaitan dengan dunia malam atau sejenisnya. Setiap lokasi wisata yang terkenal dan maju umumnya juga memiliki wisata seks yang maju pula. Misalnya saja negara tetangga kita Thailand yang sangat maju dalam pariwisata. Disana wisata seks diolah dan digarap sedemikian rupa sehingga menarik minat turis asing untuk berdatangan. Seks menjadi hal yang umum di negara itu. Tetapi ekses negatifnya adalah penyebaran dan penularan HIV/AIDS juga berkembang pesat juga disana.

Sebagai orang yang pernah sedikit mengenyam ilmu dan berkecimpung di dunia pariwisata, saya tahu betul dilema-dilema dalam memajukan pariwisata di negara kita. Salah satunya adalah seperti hal diatas. Yang mungkin tidak pernah dipikirkan banyak orang adalah mengapa kita tidak mencari terobosan atau inovasi baru yang lebih fresh dan khas daripada melulu mengutak-atik seks sebagai sebuah komoditi wisata. Misalnya saja menggagas wisata buku atau wisata cyber yang banyak menggeliat di kota ini. Bukankah lebih baik kita menciptakan trend daripada mengekor trend? Siapa tahu hasilnya malah lebih menjanjikan…

Lepas dari itu semua, biarlah orang-orang pintar dan berkompeten yang berwacana di publik dan memikirkannya. Sebagai orang biasa, kita hanya bisa melihat dan mungkin sedikit mengkritisinya seperti ini saja. Biarlah Sarkem tetap dengan dunianya, melepaskan syair-syair malam diantara masyarakat Jogja yang sedang berubah. Yang penting sekarang ini seperti alunan lagu Kla Project...NIKMATI BERSAMA SUASANA JOGJA dengan segala warna-warninya.

Jogjakarta, 13 Desember 2007

Rabu, 12 Desember 2007

KALAH LAGI-KALAH LAGI...CAPE DEH ?!




Kalah dan gagal lagi. Itulah timnas sepakbola Indonesia. Seolah menerima kutukan berkepanjangan, tak pernah dunia persepakbolaan kita mempersembahkan prestasi yang membanggakan. Padahal kurang apalagi? Sepakbola merupakan olahraga yang paling digemari oleh jutaan orang Indonesia, kompetisi lokal berlangsung meriah dengan bertaburan pemain asing, dana milyaran rupiah baik dari APBD maupun sponsor mengalir deras untuk jalannya roda kompetisi dan juga siang malam hampir sepanjang hari tv kita menyuguhkan pertandingan-pertandingan sepakbola baik lokal maupun internasional. Tetapi itu semua berbanding terbalik dengan prestasi yang diraih. Jadi, apanya yang salah? Pakar atau ahli sepakbola sekaliber apapun tampaknya akan pusing tujuh keliling bila disuruh memikirkan dan mencari jawaban atas fenomena sepakbola kita tersebut.

Seperti juga halnya dengan yang diperlihatkan timnas U-23 kita yang bertarung di Sea Games kali ini. Hanya membutuhkan hasil seri saja untuk lolos ke semifinal melawan tim yang notabebe sudah lolos duluan, Thailand, timnas kita tak berkutik dan keok 2-1. Padahal tim ini sudah dipersiapkan begitu panjang, bahkan pernah tampil bagus saat melakukan ujicoba selama sepekan di Argentina. Bandingkan dengan Thailand yang cuma dipersiapkan seminggu menjelang Sea Games. Mengenai mental bermain juga sudah lumayan bagus dengan semangat tinggi yang pantang menyerah sampai menit terakhir. Pelatihpun juga bagus. Ivan Venkov Kolev adalah pelatih yang sudah lama malang melintang di Indonesia sehingga sangat mengenal dan tahu betul karakteristik pemain-pemain Indonesia. Bonus jutaan rupiah juga telah menanti setiap pemain apabila kemenangan demi kemenangan dapat diraih. Tapi itu semua belum cukup untuk membangkitkan prestasi sepakbola Indonesia.

Menurut kacamata pribadi saya sebagai seorang warga negara Indonesia yang sangat menggemari bola, mungkin ada beberapa faktor yang mempengaruhi tidak bagusnya prestasi sepakbola kita. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor teknis, psikis dan juga dapat dilihat dari sisi spiritual. Dari faktor taknis dapat dilihat bahwa pembinaan pemain-pemain muda kurang optimal. Banyaknya pemain-pemain asing yang bermain di liga membuat frekuensi bermain pemain-pemain lokal berkurang. Pemain kita hanya menjadi ban serep bagi pemain asing. Lihat saja, bila setiap klub boleh memiliki sampai lima pemain, maka setiap posisi vital dalam sebuah tim sudah terisi semua oleh pemain impor tersebut. Padahal kalo dipikir-pikir, pemain-pemain asing itulah sebenarnya yang menyedot anggaran APBD begitu banyak. Mereka digaji jauh diatas rata-rata pemain lokal. Memang tak dapat dipungkiri, dengan banyaknya pemain asing membuat jalannya kompetisi berjalan megah dan meriah. Liga kita menjadi salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Tetapi, apakah kita hanya memikirkan gebyar dari luar saja, padahal dalamnya kosong??

Kemudian dari dari faktor psikis dapat dilihat bahwa mental pemain kita harus lebih dibenahi lagi. Rata-rata pemain Indonesia lebih mengedepankan emosi dalam bermain. Ini dapat terlihat dari begitu banyaknya tindak kekerasan di lapangan hijau. Memprotes wasit sambil mendorong dan mengubernya hingga lari tungganglanggang sudah jamak terlihat. Apalagi bila penonton juga tersulut emosinya, aksi lempar batu pun tak bisa dihindari. Jadilah menonton sepakbola Indonesia kadang seperti di neraka. Ini semua sebenarnya tak bisa lepas dari mental bangsa Indonesia zaman ini secara keseluruhan. Memang setelah era kebebasan bergulir, terlihat sekali bahwa kita terserang euforia yang berkepanjangan. Segala hal dianggap baik dan bebas tak berbatas apalagi nanti bila dikaitkan dengan HAM. Mungkin kita memang sedang dalam masa transisi pencarian jatidiri bangsa setelah sekian lama kran kebebasan tersumbat. Sepakbola adalah cermin kecil dari wajah kekerasan bangsa kita dewasa ini. Membenahi mental sepakbola Indonesia akan berhasil bila mental bangsa kita secara keseluruhan mulai berangsur membaik kembali.

Yang mungkin banyak dilupakan orang adalah faktor spiritual. Ini mungkin juga merupakan gambaran secara umum bangsa kita juga. Sebagai bangsa yang mengaku bertuhan dan beragama ternyata banyak sekali kelakuan kita yang jauh dari nilai-nilai luhur agama. Korupsi, kolusi dan semacamnya merajalela di negeri ini. Seperti halnya di tubuh PSSI sendiri disinyalir banyak kolusi dan uang haram yang beredar. Ini misalnya terlihat dari keputusan-keputusan komisi disiplin PSSI yang kadang tidak sesuai fakta di lapangan dan malah merugikan sportivitas sepakbola itu sendiri. Yang lebih menggelikan lagi sekarang ini PSSI dikendalikan dari dalam penjara. Nurdin Halid, sang ketua umum PSSI, tersandung masalah korupsi lagi sehingga harus mendekam di penjara. Tokoh ini memang hobi keluar masuk bui. Mungkin karena kharismanya yang begitu tinggi, tak seorangpun mampu mendongkelnya dari tampuk kepemimpinan. Bahkan ancaman FIFA pun tak mamapu melengserkannya. Melihat hal tersebut, saya jadi berpikir jangan-jangan duit pembinaan sepakbola kita itu juga bernilai haram di mata tuhan. Kegagalan yang berkepanjangan ini semata-mata karena tuhan tidak ridla dengan kelakuan kita. Siapa tahu??

Demikianlah sekedar keluh kesah saya sebagai orang Indonesia yang mendambakan memiliki tim nasional sepakbola yang kuat dan mampu berbicara banyak di dunia internasional. Tulisan ini dibuat dengan hati geram setelah menyaksikan kekalahan timnas U-23 melawan Thailand dalam Sea Games kali ini. Semoga ke depan kita tetap bersemangat terus membangun sepabola Indonesia walau memang itu tak mudah...

Tambak,....

Jumat, 07 Desember 2007

KETIKA NGONTHEL MENJADI TREND


Ajakan untuk kembali menoleh sepeda sebagai alat transportasi yang sehat dan menyehatkan kini berkembang sebagai trend di berbagai daerah. Banyak kantor atau instansi baik pemerintah maupun swasta yang menganjurkan pegawainya untuk menggunakan sepeda pada hari-hari tertentu sewaktu berangkat ataupun pulang kantor. Umumnya mereka membentuk semacam klub atau perkumpulan yang secara rutin mengadakan kegiatan bersepeda bersama-sama.

Secara idealistis, kampanye penggunaan sepeda patut dihargai apabila didasari komitmen kuat dan sistematis untuk membangun hidup yang sehat. Baik bagi penggunanya maupun sebagai kontribusi kepada lingkungan. Jika bisa dilakukan secara massal dan konsisten, dapat dibayangkan berapa persen polusi udara dapat dikurangi dari kemungkinan penggunaan kendaraan bermotor. Sekaligus juga tercakup praktek penghematan bahan bakar minyak.

Yang perlu diperhatikan kemudian adalah fasilitas-fasilitas penunjang agar pengguna-pengguna sepeda mempunyai ruang yang cukup memadai di sepanjang ruas jalan. Arus lalu lintas yang campurbaur antara sepeda dengan kendaraan-kendaraan ataupun pengguna jalan lain akan membuat jalanan menjadi semrawut tak karuan. Selain itu sangatlah membahayakan keselamatan pengguna jalan. Lihatlah, kepadatan Jalan Parangtritis ataupun Jalan Bantul di waktu pagi dan petang saat banyak pengguna sepeda melintas beriringan dengan sepeda motor dan mobil. Seringkali terjadi gesekan atau benturan yang bisa mengakibatkan kecelakaan fatal. Oleh karena itu perlu dibuat kebijakan yang berpihak pada ketersediaan jalur-jalur khusus bagi sepeda.

Negeri Belanda adalah contoh yang baik bagi kita. Di sana pengendara sepeda mempunyai jalur khusus yang disebut fietspad. Sepeda bukan sekedar alat angkut alternatif, melainkan telah menjadi pilihan yang diapresiasi sebagai kebutuhan. Telah tertanam kesadaran hidup sehat dengan lingkungan yang sehat. Di masyarakat kita, kultur transportasi masih dihadapkan pada realitas kendaraan sebagai pencitraan diri, prestise, bahkan dikelola sebagai gaya hidup, bukan didasari kebutuhan praktis dan pilihan apresiatif yang bersentuhan dengan lingkungan.

Saya sendiri sebenarnya sudah lama tidak mengayuh sepeda. Dilema perjalanan menuju tempat kerja yang sangat jauh membuat saya mengesampingkannya. Hanya pada event-event tertentu, seperti waktu ada sepeda gembira atau pengin putar-putar keliling kampung sekedar menghilangkan kejenuhan. Badanpun tak sekuat dulu. Mengayuh sepeda sedikit saja kaki ini capenya minta ampun. Mungkin karena terlalu lama terbuai kenikmatan menunggangi kekasih setiaku, my lovely Supra...whakaka.

Saya pun jadi teringat masa-masa sekolah dulu ketika pulang pergi naik sepeda. Waktu itu sepeda merupakan alat transportasi yang banyak digunakan. Sepeda motor masih menjadi barang yang mewah. Lain dengan sekarang, hampir setiap keluarga memiliki sepeda motor, bahkan setiap anggota kelurga memilikinya sendiri-sendiri. Betapa asyik dan nikmatnya kala itu. Sekali dua kali bersama-sama teman-teman ke Jogja atau Parangtritis ngonthel beramai-ramai. Sebuah kenangan kecil yang sangat indah dan menyenangkan. Entah kemana kawan-kawanku dulu itu sekarang…?

Lepas dari itu semua, bila saja konsep back to cycle ini bukan hanya trend semata, tentulah sangat menjanjikan bagi berkurangnya polusi di sekitar kita. Jogjakarta yang dulu dikenal dengan kota sepeda sudah selayaknya kembali memberi ruang bagi pengguna sepeda. Setidak-tidaknya dengan itu kita sudah berperan bagi terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat.

Terban, 07 Desember 2007