Jumat, 29 Februari 2008

DEMOCRAZY

Saya buta politik. Hanya tahu dari media atau omongan kawan-kawan saya yang orang kuliahan dan aktivis politik. Walau begitu kalo ada obrolan politik
yang lagi hot, saya selalu menyimaknya dengan antusias. Itung-itung buat nambah wawasan biar ndak dibilang kampungan.

Suatu sore di teras depan rumah saya, beberapa kawan berkumpul sekedar ngomong ngalor kidul tentang berbagai hal. Kami memperbincangkan bermacam issue yang lagi aktual di masayarakat disertai guyonan-guyonan yang kadang tidak bermutu. Entah mengapa obrolan kami kemudian masuk ke ranah politik. Mungkin karena beberapa kawan saya ini memang ada yang bergelut di dunia pemerintahan dan ada pula yang aktif di organisasi yang bersinggungan dengan politik. Dan seperti biasa, saya hanya menjadi pendengar setia sambil sesekali nyeletuk untuk memberi suasana lain dalam perbincangan itu.

Obrolan ini bermula dari perbincangan tentang kisruh pilkades beberapa desa di wilayah kami belakangan ini. Rasa tidak puas dari beberapa kelompok atas penyelenggaraan pilkades dan calon terpilih membuat situasi di akar rumput menjadi sedikit memanas. Gesekan dan benturan pendapat terjadi disana-sini. Bahkan benturan secara fisik juga terjadi walaupun tidak sampai diblow up secara besar-besaran oleh media. Terakhir, menurut kabar yang saya dengar, demo juga dilakukan di kantor DPRD. Bahkan ada yang mogok makan segala. ( Walau saya agak sangsi kalo mereka istiqomah mogok makan beneran. Siapa yang tahu kalo malam hari mereka nyelonong ke angkringan atau warung koboi yang bertebaran di pinggiran jalan...hehehe)

Menurut kacamata saya sebagai orang awam, sebenarnya kisruh yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, termasuk pilkades di daerah saya, terjadi karena beberapa peraturan atau perundangan yang mengatur masalah pemilihan ini dibuat kurang matang. Sehingga disana-sini banyak celah yang kabur sehingga memungkinkan pejabat yang berkompeten salah arah dalam menafsirkannya. Hal ini memudahkan pihak lain ( yang merasa dirugikan ) menyerang balik lewat peraturan tersebut. Yang lebih parah lagi, seorang pejabat yang mengurusi masalah ini tidak tahu tentang peraturan atau perundangan yang berlaku. Sebagai contoh, seorang pns aktif yang notabene tidak bisa ikut mencalonkan diri bisa lolos seleksi pilkades dan akhirnya terpilih. Tentu hal ini akan menimbulkan gejolak di masyarakat bila suatu saat terbongkar di khalayak.

Itulah juga yang menjadi perdebatan dua orang kawan saya dalam perbincangan sore itu. Mas Olip yang lulusan STPDN, seorang staff kecamatan, dengan omongannya yang tegas bersikukuh bahwa pilkakes telah berlangsung dengan baik dan sesuai peraturan yang ada. Sedang Pakdhe Tanto, seorang aktivis yang ikut menentang hasil pilkades di salah satu desa, tetap ngeyel bahwa pilkades berlangsung tidak jujur dan tidak transparan serta banyak peraturan yang dilanggar. Semua punya tafsiran yang berbeda-beda tentang sebuah peraturan.

Saya jadi berpikir bahwa bangsa kita ini sebenarnya belum siap untuk berdemokrasi. Setelah kran kebebasan dibuka sejak era reformasi lalu angin demokrasi bertiup kencang. Pemilihan pemimipin secara langsung disertai label penghormatan terhadap hak asasi manusia terjadi di beberapa sektor. Belum memadainya aturan yang ada serta euforia kebebasan yang berkepanjangan membuat kekisruhan dan kerusuhan mewarnai situsai politik bangsa kita hampir sepanjang tahun.

Pikiran liar saya mendadak muncul dari alam bawah sadar dalam perbincangan itu.

Wekeke...demokrasi memang bikin pusing. Lebih baik kita kembali ke zamannya simbah-simbah dulu saja. Pakai saja sistem kerajaan atau sejenisnya. Rajanya nanti turun temurun. Kalo orang luar ingin berkuasa ya suksesinya lewat pemberontakan. Nanti akan berlaku hukum alam. Siapa yang kuat dan didukung rakyatlah yang akan berkuasa. Seperti Ken Arok, Raden Wijaya, Raden Patah ataupun Sultan Hadiwijaya yang misuwur-misuwur itu. Energi kita akan terfokus dengan jelas tanpa munafik dibalik embel-embel demokrasi....?!”

Semua yang hadir terhenyak. Tidak ada tanggapan lebih lanjut. Hari mulai menginjak Maghrib. Perbincangan itupun terhenti dengan demokrasi masih menghantui pikiran masing-masing.

Yap...demokrasi memang hantu. Bukankah konon kata orang cikal bakalnya adalah syaiton si laknatullah. Setan berani menentang tuhan saat diminta sujud kepada Adam dan Hawa sedang yang lain tunduk dan patuh. Lihatlah sekarang. Demokrasi hampir menghantui setiap elemen bangsa ini. Setiap hari kata itu muncul dalam perbincangan dan pikiran kita seakan menjadi beban berat yang tak ada habis-habisnya.

Demokrasi yang membikin gila. Atau memang benar-benar telah menjadi DEMOCRAZY ?!

Salam...

Giant,29-02-08

Selasa, 26 Februari 2008

AJAR NGGURIT LEK...!

PEPADHANG

lakuku iki
amung golek pepadhang
ati kang lagi kapang
urip kadharang-dharang
peteng dhedhet kang sinawang

Giant, 26-02-08


HEI...

Prakanca iki pye?
Wong ndesa wus ilang ugeme
Lemah-lemah ora disanak
Tetanduran mati ing kana kene

Pacul wus ucul garanne
Arit wus ilang landhepe
Tani wutun mung tinggal critane

Lha iki pye ??

Giant, 26-02-08



GURU

Bapakku guru
Ibuku uga guru
Adhi-adhiku winasis ing elmi

Aku seprana-seprene
Gurumutan dhewe....

Giant,26-02-08


KAPANG

: sri

wewayanganmu tansah kumlebet
ing lelamunku

oh wanodya...
kapan sliramu
mituhu impenku ??

Giant, 26-02-08





MEMBACA TANAH KELAHIRAN*

Berbagai macam perasaan campuraduk di dalam hati bila kita membicarakan tanah kelahiran atau kampung halaman. Bagi mereka yang telah jauh merantau tentu menyisakan kenangan tersendiri yang membangkitkan kerinduan masa lampau. Sedang bagi mereka yang tetap setia dan tinggal disini, kampung halaman memberikan warna-warni tersendiri dalam kehidupan. Beragam persoalan, gejolak dan masalah-masalah yang timbul mengiring perkembangan suatu daerah tentu menarik untuk disimak walau cuma sekedar omongan sambil lalu belaka mengiring kongkow-kongkow kita di warung kopi, angkringan, pasar ataupun tempat-tempat umum lainnya. Membaca tanah kelahiran berarti memandang bumi tempat kita mula berpijak sejak dari masa lalu, masa kini dan segala kemungkinan-kemungkinannya di masa datang. Siapa tahu masa depan kita tergambar di situ?

Begitu pula ketika kita merenung sejenak tentang Kulon Progo dengan segala perkembangannya. Banyak hal segera menggelayut di benak kita. Betapa kampung halaman tercinta ini telah menggeliat sedemikian rupa. Baru sekarang terpikir oleh kita, bahwa Kulon Progo yang dulu adalah daerah ndeso, tak dikenal banyak orang, kini mulai terdengar gaungnya hingga ke pelosok nusantara. Dulu, bila berbicara tentang Jogjakarta, orang hanya mengenal Sleman, Bantul atau mungkin Gunung Kidul yang lebih kesohor. Tetapi lihatlah sekarang, berbagai media baik lokal maupun nasional mulai melayangkan pandang ke daerah ini. Derap irama perubahan dan pembangunan terjadi di sini. Mulai dari rencana penambangan pasir besi di pesisir selatan, pembangunan dermaga dan pangkalan TNI AL di dekat Pantai Glagah, rencana pemindahan bandara internasional ke daerah sekitar Panjatan, juga mulai berdirinya pabrik-pabrik dan usaha-usaha berskala besar di pinggiran Kota Wates. Semua itu berlangsung secara dinamis khas Indonesia. Banyak diwarnai silang pendapat, pro kontra, demonstrasi dan lain sebagainya. Jadilah daerah kita tercinta ini mulai terasa gairah panasnya.

Era otonomi daerah memang menuntut setiap wilayah untuk mandiri tidak terlalu tergantung oleh pusat. Seiring dengan angin reformasi yang bertiup kencang, maka memang sudah sewajarnya setiap daerah, tak terkecuali Kulon Progo, mulai memberdayakan segala potensinya. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa semua pembangunan itu berawal dan berakhir untuk kepentingan rakyat. Jangan sampai dengan dalih pembangunan, ada sebagian masyarakat yang merasa dirugikan hak-haknya atau tidak mendapatkan manfaat dari pembangunan itu sendiri. Setiap komponen daerah, baik itu pemda, wakil rakyat ataupun masyarakat sendiri harus arif dan bijak dalam melihat segala persoalan. Perbedaan visi ataupun pendapat adalah hal yang wajar. Yang perlu dihindari adalah benturan-benturan secara fisik dalam menyelesaikan suatu masalah. Duduk bersama, saling tukar pikiran adalah jalan terbaik. Saya rasa pemimpin-pemimpin kita disini sudah cukup dewasa dan telah melakukan hal itu dengan baik.

Pembangunan juga harus berwawasan ke depan. Selain kesejahteraan rakyat secara umum, aspek-aspek lain juga harus diperhatikan. Salah satu diantaranya adalah masalah lingkungan. Jangan sampai kekayaan alamnya kita keruk dan habiskan sekarang tetapi meninggalkan masalah dan bahaya yang sangat besar bagi anak cucu kita di kemudian hari. Lihatlah bencana yang mendera negeri kita belakangan ini seperti banjir dan tanah longsor. Pembangunan yang tak berwawasan lingkungan adalah salah satu penyebabnya. Cukup menyedihkan memang, bila melihat lahan-lahan hidup seperti persawahan dan perkebunan juga dikorbankan untuk membangun pabrik, rumah dan gedung-gedung lainnya. Bagaimana nanti ketahanan pangan negeri kita dapat terjaga? Semoga ini juga menjadi masukan.

Wilayah Kulon Progo terdiri dari pegunungan dan dataran rendah. Pembangunan seperti diatas memang sudah dirasakan oleh penduduk di dataran rendah yang lebih dekat dengan pusat kota. Tetapi masih banyak juga daerah-daerah terpencil di lereng-lereng pegunungan yang belum terambah. Jalan memadai dan aliran listrik pun ada yang belum masuk kesana. Kalau tidak diperhatikan dengan serius, hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial antar daerah. Pemerataan pembangunan menjadi hal penting yang harus diperhatikan.

Catatan penting lainnya tentang Kulon Progo adalah bahwa daerah ini mulai dirambah institusi-institusi pendidikan seperti sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas. UNY misalnya, membuka program D3 nya di Kota Wates. Hal ini juga terasa sekali dalam menghidupkan denyut nadi kehidupan di kota ini. Mulai banyaknya mahasiswa-mahasiswa luar daerah yang bermukim disini serta beraneka kegiatan yang dilakukan anak-anak muda dalam berbagai even seakan membangkitkan Kota Wates yang lama tertidur.

Memang mengasyikan membaca tanah kelahiran. Rasa rindu dan bangga becampur dengan angan-angan tentang sebuah kemakmuran, semua tertumpah disitu. Sebagai generasi muda yang masih memiliki kemurnian pikir sudah selayaknya kita terlarut di dalamnya. Kita berdayakan segenap potensi kita dalam segala hal untuk membangun kampung halaman tercinta ini. Suatu saat kita jugalah yang akan menerima tongkat estafet pembangunan dari bapak-bapak kita.

Akhirnya, maju terus Kulon Progo. Sejahteralah tanah kelahiranku tercinta. Kami akan selalu menjagamu....



Wates, 12 Januari 2007

* sekali-kali mbah im nulis agak serius...hehehe

Jumat, 22 Februari 2008

KETIKA GAMBAR BICARA

Inilah lorong-lorong inspirasi, tempat saya berjalan, singgah dan berteduh. Disanalah surga saya. Tempat saya menemukan canda dan cinta. Juga angan dan mimpi sekedar penyubur imajinasi.

Gambar-gambar ini diambil sekenanya dari dalam mobil carteran sewaktu mengantar bu lek saya menuju bandara pulang ke Banjarmasin. Kalo terlihat amatiran mohon dimengerti karena kami memang buta sama sekali tentang dunia fotografi....

Gambar pertama...



Angkringan si Iman depan Masjid Agung Wates, Kedunggong. Tampak lengang di siang hari. Di belakangnya adalah rumah kosong tempat burung-burung walet bercengkerama dengan para dedemit. Tak angker tapi anggun bukan...hehehe

Di sini malam lebih hidup daripada siang. Para penakluk malam banyak melewatkan waktunya di sini.


Gambar kedua...




Jalan ini adalah jalan beraspal menuju gubuk saya. Di ujung jalan inilah, abah dan emak membangun gubuk untuk sekedar berteduh dan menyemai benih-benih cinta bersama anak-anaknya.

Di kanan kiri jalan masih menghijau sebuah ‘pagar hidup’. Konon, sebuah dusun akan sulit maju bila masih terlihat pagar-pagar hidup berupa tetumbuhan di sepanjang jalan. Nyatanya, di dusun kami warganya sangat dinamis. Seingat saya, beberapa infrastruktur dusun seperti jalan beraspal dan listrik dibangun secara swadaya. Walau begitu gesekan pendapat berkepanjangan antar warga sering terjadi sehingga sejumlah proyek terkatung-katung hingga saat ini....


Gambar ketiga...




Inilah gubuk saya. Dibangun oleh abah, emak dan anak-anaknya dengan tetesan keringat dan airmata. Tampak besar walau isi di dalamnya sangat-sangatlah sederhana. Di sampingnya adalah rumah kosong milik pakdhe saya. Siapa yang mau ngontrak hayo??!...hehe ( call me )

Di sinilah mula pertama saya menginjakkan kaki ke dunia. Disini pula sebagian besar nafas kehidupan saya hembuskan pelan-pelan. Dan disini pulalah saya mulai menatap langkah ke depan dengan sedikit gamang disertai sebuah tanda tanya besar......


Giant, suatu malam

Selasa, 19 Februari 2008

ORANG GILA

Malam ini, sepulang kerja saya mampir di warung bakso pojok BPD Wates. Tak tahu kenapa, perut ini keroncongan minta diisi. Padahal menu di gawean tadi lumayan enak. Bakmoek kesukaan saya. Waktu hampir jam 11 malam ketika saya menyandarkan sepeda motor di tepian jalan.

Saya kadang memang suka jajan disini, kalo sedang jenuh dengan angkringannya si Iman. (Wekeke...sori lek !?). Meski baksonya sudah ngga enak lagi, tapi malam-malam begini mana ada warung bakso yang masih buka selain disini?! Jadilah warung ini menjadi salah satu tempat jajan favorit saya di malam hari.

Tak seperti biasanya, suasana agak lumayan ramai. Masih ada satu dua anak muda yang menikmati sisa-sisa bakso malam hari. Di sudut sana, seorang wanita semampai tampak cekikikan. Mulanya saya menduga ia juga pembeli seperti saya. Baru kemudian saya sadari ternyata perempuan ini adalah orang gila. Ia ndleming tak karuan sambil menggoda orang-orang di sekitarnya. Penjual serta pembeli bakso pun membiarkannya. Bahkan menimpali ndlemingnya yang tak karuan itu.

Kalo saya perhatikan dengan seksama, perempuan ini lumayan cantik. Tubuhnya pun oke. Tinggi semampai. Wajahnya juga manis. Hanya rambutnya yang gimbal acak-acakan dan kulitnya menghitam. Mungkin karena jarang mandi. Seandainya ia tidak gila dan tubuhnya terawat dengan baik, saya yakin seratus persen, perempuan ini tak kalah cantiknya dengan Tamara Bleszynski sekalipun. Swear...hehe.

Saya menjadi terperangah ketika ndlemingnya menjadi semakin berbobot. Mulai ngomong yang lumayan intelek, seperti politik dan kehidupan sehari-hari. Kemudian nyerocos tak karuan dengan bahasa Inggris yang maknanya dapat dicerna dengan baik oleh pikiran orang normal. Yang lebih membuat saya makin terperangah adalah ketika ia mulai mengkiaskan dirinya dengan istilah-istilah komputer seperti memori, cpu dan semacamnya. Sampai-sampai anak muda disamping saya sambil terkekeh berseloroh kepada kawannya,

“Wong edan ki malah luwih pinter tinimbang kowe...?!”

Saya jadi berpikir, mungkin perempuan ini dulunya adalah orang terpelajar. Mungkin juga dari kalangan orang berada. Karena persoalan dan suatu hal ia menjadi gila. Saya pernah membaca bahwa populasi orang gila ( orang stress ) meningkat tajam belakangan ini. Pemicunya tak lain adalah beban hidup dan persoalan yang makin kompleks di zaman yang serba tak menentu ini. Gila tidak menjadi monopoli orang miskin. Orang-orang pintar dan beradapun bisa stress berkepanjangan yang berakhir dengan kegilaan. Betapa banyak orang ’mampu’ yang tak kuat menanggung beban hidup karena putus cinta, cita-cita dan harapan yang tak kesampaian, iri dengan keberhasilan orang lain dan sebagainya. Ada yang lebih mengerikan lagi selain menjadi gila. Bunuh diri menjadi trend yang tak kalah mencengangkannya. Masya Allah....

Saya jadi teringat kawan dan tetangga saya yang stress berat karena beberapa hal. Mereka harus mondok berhari-hari di Puri Nirmala dan Pakem untuk rehabilitasi. Lek nDoyo pernah ngedan karena tak kuat belajar ilmu Jawa. Lek Sukris pernah ngamuk dan mengejar-ngejar saudaranya karena masalah warisan. Untunglah mereka telah sembuh dan kembali ke masyarakat dengan baik. Bahkan mereka dapat membangun keluarga dengan mapan mengalahkan saya yang belum pernah edan. Selamat buat Lek Ndoyo yang baru menikah. Istrimu bak model cantik sekali..hehehe.

Inti dari tulisan ini sebenarnya adalah agar kita hidup jangan terlalu ngoyo. Santai saja. Berusaha dan tetap pasrah pada Yang Maha Kuasa. Nikmatilah hidup ini sewajarnya dan ngga usah neko-neko. Jangan sampai kita menjadi gila karena menanggung beban pikiran yang terlalu berat. Padahal belum tentu yang kita pikirkan itu benar-benar persoalan berat. Hanya kecemasan dan pandangan kita yang keliru saja membuat setiap persoalan menjadi terasa berat. Mulailah belajar santai sobat....

Di akhir tulisan, saya hanya berdoa agar mbanya yang gila tadi dapat kembali ke keluarganya dan sembuh kembali. Sangat disayangkan apabila tubuh seksi dan kepintarannya tertelan kegilaan yang tak seharusnya menimpa. Semoga ia selamat...
Pikiran saya melayang kepada banyak perempuan gila yang hamil karena karena ulah bejat oknum-oknum ’gila’ di jalanan. Seorang kawan yang bekerja di sebuah rumah sakit di Jogja pernah bilang bahwa banyak perempuan-perempuan gila yang disetubuhi, hamil kemudian melahirkan bayi di beberapa rumah sakit. Bayi-bayi itu kemudian diadopsi oleh orang-orang yang membutuhkan. Wah..wah...orang memang sudah pada gila. Atau dunia memang sudah terbalik ??

Salam...

Wates, suatu malam

Sabtu, 09 Februari 2008

LAGI...TENTANG SAKIT

Kalimat bijak bilang ‘ada hikmah dibalik musibah’. Tentu hal ini dapat juga disadur secara bebas menjadi ’ada hikmah dibalik sakit’. Tulisan ini menyambung tulisan terdahulu mengenai sakit yang bertubi-tubi menyerang saya beberapa hari ini. Kebetulan sehabis dari warnet memposting tulisan kemarin, saya mampir jum’atan di Masjid Jami Wates. Ternyata tak diduga sang khatib mengkhutbahkan masalah sakit. Kok ya pas sekali. Mungkin tuhan sedang ngeyem-yem saya agar tabah menjalani masa ujian ini...hehe.

Dengan tutur kata yang campur aduk antara Bahasa Indonesia dan Jawa, khatib shalat jum’at tersebut berbicara panjang lebar tentang sakit ditinjau dari segi agama. Ia memberikan contoh sederhana yang cukup mengena. Tentang seorang anak sekolah yang gagal ikut piknik ke Bali bersama-sama teman-teman sekolahnya karena mendadak terserempet sepeda motor di jalan. Anak ini mengumpat tuhan habis-habisan. Ia berpikir bahwa tuhan tidak adil kepadanya karena menjatuhkan sakit yang tak terduga sehingga menggagalkan rencananya untuk sekedar bersenang-senang. Tak dinyana, bus rombongan piknik sekolahnya tersebut masuk jurang dalam perjalanan menuju ke Bali. Banyak teman-temannya yang luka parah bahkan ada yang sampai meninggal. Baru ia sadar, tuhan telah memberikan nikmat yang terbaik bagi dirinya. Cuma terserempet sepeda motor. Mungkin bila ia jadi ke Bali ceritanya akan lain. Musibah yang dialaminya tentu lebih parah lagi.

Sang khatib kemudian mengatakan agar sakit jangan dianggap sebagai musibah. Tapi anggap saja itu sebagai ujian dari yang maha kuasa agar kita selalu ingat kepadanya. Bahwasanya kita ini makhluk yang lemah. Sakit sepele pun membuat kita tak kuasa apa-apa. Yang terpenting dari itu semua, kita harus hati-hati dalam segala hal. Menjaga kesehatan adalah mutlak. Sekali lagi saya katakan, kita baru bisa merasakan nikmatnya sehat apabila sakit benar-benar mendatangi kita.

Sekarang ini yang sedang saya pikirkan adalah hikmah atau pelajaran apa yang dapat saya ambil dari sakit yang mendera saya belakangan ini. Mungkin saya terlalu ngangsa dalam segala hal. Angan-angan saya terlalu panjang. Sampai-sampai tak memikirkan hal-hal penting seperti kesehatan. Mulai hari ini banyak hal yang harus saya benahi dari diri saya. Semoga ke depan saya akan melangkah lebih baik lagi.

Selain itu, saya juga masih berharap mendapat karunia lain dibalik musibah sakit ini. Mungkin ada satu dua hal yang tidak terpikirkan sebelumnya dalam benak saya hadir dengan sendirinya. Apa itu ? Who knows?! Wekeke...

Tulisan ini cuma menyambung yang kemarin. Semoga bermanfaat...

Giant, 9 Februari 2008

Jumat, 08 Februari 2008

SAKIT

Hari-hari terakhir ini benar-benar sangat melelahkan. Sakit bertubi-tubi menyerang badan kurus ini. Mulai dari sakit gigi, berlanjut ke diare terus sekarang dompo mulai menggerayangi tubuh. Penyakit terakhir ini belum pernah kualami sebelumnya, jadi aku masih awam dan agak sedikit takut. Maklumlah, banyak orang kiri kanan yang ngomong ngga karuan mengenai penyakit ini. Mulai dapat mengakibatkan lumpuh, menyerang seluruh badan dan sebagainya. Tapi yang jelas, banyak aktivitasku yang terbengkelai karenanya.

Aku semula tak menyangka bintik-bintik di sekitar perut hingga menjalar sedikit demi sedikit ke punggung ini adalah dompo. Pada awalnya saya kira alergi biasa. Sebab sebelum bintik-bintik ini muncul perutku benar-benar kacau, sulit buang air besar. Rasanya mbesesek minta ampun. Seperti ada yang menonjok-nonjok ke ulu hati. Badan hingga punggungpun menjadi kemeng bukan kepayang. Akhirnya, segala macam obat kucoba, mulai dari berbagai obat maag sampai obat pencahar, seperi dulcolax. Alhasil, pencernaanku lancar, bahkan sangat lancar sekali. Semalaman tak dapat kuhitung berapa kali aku bolak balik ke belakang sekedar membuang isi perut sialan ini...

Nah, setelah itulah dompo terkutuk ini menggerayangi tubuh. Bermula dari bintik-bintik kecil lalu semakin lama semakin berkembang menjadi banyak. Awalnya, seperti kubilang tadi, aku mengira ini adalah alergi biasa. Tetapi aku menjadi ragu kalo ini alergi setelah bintik ini menjadi panas kemrenyas dan tubuhkupun menjadi nyeri di beberapa bagian. Akhirnya, kuperiksakan ke dokter beberapa hari kemudian. Kata pak dokter, ini adalah dompo. Ya, dompo. Sebuah kosakata baru nama penyakit yang berkenalan dengan tubuh indahku...wekeke.

Banyak penyakit berseliweran di tubuhku. Mungkin virus-virus sedang mencoba kedigdayaanku. Dari pengalaman selama ini, aku cukup hebat menghalau mereka. Bahkan virus tubercolusis yang ganas pun bertekuk lutut di hadapanku walau harus berbulan-bulan untuk melumpuhkannya. Dari situ, aku banyak bereksperimen melakukan pengobatan sendiri selain tentu saja mengikuti petunjuk dokter. Satu yang dapat kupetik dari sini, wawasanku tentang penyakit menjadi lebih luas. Aku tidak mau penyakit yang sama menyerang dua kali. Hanya orang bodohlah yang terperosok lubang yang sama sampai dua kali.

Tentang dompo ini, aku banyak sekali mendapat referensi untuk menanggulanginya. Mulai cara medis sampai tradisional. Bahkan ada juga yang memberi saran secara gugon tuhon atau kepercayaan ala jawa yang aneh-aneh. Tapi tak tahu mengapa, di dalam benak ini tercetus ide yang mungkin agak gila. Dompo ini akan kugelontor saja dengan cairan bensin. Rasanya pasti panas. Dengan begitu akan segera tercerabut tanpa sisa dari tubuh. Tapi aku agak miris juga dengan cara ini. Jangan-jangan nanti malah infeksi. Ah, aku harus membulatkan tekad dulu...

Lepas dari itu semua, banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kesakitan ini sebenarnya. Dengan sakit kita menjadi sadar betapa mahalnya nikmat sebuah kesehatan. Sesuatu yang tidak terpikirkan dikala kita sedang sehat. Sakit terkadang juga lebih mendekatkan kita kepada sang pencipta. Betapa kita ini makhluk lemah, yang begitu kecil di hadapannya. Untuk menghadapi sakitpun tak kuasa. Yang terpenting sekarang, bagaimana membuat sakit ini menjadi berkualitas. Tidak membuat hidup kehilangan semangat tetapi malah menciptakan solusi yang bermanfaat. Tentu berpulang kepada diri kita masing-masing dalam menyikapinya....Ya ngga coy?!

Tambak, 08 Februari 2008