Senin, 21 April 2008

MUNGGAH GUNUNG YUK !!




Judul buku :
Mari Mendaki Gunung dari Leuser sampai Cartenz Panduan Bagi Orang- orang yang Berani
Pengarang :
Hatib Abdul Kadir
Tebal buku :
168 halaman
Cetakan :
I, 2003
Penerbit :
ANDI Yogyakarta

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya seperti monyet tua yang dikurung di dalam kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras, diusap oleh angin, dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil. Dan orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur.” Soe Hok Gie 1969

Ini adalah buku panduan mendaki gunung yang cukup baik dibaca oleh kawan-kawan pendaki gunung atau siapa saja yang suka bertualang menjelajah ganasnya alam. Berisi tentang profil gunung-gunung di seluruh nusantara mulai dari Sumatera sampai Papua. Di bagian akhir juga dimuat peta jalur-jalur pendakian gunung-gunung tersebut. Meskipun pembahasan di dalamnya masih terasa kurang mendalam, buku ini tetap meninggalkan kesan yang bagus bagi pembacanya.

So....bagi Ndung, Kent dan 'anjing-anjing liar' lainnya saya sarankan membaca buku ini. Kalo ngga punya duit untuk beli, pinjamlah di perpustakaan Wates. Lha wong saya juga cuma pinjam...hehehe.

Inside the book :

MANDALAWANGI-PANGRANGO

Senja ini ketika matahari turun dalam jurang-jurangmu
Aku akan kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara denganmu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintaku dan cintamu adalah kebisuan semata
Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan
Hidup adalah soal keberanian, menghadapi tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita menawar
Terimalah dan hadapilah
Dan diantara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu
Aku cinta kamu pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Soe Hok Gie, Jakarta 19-7-1966

Senin, 07 April 2008

JLANTHAR, SISI LAIN SEBUAH KESETIAAN



Kali ini saya akan bercerita yang ringan-ringan saja. Tentang kucing kesayangan keluarga kami. Jlanthar namanya. Sebetulnya banyak sebutan yang dialamatkan kepadanya, tapi nama itu yang paling familiar. Sebuah nama merujuk pada bentuk ekornya yang memanjang.

Sebetulnya dibilang hewan kesayangan sih ngga betul-betul amat. Berkali-kali kami ingin membuangnya karena perilakunya yang kadang kelewatan. Mencuri daging dan ikan di meja, berak sembarangan di dalam rumah atau berkejar-kejaran dengan kucing lain hingga merusakan atap dan eternit rumah. Tapi sifatnya yang memelas dan sok akrab dengan seluruh penghuni rumah membuat kami mengurungkan niat untuk membuangnya.

Jlanthar adalah generasi kesekian dari Simbok, julukan bagi kucing perempuan tua yang lama berkeliaran di lingkungan tempat tinggal kami. Simbok ini adalah cikal bakal yang telah melahirkan berpuluh-puluh ekor kucing disini. Bila Anda bertandang ke tempat kami, akan terlihat komunitas kucing di berbagai sudut kampung. Dari rahim simbok inilah para kucing itu bermula dan kemudian beranak pinak. Jlanthar salah satunya.

Sebetulnya tak ada yang istimewa dari kucing satu ini. Bahkan terkesan sebagai kucing rumahan yang penakut. Ia hanya berkeliaran di seputar rumah. Bila dilepas di tempat yang agak jauh dari rumah niscaya ia akan kesulitan pulang. Yang membedakan dengan kucing-kucing lainnya mungkin adalah kesetiaan dan loyalitasnya yang tinggi pada keluarga kami. Disuruh dan diperlakukan apapun ia manut. Padahal kalo dipikir-pikir, ikut dengan keluarga kami adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Jarang ada makanan dan penghuni-penghuninya hilir mudik tanpa pernah tinggal tetap di dalam rumah. Untunglah si Jlanthar ini adalah kucing yang tidak neko-neko. Mau makan apa saja. Kadang ia memburu kadal-kadal liar yang biasa berkeliaran di kebun. Kali lain ia terlihat memburu hewan-hewan kecil yang beterbangan di sekitar halaman. Jadi, kalo selama ini badannya terlihat kurus dan ceking, itu adalah bentuk laku prihatin yang dijalaninya sekaligus bukti loyalitas dan kesetiaannya yang tak pernah pudar kepada keluarga kami.

Satu lagi hal mulia dari kucing ini adalah rasa kasih sayangnya yang tinggi terhadap sesama hewan. Berkali-kali ia menolong dan membimbing kucing-kucing kecil yang terlunta-lunta di jalanan. Ia bawa kucing-kucing itu ke rumah kami. Seperti adiknya sendiri, ia ajak mereka mencari makan dan sekedar bermain-main. Entah sudah berapa banyak cemeng-cemeng yang ia selamatkan kemudian setelah besar ia lepas untuk mencari penghidupan sendiri-sendiri.

Itulah Jlanthar, kucing kurus kesayangan keluarga kami. Dalam kesunyian hidupnya ia masih mampu membuat teladan-teladan hebat bagi manusia. Kesetiaannya tak pernah lekang di makan waktu. Seakan menampar kita, manusia, yang perlahan mulai lupa apa itu sebuah kesetiaan. Terkadang saat saya rindu rumah, sosoknya selalu membayang di pelupuk mata...

Giant, suatu malam