Selasa, 29 Januari 2008

BELUM ADA JUDUL

Malam hingga seharian kemarin, saya benar-benar betah nongkrong di depan tv. Kalo biasanya akhir pekan selalu saya habiskan untuk melototin bola di layar kaca, kemarin ada tontonan yang lebih hebat daripada itu. Ya...sebuah tontonan sejarah. Bisa juga dikatakan sejarah sedang terjadi. Jenderal Besar Suharto, mantan presiden kita yang paling lama, berpulang ke rahmatullah. Setelah beberapa hari berjuang mempertahankan hidup di RSPP, beliau akhirnya wafat pada Hari Minggu kurang lebih jam satu lebih sepuluh menit Minggu siang kemarin.

Entah mengapa saya begitu tertarik mengikuti perkembangan Pak Harto, mulai dari sakit, dirawat di rumah sakit, kemudian wafat hingga akhirnya disemayamkan di Astana Giribangun. Mungkin karena kharisma dan kontroversi yang melingkupinya. Mungkin juga karena pemberitaan yang begitu besar dari media hingga seakan-akan kematian beliau selalu menjadi hal yang eksklusif. Berhari-hari wartawan mengepung RSPP. Menunggu sang jenderal menjemput ajal. Aneh juga, kalo dipikir-pikir. Baru kali ini terjadi di dunia. Detik-detik kematian seseorang disiarkan live oleh semua stasiun tv di sebuah negeri.

Ada hal menarik yang saya amati dari peristiwa meninggalnya Pak Harto ini. Semua stasiun televisi menyiarkannya non stop tanpa henti sampai beliau dimakamkan . Yang lebih wah lagi, mereka juga menghadirkan komentator-komentator handal dalam setiap sesi. Seperti layaknya pertandingan bola saja, komentator tersebut bicara ngalor ngidul mengenai Pak Harto mulai dari sejarah hidupnya, jasa-jasanya sampai tentu saja dosa-dosanya yang banyak dihujat belakangan ini. Maka demikianlah, orang-orang seperti Cak Nun, Amien Rais, Fadjroel Rahman sampai beberapa mantan aktivitis mahasiswa menjadi komentator baru diakhir pekan bersaing dengan komentator-komentator bola di acara lain.

Banyak pelajaran berharga saya ambil dari situ. Bukan hanya dari sejarah hidup Pak Harto yang panjang tetapi juga dari ulasan komentator-komentator tadi yang banyak menyingkap sisi hidup Pak Harto dari sisi metafisis. Sebuah hal yang amat saya sukai meskipun saya adalah seorang yang sangat rasional. Cerita-ceita mistis, khususnya Jawa, adalah hal yang sangat menarik untuk disimak. Disana terdapat pengetahuan tentang keselarasaan hidup hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan tentu saja manusia dengan penciptanya. Disana terdapat juga filsafat-filasafat agung tentang sebuah kepemimpinan. Sesuatu yang menarik untuk disandingkan dengan pemikiran-pemikiran rasional dan modern anak-anak muda sekarang.

Dalam salah satu komentarnya, Fachri Ali, memberikan komentar sekaligus tesis yang mengelitik saya. Menurut penelitiaannya, penguasa-penguasa Jawa mendekati masa-masa akhir hidupnya cenderung lebih dekat dengan tuhannya. Ia mengadakan penelitian di Kulon Progo bahwa dulu ia pernah berkenalan dengan seorang kepala desa disana. Sang kepala desa ini sangat sekuler dan njawani sekali. Di depan rumahnya terdapat sebuah langgar, walau begitu ia tidak pernah menjamahnya. Setiap petang, ia hanya memandang orang-orang di depannya beribadah sambil asyik menghisap rokok kesukaannya. Sepuluh tahun kemudian, ketika kembali kesana. Sang kepala desa ternyata telah berubah menjadi orang yang taat dan aktif di langgar. Begitu juga dengan Pak Harto, walau terkenal sangat njawani, di akhir hayatnya beliau perlahan-lahan mulai menghijau.

Saya jadi teringat, orang-orang di sekitar saya. Benar juga omongan pengamat politik ini. Betapa dulu, Mbah Kasan, Mbah Amat dan beberapa orang tetangga saya meninggal dalam masa tua sebagai orang yang taat di mesjid. Mereka menjadi tukang azan dan jamaah mesjid yang aktif walau dalam masa mudanya terkenal sebagai orang yang sangat abangan. Sampai-sampai ada guyonan bahwa orang-orang tua yang menjadi muadzin di masjid saya, dapat ditebak akan segera mendekati ajal.

Wah...kok ngelantur. Banyak sebenarnya yang ingin saya tulis tentang Pak Harto dari sisi kepemimpinan dan kejawennya. Sayang, saya keburu ada urusan jadi harus cepat-cepat kabur dari warnet. Belum ada kesimpulannya juga ni tulisan. Suatu saat saya sambung lagi. To be continued aja dech...

Jumat, 25 Januari 2008

KALA SEPI MELANDA

Kadangkala kesepian datang tanpa kita sadari. Walau berada di tengah keramaian dan hiruk pikuk dunia, jiwa terasa sepi. Melewatkan waktu dengan rutinitas yang selalu menyita. Kita berkumpul, bercanda dan bekerja bersama-sama. Tetapi, mengapa jiwa terasa hampa?? Ada sesuatu yang hilang dari hari-hari kita. Mungkin itu adalah kenangan atau angan-angan kita yang terantuk karang kemudian menghilang bersama kesenyapan. Mungkin tentang sesuatu yang kita harapkan tetapi tak menjelma menjadi sebuah kenyataan. Mungkin kita sedang dipermainkan oleh sang waktu ??

Sobat...dalam kesenyapan hati ini aku mengadu. Lewat goresan kecil yang tak bisa kukembangkan. Bahkan menjadi bait-bait puisi ataupun celoteh-celoteh nakal seperti biasanya...

Kawan...aku kehilangan senjata. Kata-kata berhamburan. Abjad-abjad telah pergi dari ruang imaji.

Dari winamp kudengar Kau dan Keajaiban Kecilmu mengalun. Ada band mengiring resahku yang kehilangan. Entah impian, entah angan-angan, entah imajinasi. Entahlah...

KAU DAN KEAJAIBAN KECILMU

Saat lonceng pagi datang
Getarkan relung hati kecilku
Akankah terasa lagi
Senja yang hadir
Seperti dulu

Berlari mengejar angin
Di tepi riuh deburnya air
Menanti perahu layar
Pulang menepi

Menjala cinta
Takkan kudengar suaramu
Nyanyi...kan keajaiban kecilmu
Takkan kau dendangkan lagi
Senandung syair hidupmu

Bayang dirimu menghilang
Seiring kepak camar menjelang
Tiada yang lebih manis
Semanis engkau ada di sini

Takkan kudengar suaramu
Nyanyi...kan keajaiban kecilmu

Takkan kau dendangkan lagi
Senandung syair hidupmu

I am so lonely tonight......


Batas kota, suatu malam

Senin, 07 Januari 2008

PERTOBATAN LEPEK




aku dan kemarin

hidup terasa membosankan di saat semua terasa jauh..
jauh duit..jauh kerja..jauh everything...
apalagi ma Yang Maha Kuasa..
well, i hope everything will be okey..
( sms dari agus beberapa bulan yang lalu..)



argumen koyak..

kurasa apa yang kau katakan benar..
aku selalu berkarib dengan asap rokok,
kadang pula berkeluh kesah pada botol2 alkohol,
pernah pula mengais rejeki di lingkaran judi..
kau ingin kuputar 90 derajad,
bisa gila aku tanpa jenjang bertingkat..
lalu apa yang tersisa diharap ??
hanya kalap ?

kamu juga benar...
aku hampa cita, kedepan tiada sketsa..
terombang ambing di pusaran waktu..terbelenggu..
apa yang kutunggu ?
apa yang kau tunggu ?
sekelumit asa ini kehilangan peta..
aku tahu..ini bukan awal, juga bukan akhir..

kamu selalu benar !!!
aku tertatih dalam hitam....,
kau katakan itu saat kebencian yang berpihak...
tanpa sadar aku terkoyak-koyak..


aku adalah aku..
hanyalah aku..
sebuah ruang kosong dalam lukisan abstrak,
takkan bisa tersapu kuas...
sebentar lagi titik-titik hitam terkelupas
putih meraja tiap bagian kanvas...


lemah

aku terkatung, di dunia yang tak mau tersenyum..
siapa hendak kusapa..
siapa mau menyapa..
diam tak berdaya..
kurindu pada hujan,
di gemericiknya kulabuhkan segala picik..
agar lara ini hilang pemantik..
aku telah kuyup, bahkan dalam telungkup..


pilu

waktu telah melesat, sinis tatap aku sekarat..
memar yang belum sembuh benar, kembali membengkak..
saat kau ungkit lagi hitam yang pernah ku jejak..

jauh di dalam lubuk aku benar-benar telah terpuruk,
tak perlu lagi kau kutuk..
aku menyesal..amat sangat menyesal..
itu yang ingin kau dengar ?
biar saja lara ini kupendam..sampai titik karam..

( Landung 'Lepek' Widodo )


sumber : www.jangkrikngerik.blogspot.com




Pada awalnya saya cuma mengcopy paste puisi Lepek diatas kemudian saya posting di OASE. Berhubung banyaknya kritik yang masuk, bahwa tidak ada ‘seninya’ ngeblog kok cuma copy paste, maka berikut ini sedikit banyak puisi tersebut akan saya bedah. Dan untuk menyesuaikan isi, ulasan ini saya posting ke CELOTEH.

Lepek memang seniman sejati. Gaya hidupnya sangat nyeni. Mata pencahariannya pun begitu nyeni sekali. Serabutan. Apapaun yang menghasilkan uang, ia ambil. Entah itu ngamen, parkir, mbengkel, mancing ataupun jualan angkringan. Yang penting bisa menyambung hidup.

Saya sangat kagum sekali dengan orang ini. Apapun dapat ia kuasai. Mungkin hanya nasibnya saja yang kurang mujur, ia terdampar menjadi seniman (akur coy...hehe). Bermain musik dan merangkai bait-bait puisi tentu sudah banyak yang tahu. Sabenarnya masih banyak keahlian karib kita ini. Mancing ia sangat jago. Dulu, setahu saya hari-harinya selalu dihabiskan untuk mancing. Sampe-sampe tubuhnya kaya walesan pancing :D. Mungkin hanya satu hal yang tak dapat ia pancing. Perempuan. Kita akur lagi soal ini coy..hehe. Soalnya zaman gini susahnya minta ampun cari umpan untuk gaet perempuan...

Keahlian Lepek lainnya adalah bermain bola. Kegemarannya pada si kulit bundar mungkin setara dengan kegemarannya pada puisi dan seni. Saat ini ia tercatat membela skuad PS Armada Kedunggong. Bakat bolanya tak berkembang, mungkin karena tak banyak pemandu bakat yang meliriknya. Melihat bentuk fisiknya, ia lebih cocok jadi penjual bola daripada pemain bola, begitu mungkin pikir sang pemandu bakat : D (guyon ki..).

Masih banyak sebenarnya keahlian-keahlian lainnya. Naik gunung, main ps, bilyard, mbengkel adalah salah satu yang lainnya. Tapi yang terpenting, ia adalah sosok yang mudah bergaul, enak diajak bekerjasama dan suka menolong kawan-kawannya yang membutuhkan. Jadilah ia sering disuruh ini itu. Dengan ketulusan dan keikhlasan hatinya ia selalu siap sedia. Dalam kesederhanaannya sebenarnya terdapat hati yang sangat mulia. Mulia sekali ( sareh...sareh...aja terlalu ge er engko malah ambruk ...)

Lepas dari itu semua, tentu ada pula sisi gelap dari seorang Lepek. Berjudi, minum minuman keras dan sejenisnya seperti yang ia sebutkan dalam puisi diatas mungkin pernah ia jalani. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sebaik dan semulia apapun seseorang pasti ada celanya juga. Tiada gading yang tak retak. Yang terpenting adalah orang itu menyadari kekurangan dan ketidaksempurnaanya kemudian ia mau mawas diri dan berubah menjadi lebih baik lagi. Dalam hubungannya dengan tuhan, ia mau bertobat. Artinya meninggalkan perbuatan celanya dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat. Bukankah yang akan diperhitungkan di akhirat nanti adalah hasil akhir. Lebih beruntung orang yang selama hayatnya melakukan dosa tetapi di sisa hidupnya walaupun sedetik telah bertobat daripada orang yang selama hidupnya melakukan kebaikan tetapi di sisa hidupnya walaupun sedetik berlaku maksiat. Demikian para sufi pernah berbisik...

Akhirnya, selamat bertobat Kawan. Sukses selalu untukmu...

UANG VS KESETIAAN

Era kapitalisme telah menggerus nilai-nilai sebuah kesetiaan. Di zaman yang serba materi ini, segala sesuatu diukur dengan uang. Kesetian kepada negara, kesetiaan kepada janji, kesetiaan kepada pasangan dan kesetiaan-kesetiaan lain berantakan terganjal oleh barang yang satu ini.

Di sini saya hanya akan berbicara tentang kesetiaan di dunia sepakbola, sesuatu yang benar-benar saya ketahui. Mungkin ini juga bisa jadi cermin bagi kita dalam menjalani hidup. Bukankah sepakbola merupakan ‘kehidupan mini’ dimana disana terdapat begitu banyak tamsil kehidupan?

Tidak ada kesetiaan yang kekal dalam sepakbola modern. Uang, bisnis dan ketenaran bermain dan berperan besar disana. Dulu, Thiery Henry dan Patrick Viera seolah menjadi ikon bagi Arsenal. Kedua nama itu begitu melekat dengan nama besar Arsenal. Seolah tidak akan ada Arsenal bila tidak ada keduanya. Kini, seiring dengan berjalannya waktu, keduanya memilih jalannya sendiri-sendiri. Berpindah ke klub lain yang menjanjikan uang dan ketenaran berlimpah. Viera berlabuh ke Inter Milan sedang Henry ke Barcelona. Kini, selepas ditinggal senior-seniornya, ternyata Arsenal membuat sensasi yang mengejutkan. Young guns binaannya melejit luar biasa melebihi pendahulu-pendahulunya. Hingga saat ini mereka masih kokoh di singgasana Premier League mengungguli Manchester United, Chelsea maupun Liverpool. Nama Viera dan Henry yang dulu melegenda di kalangan fans Arsenal kini lambat laun mulai menghilang dan digantikan bintang-bintang muda yang bersinar seperti Cesc Fabregas, Adebayor maupun Theo Walcott. Merekalah kini pahlawan-pahlawan di Emirates Stadium.

Begitulah sepakbola. Kesetiaan dan kepahlawanan selalu beralih dari waktu ke waktu. Sekarang ia dipuja dan disanjung sebagai pahlawan di klubnya suatu saat ia akan dicaci, dibenci ataupun dianggap musuh bila pindah dan bergabung ke klub lain. David Beckam, Zinedine Zidane, Ronaldo, Shevchenko dan banyak bintang besar lainnya pernah mengalaminya. Tapi yang perlu dicatat, mereka adalah profesional sejati. Di setiap jejak klub yang dibelanya paling tidak ada prestasi dan kebanggan yang diukir untuk fans setianya. Dalam lembaran sejarah yang lebih panjang, tentulah nama mereka dicatat dengan tinta emas.

Sepakbola modern juga tidak lagi mengenal nasionalisme sempit. Sudah umum bila sebuah tim nasional suatu negara dilatih oleh pelatih asing. Bahkan, negeri yang katanya merupakan nenek moyangnya sepakbola seperti Inggris saja dilatih oleh pelatih asing, Don Fabio Capello, yang notabene orang Italia. Padahal dalam kancah sepakbola dunia, Inggris dan Italia merupakan dua negara yang bersaing ‘panas’, baik dalam ajang kompetisi maupun meriahnya liga.

Ada yang lebih ‘mengerikan’ lagi. Suatu negara menaturalisasi pemain asing menjadi warga negara agar dapat memperkuat tim nasionalnya. Sebenarnya itu menguntungkan kedua belah pihak, baik pemain atau negara yang bersangkutan. Lihatlah Deco yang notabene orang Brasil lebih memilih memperkuat Portugal daripada tanah kelahirannya. Bila ia tetap bertahan ingin masuk skuad Tim Samba, belum tentu ia dapat menikmati atmosfer Piala Dunia. Terlalu banyak pemain bertalenta tinggi yang menghuni skuad Brasil. Sedangkan di Portugal persaingan untuk masuk timnas tidak seketat Brasil. Portugal lebih menjanjikan kesempatan daripada Brasil.

Lihatlah juga negara tetangga kita Singapura yang secara besar-besaran merekrut pemain asing untuk memperkuat timnasnya. Alhasil, timnas mereka mampu bersaing dengan tim-tim mapan di Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia. Sedang Indonesia sendiri dulu pernah berencana menaturalisasi beberapa pemain asing hebat di Liga Indonesia agar dapat bermain untuk timnas PSSI. Tetapi rencana itu lambat laun menghilang seiring banyaknya pro dan kontra yang mengiringi.

Di level klub pun demikian. Sudah tidak mengherankan bila Arsenal yang notabene klub Inggris ataupun Inter Milan yang notabene klub Italia memainkan sebelas pemain asing dalam sebuah pertandingan. Walau yang bermain kesemuanya adalah pemain asing tapi animo publik setempat untuk memberikan dukungan kepada tim kesayangannya tetaplah tinggi, tidak berkurang sedikitpun.

Itulah sepakbola modern. Profesionalitas, kesetiaan, uang dan gurita bisnis selalu bersanding bersama. Tidak ada kesetiaan dan nasionalisme yang kekal dalam sepakbola. Mungkinkah itu juga merupakan cermin dari kehidupan kita secara nyata? Entahlah. Yang jelas semua itu, baik kesetiaan maupun nasionalisme, telah mengalami perubahan makna seiring perubahan zaman...

Wates city of soccer ( i hope someday ), 07 Desember 2007

MIMPI DAN RESOLUSI 2008

Ketika Si Panjoel nggunem di blognya tentang mimpi dan resolusi di tahun 2008, saya jadi kepingin nulis hal yang sama. Mumpung masih dalam suasana tahun baru dan sebentar lagi masuk pula tahun baru Islam 1 Muharram 1429 H. Yah, sekedar memanfaatkan moment lah.

Mimpi? Apakah saya pernah benar-benar bermimpi atau berangan-angan dalam artian yang sesunguhnya? Apakah saya pernah berusaha sekuat tenaga mewujudkan impian-impian saya. Saya rasa tidak. Kadang saya berpikir, saya hanya bermain-main dengan mimpi. Saya terlalu nyante untuk mewujudkan sebuah mimpi menjadi kenyataan. Mimpi mungkin hanya sebagai pewarna hidup saja. Bagi saya itu sudah cukup. Setidaknya dengan bermimpi kita masih mempunyai semangat untuk menyambung nafas. Mimpi memelihara hidup.

Saya rasa banyak mimpi dan angan-angan saya semenjak kecil, remaja hingga sekarang. Ada mimpi yang cuma iseng atau main-main. Ada juga mimpi yang benar-benar serius. Dari banyak mimpi itu, ada satu dua yang tercapai menjadi sebuah kenyataan, tapi lebih banyak lagi yang buyar di tengah jalan atau malah cuma mengawang di awang-awang. Sangat sulit bagi saya untuk menyebutkan mimipi-mimpi saya yang menjadi kenyataan. Mungkin salah satunya adalah hingga detik ini saya masih dikaruniai kesehatan yang prima setelah dulu waktu kecil sering sakit-sakitan, dikaruniai sebuah keluarga dengan orang-orang dekat yang begitu hangat, dan juga sedikit banyak masih bisa membuat mereka tersenyum dan tertawa. Saya pikir itu sudah lebih dari cukup buat saya.

Tentang mimpi-mimpi saya yang kandas, terlalu banyak untuk disebutkan. Mending kita bicara ke depan. Masih banyak angan yang bertabur di langit impian. Salah satunya adalah keinginan saya untuk eksis dan bisa menulis di berbagai media. Ini mungkin untuk membayar cita-cita saya yang gagal menjadi seorang jurnalis. Untungnya, belakangan ini saya bergaul dengan orang-orang yang gemar menulis. Ditambah lagi banyak sarana yang mendukung untuk melampiaskan hasrat saya itu. Salah satunya ya ngeblog ini. Walau agak naif dan terlambat, saya tak ambil pusing. Bukankah semangat harus tetap dijaga. Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang tanpa orang itu merubah nasibnya sendiri. Begitu firman tuhan dalm kitab suci.

Tentang resolusi di tahun 2008, mungkin Anda pikir nikah? Bukan. Bagi sebagian orang memasuki usia kepala tiga adalah warning untuk segera membina biduk rumah tangga. Banyak kawan saya yang kelimpungan di usia segitu belum juga menemukan tambatan hati. Kalo saya mah ngadem dulu aja. Memang sih pernah terluncur dari mulut si bos, abah saya, mengaharap saya untuk segera menikah. Dengan sambil lalu saya bilang untuk tahun ini kayanya belum. Saya beri tenggat waktu si bos sampai tahun 2009, saya akan benar-benar serius memikirkan hal itu. Lagian abah, pakdhe dan juga saudara-saudara saya dulunya nikah diatas usia 30tahunan juga. Nyatanya, keluarga dan kehidupan mereka lebih teratur dan terencana. Itung-itung nabung dululah, bekerja semaksimal mungkin.

O...ya, tentang resolusi di tahun 2008 tadi. Saya berkeinginan sekali untuk bisa membuka usaha sampingan, entah itu apa. Memang sih, sudah ada beberapa beberapa gambaran di kepala ini. Tapi terbentur waktu dan dana. Semoga di tahun ini saya bisa mewujudkannya.

Sementara itu dalam lingkup yang lebih luas, saya berharap negara kita tercinta ini lebih baik lagi dalam segala hal. Rakyat tercukupi sandang, pangan dan papan. Lapangan kerja melimpah ruah sehingga kesenjangan sosial dapat dikurangi. Tidak ada lagi sebagian rakyat yang merasa dirampas hak-haknya. Tidak ada lagi rasa benci dan curiga diantara sesama anak bangsa. Pemimpin lebih memperhatikan rakyatnya daripada sibuk bagi-bagi uang dan kekuasaan. Korupsi, kolusi dan nepotisme tidak ada lagi, sehingga mereka-mereka yang gurem kebagian kerjaan di tempat-tempat basah ataupun proyek-proyek besar. Ah...masih banyak lagi sebenarnya mimpi saya untuk bangsa yang sedang carutmarut ini. Mungkinkah sekedar utopia belaka? Entahlah waktu yang akan menjawabnya....

Dalam kolomnya di Harian Suara Merdeka pagi ini, mas Eko Adipriyono mengungkapkan bahwa spiritualisme yang melewati sekat-sekat agama, etnik, kelompok ataupun golongan adalah jawaban untuk mengatasi tantangan dan ramalan-ramalan yang menggambarkan bahwa tahun 2008 ini adalah merupakan tahun yang suram dan penuh bencana. Seseorang yang menurut ‘perhitungan langit’ hanya akan berumur 50 tahun ternyata bertahan hidup sampai 70 tahun. Ketika ditanya mengapa ia bisa memperpanjang usia, orang tersebut mengatakan bahwa dalam ‘sisa-sisa hidupnya’ ia selalu berbuat baik kepada sesama. Ia membantu penguburan orang mati, menolong orang yang kesulitan dan berusaaha keras tidak menyakiti hati sesama. ‘Perhitungan langit’ ternyata dapat ‘terpatahkan’ oleh perbuatan-perbuatan baik seseorang, meskipun orang tersebut sudah ‘dinasibkan’ hanya berumur 50 tahun. Maka, jangan menyerah pada ramalan atu prediksi masa depan. Semua itu bisa kita tangkal dengan perbuatan baik dan ikhlas, menembus batas-batas yang bersifat material dan fisik.

Jadi, marilah kita sambut tahun baru Masehi 2008 dan Hijriah 1429 ini dengan semangat yang terus menyala. Jangan padamkan mimpi-mimpi dan angan-angan itu dari langit-langit pikir kita. Ingat kawan...MIMPI MEMELIHARA HIDUP.

Wates city of passion, 06 Januari 2008

Sabtu, 05 Januari 2008

ANGKRINGAN...




ANGKRINGAN

Lapar mengajak saya ke warung angkringan
di pinggir jalan. Tuan pedagang angkringan
sedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang,
kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.
Saya makan dua bungkus nasi kucing.
Saya bikin kopi sendiri. Ambil rokok sendiri.
Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannya
untuk tuan saja,” kata saya dalam hati.
Lalu saya pulang. “Selamat tidur pejuang.”
Tuan pedagang angkringan terbangun.
“Tunggu jangan tinggalkan saya sendirian!”
Setelah semuanya ia bereskan, ia paksakan saya
segera naik ke atas gerobak angkringan
“Berbaringlah Tuan. Saya antar Tuan pulang”
Amboi saya telentang kenyang
diatas gerobak angkringan yang berjalan pelan
menyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam.
Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringan
menuju rumah impian nun di seberang.
Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibu
Sedang meninabobokan anaknya dalam ayunan :
Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang

( Joko Pinurbo )


Puisi diatas adalah salah satu karya Joko Pinurbo (Jokpin), penyair yang sangat saya hormati dan kagumi, dimuat di Harian Kompas Minggu tanggal 23 Desember 2007. Menceritakan tentang interaksinya dengan seorang pedagang angkringan. Angkringan... yah angkringan. Orang biasa menyebutnya dengan kucingan atau juga kafe ceret telu, sebuah fenomena tempat makan malam hari yang murah meriah, dimana kita bisa ngobrol ngalor ngidul tentang segala hal sepuasnya, khas Jogjakarta.

Bagi saya sendiri, angkringan seperti rumah kedua. Disitu segala kepenatan dan beban kerja seharian dapat saya lepaskan. Minum wedang jahe, kopi panas ataupun teh hangat disertai gorengan ringan dan tentu saja satu atau dua bungkus sego kucing plus beberapa lencer rokok ketengan. (...tetapi kalo ngrokok sekarang sudah jarang-jarang, sejak diknock out oleh batuk berkepanjangan beberapa tahun silam...) Juga ditambah swiwi, pupu atau malah beberapa tusuk sate bila duit di kantong ini masih memungkinkan. Sambil ngobrol dan guyon sekenanya sampai hampir larut malam. Kadang dalam hangat dan riuhnya obrolan-obrolan itu saya mendapat pelajaran dan pencerahan hidup. Selain itu hampir seluruh tulisan maupun karya saya tercipta beride awal dari sini.

Menurut penuturan keluarga pengangkring, sejarah angkringan sendiri bermula dari sosok Mbah Pawiro, lelaki asal Cawas, Klaten. Sekitar tahun 1950-an ia mengusung dua pikulan ting-ting hik dan menggelar dagangannya di emplasemen Stasiun Tugu Jogjakarta. Mbah Pawiro dengan teriakan “...iyek!!!”, dianggap sebagai generasi pertama penjaja angkringan di Jogja. Sekitar tahun 1969 dagangan itu diwariskan Mbah Pawiro kepada Siswo Raharjo, putranya. Setahun kemudian, Siswo Raharjo yang biasa dipanggil Lik Man, memindahkan dagangannya ke depan stasiun, dan lima tahun kemudian pindah lagi ke Jalan Bumijo, persis di sebelah utara Stasiun Tugu. Di tangan Lik Man inilah angkringan mencapai kesuburannya, dan menjadi bagian dari legenda Kota Jogjakarta. Seniman-seniman Jogja seperti Butet Kertaredjasa, Djadug Ferianto, Emha Ainun Nadjib, Bondan Nusantara dan Marwoto pernah menghabiskan malam di Angkringan Lik Man.

Kini, angkringan telah menyebar luas di Jogjakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Hampir di tiap-tiap sudut kota terdapat angkringan. Saat ini, diperkirakan terdapat 1000 buah angkringan dengan 1200an pedagang serta lebih dari 30000 warga kampung penyuplai makanan angkringan.

Angkringan yang terkesan pinggiran telah menjadi penanda kehidupan malam di Jogjakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Di sanalah bermula ide-ide segar, konsep-konsep lawakan, tempat aksi demonstrasi direncanakan, tempat munculnya ide skripsi dan penelitian, tempat meramal nomor buntut (dulu), diskusi politik, ataupun ngobrol biasa sekenanya. Para pedagang angkringan bukan hanya sebagai penjaja, tetapi juga teman ngobrol para pembeli. Minimal, mereka menjadi saksi dan pendengar yang baik. Hubungan penjaja dan pembeli ini, lebih dari sekedar hubungan ekonomi melainkan hubungan pertemanan. Tak heran bila semua penjaja angkringan dipanggil dengan sebutan akrab lik (paman). Sebut saja Lik Man, Lik Dul, Lik Doyo, Lik Min, Lik Har, Lik Iman...hehehe dan masih banyak lik-lik lainnya.

Setiap orang punya angkringan favorit sendiri-sendiri. Menu boleh sama, tetapi suasana akan memberi nuansa yang berbeda. Hampir seluruh angkringan di Jogja dan Wates, tempat kelahiran saya, pernah saya sambangi. Yang terfavorit dan terbaik versi saya tentu saja angkringan Lik Iman, sang penakluk malam, karib saya. Letaknya cukup strategis yakni di pinggir jalan besar yang menghubungkan Wates dengan Purworejo, tepatnya di depan Masjid Agung Wates Kedunggong. Di sana kita bisa kongkow-kongkow sambil melihat mobil dan motor lalu lalang berseliweran di depannya. Sesekali mungkin bisa kita dengar juga petikan gitar seniman-seniman padhang mbulan seperti Lik Landung Lepek ataupun Lik Wahid Rejo yang berwajah sangar tapi berhati lembut...hehe. Buat Lik Iman dan Padhang Mbulan, ni sudah tak promosikan lewat blogku gratis tis tis ndak usah bayar....whakaka.

Lepas dari itu semua, angkringan adalah wujud sebuah gerakan ekonomi rakyat bawah yang bersumber dari kearifan lokal yaitu tepo seliro dan biso rumongso (bisa menghayati perasaan orang lain) seperti yang diperlihatkan para lik-lik tadi. Sebagai sebuah penanda lokalitas sudah selayaknya fenomena angkringan ini dilestarikan atau jikalau memungkinkan dijadikan kekuatan ekonomi yang signifikan. Jangan sampai trend penggusuran suatu saat merembet pula ke area lik-lik ini. Hernando de Sotto , seorang pakar ekonomi, mengingatkan bahwa menata hak-hak atas kekayaan yang selama ini liar merupakan cara yang paling manjur untuk menyukseskan pengembangan ekonomi. Ia secara global menganjurkan agar mengubah seluruh kekayaan rakyat yang selama ini menjadi kekayaan mati menjadi kapital atau modal. Dan saya rasa angkringan dengan segala romansanya menjadi bagian dari itu semuanya.

Salam hangat buat para pengangkring dan komunitas angkringan semuanya.....

Tulisan ini saya dedikasikan kepada Lik Iman Subekti, sang penakluk malam. Sukses selalu dengan segala usaha-usahanya. Nuwun sewu, kemarin tak bisa ikut sowan Merapi. Suatu saat kita susun rencana baru yang lebih solid. OK prend !!

Wates city, 05 Januari 2007.