Jumat, 23 Oktober 2009

LELAKI GILA DAN KOTA TUA

( cerpen ini masuk dalam Kumcer Joglo 7 'Mengeja September' terbitan Taman Budaya Jawa Tengah )

Aku mengenalnya semenjak masih kecil. Lelaki paruh baya sinting yang selalu berkeliaran di kota tua kami. Badan kurus mencangkung, rambut panjang gimbal acak-acakan dan jalan terpincang-pincang sambil memanggul buntalan kain di pundak. Bila terkekeh, terlihatlah gigi-gigi menghitam yang tak beraturan. Itulah ciri-ciri khasnya. Benarkah ia sinting atau gila seperti omongan banyak orang ? Aku rasa tidak. Aku tahu lebih banyak tentang laki-laki itu daripada penduduk kota ini lainnya. Nanti kuceritakan, bagaimana aku bisa begitu akrab dengannya. Sepanjang pengamatanku, lelaki gila itu adalah pertanda baik bagi kota ini. Bila ia masih terlihat berkeliaran di jalanan maka aman dan baik-baik sajalah keadaan kota ini. Sebaliknya bila ia menghilang dari penglihatan, awan hitam selalu menaungi kota ini.

Dan sejak beberapa hari lalu aku tak menjumpainya lagi. Entah dimana ia gerangan. Menghilangkan diri atau dihilangkan, tak ada yang tahu. Aku mulai menebak-nebak, dalam waktu dekat pasti akan terjadi sesuatu dengan kotaku tercinta ini.

Aku dilahirkan dan dibesarkan di kota ini, kota tua yang damai dan asri. Walau hanya tergolong kota kecil, kota kami terkenal ke seantero negeri. Banyak orang berdatangan ke sini, terutama untuk belajar atau mengenal budaya kami yang adiluhung. Bahkan banyak dari mereka yang kemudian memilih tinggal disini. Jikalau kembali ke kampung asal, merekapun masih merasa bagian dari kota ini. Setiap ditanya, mereka pasti menjawab : saya adalah warga kota itu, saya pernah tinggal disana, saya juga masih punya saudara disana, anak-anak saya sekolah disana, dan seterusnya.

Demikianlah, kota tua kami tumbuh dengan sederhana namun elegan. Penduduknya terkenal ramah dan terbuka terhadap apa saja. Segala hal dapat bersanding mesra disini tanpa melunturkan tradisi lokal yang terus terpelihara. Setelah lulus kuliah, banyak tawaran kerja bagus menghampiriku. Tapi kuputuskan untuk tetap disini, di kota ini. Sudah beberapa tahun aku menjadi wartawan sebuah koran lokal. Walau penghasilan tak seberapa, aku merasa bahagia dan senang. Jiwaku sudah menyatu dengan hiruk pikuk dan udaranya yang mulai sedikit terserang polusi. Tak mungkin kutemui suasana khas seperti disini, di lain tempat. Mungkin itu juga yang dirasakan Mbah Bono, si lelaki gila itu. Menurut cerita orang-orang tua dulu, dialah saksi dan penjaga kota ini dari waktu-waktu. Entah sejak kapan. Sepanjang usiaku, kulihat wajah dan tubuhnya tidak pernah berubah menjadi lebih tua ataupun lebih ringkih. Tetap seperti itu dari waktu ke waktu.

Tentang nama Mbah Bono yang disandangnya, aku tak tahu pasti. Apakah itu nama asli atau bukan. Yang kuketahui, itulah panggilan orang-orang kepadanya dari dulu. Bagi generasi seangkatanku dan sebelum-sebelumku Mbah Bono adalah legenda hidup yang selalu menjadi dongengan menarik waktu kanak-kanak. Sedang generasi-generasi sesudahku sampai sekarang mungkin menganggapnya hanyalah orang gila biasa seperti halnya orang-orang gila lainnya yang banyak berkeliaran di jalanan. Aku masih ingat, ibu selalu berpesan agar jangan mengganggu dan mempermainkan orang gila, terutama Mbah Bono. Nanti bisa kualat. Walau bagaimanapun keadaannya, mereka adalah manusia juga seperti kita. Semua sudah menjadi kuasa dan kehendak tuhan. Dalam beberapa hal, mereka terkadang mempunyai kelebihan yang tidak bisa kita miliki. Bersyukurlah kita yang terlahir ke dunia dalam keadaan normal dan baik-baik saja. Di kali lain, jika sampai sore aku masih saja bermain-main di luar rumah, ibu sering menakut-nakutiku : ‘ayo cepat pulang dan mandi, nanti ada Mbah Bono lewat, nanti kamu dibawanya serta’. Begitulah, Mbah Bono selalu melekat di pikir kanak-kanak seusiaku dulu. Sebagai orang gila keramat yang harus dihormati dan juga monster yang kadang menakutkan kami.

Tetapi dasar anak-anak, ada juga nakalnya. Kami sering menggoda dan mempermainkan Mbah Bono sewaktu pulang sekolah. Kebetulan sekolah kami dekat jalan raya. Mbah Bono sering mangkal dan melepas lelah di ruko kosong pinggir jalan itu. Ketika ia terlelap, kami menimpukinya dengan kerikil-kerikil kecil. Terkadang malah menyodok-nyodoknya dengan ranting kayu. Begitu terbangun, Mbah Bono langsung uring-uringan dan mengeluarkan kata-kata tak karuan sembari mengejar kami yang lari terbirit-birit. Kebanyakan kami lolos dari kejarannya, tetapi sesekali banyak pula dari kami yang terkejar dan kena balas gebuk tongkat Mbah Bono. Kalau sudah begitu, kami hanya bisa menangis keras-keras yang berujung keributan antara orang tua kami dengan lelaki gila itu. Dan selalu aku titeni*, sehabis Mbah Bono kena damprat orang tua kami, petaka-petaka kecil senantiasa melingkupi kota ini. Entah itu gempa bumi ataupun puting beliung yang tak dinyana-nyana datang.

Suatu kali, aku pernah menanyakan perihal Mbah Bono kepada Bapak. Dugaanku, beliau pasti tahu banyak hal tentang laki-laki itu. Bapakku adalah dosen filsafat sebuah universitas negeri ternama disini. Tetapi entah mengapa orang lebih banyak mengenalnya sebagai seorang budayawan yang tulisannya banyak nongol di koran daripada profesi sebenarnya itu.

Bapak tertawa, sedikit menyepelekan pertanyaanku. Ketika aku hendak berlalu meninggalkannya, ia akhirnya bersedia menjawab. Mbah Bono itu sebenarnya bukan orang gila beneran. Dia adalah orang sakti. Turun-temurun dari leluhurnya memang seperti itu. Kelakuannya seperti orang gila dan menggelandang di jalanan. Mungkin sebagai syarat atau tumbal kesaktiannya. Walau begitu, dahulu kala leluhurnya sangat dihormati disini. Mereka adalah pejuang-pejuang yang turut membebaskan kota ini dari penjajahan asing. Mbah Bono yang kita kenal itu merupakan generasi paling akhir. Tidak pernah ada yang tahu apakah ia masih punya sauadara atau tidak. Yang jelas, usia Mbah Bono sudah seratus tahun lebih. Karena kesaktiannya, ia masih terlihat seperti itu terus dari dulu.

Ah, kupikir Bapak hanya mempermainkanku saja dengan jawabannya tersebut agar aku makin penasaran. Memang seperti itulah kebiasaannya bila dimintai tanya tentang suatu hal. Jawabannya selalu tidak serius tetapi sering dibuat seperti masuk akal. Bila pikiran kita sudah kena jebak kata-katanya, barulah beliau tertawa terpingkal-pingkal. Yang pasti, Bapak memang telah mempengaruhi pikiranku. Aku menjadi makin penasaran dengan sosok Mbah Bono.

Perlahan-lahan akupun mendekati Mbah Bono dan berusaha menunjukkan kepadanya sebagai teman yang baik. Mula-mula ia acuh saja. Tanpa diduga, terkadang ia malah menyerangku. Tetapi lama-kelamaan, akhirnya luluh juga. Lelaki itu mulai jinak dan bisa diajak bercanda walau cuma sebatas tertawa-tawa saja, entah apa yang ia tertawakan sebenarnya. Sesekali kubawakan pula makanan dan yang pasti sebungkus rokok kretek lokal kesukaannya. Kami sering ngrokok bersama di pinggir jalan, memandang lalu lintas kota yang makin bising. Banyak orang lalu lalang memandang kami dengan tatapan aneh. Mungkin mereka juga menganggapku gila. Maklum, semenjak kuliah rambutku tergerai memanjang dan dandananku juga makin tak karuan. Jaket dan celana jeans belel yang robek disana sini selalu kusandang. Aku cuek saja.

Sewaktu aku masih kuliah, angin perubahan dan reformasi sedang berhembus kencang di negeri ini. Demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di setiap daerah, tak terkecuali di kota ini. Dan sebagai mahasiswa bandel aku larut juga kesitu. Aku termasuk aktivis yang lumayan terkenal di kampus. Kuliahku keteteran karena waktuku lebih banyak tersita di jalanan, menggalang massa dan terkadang bernegosiasi dengan aparat keamanan. Dan di medan juang mahasiswa jalanan itu pula lagi-lagi aku harus bersinggungan dengan sosok Mbah Bono.

Masih selalu kuingat aksi demo yang berakhir ricuh itu. Semua rencana telah disusun matang dan rapi. Kami mendatangi sebuah kantor partai besar, simbol kekuasaan waktu itu. Tidak akan ada anarkhi, hanya orasi-orasi gertak sambal biasa. Negosiasi dengan pihak keamananpun telah kami lakukan jauh-jauh hari. Awalnya semua berlangsung terkendali seperti rencana. Tetapi menjelang tengah hari yang terik, kekacauan mulai terjadi. Tanpa diduga-duga, entah siapa yang memulai, terjadi adu mulut yang berakhir dengan saling dorong dan lempar batu antara kami dengan aparat keamanan. Banyak pendemo yang ditangkap, tak terkecuali aku. Dalam pandangan samar-samar, setelah kepalaku kena gebuk aparat, kulihat wajah Mbah Bono menyeringai diantara kerumunan massa.

Aku dan banyak kawan aktivis harus mendekam semalaman di sel tahanan. Esok harinya, ketika negosiasi pembebasan kami sedang dilakukan, aku kembali terkaget. Kulihat sekelebat sosok Mbah Bono di salah satu ujung ruangan. Aku menjadi curiga, jangan-jangan Mbah Bono adalah intel yang sedang menyamar. Ia tidak gila sungguhan. Mbah Bono ditugaskan untuk mengawasi gerak-gerik seluruh kota dengan cap kegilaannya. Ia memang sengaja disusupkan diantara kerumunan aksi kemarin. Sialan! Aku dan penduduk kota ini ternyata telah dikibuli oleh lelaki itu, gerutuku dalam hati.

Beberapa hari kemudian setelah aku bebas, yang kucari adalah Mbah Bono. Biasanya dengan mudah dapat kutemukan di jalanan pusat kota. Tetapi setelah kejadian itu, ia seperti menghilang ditelan bumi. Mungkin ia sudah tahu kalau identitasnya terbongkar, pikirku. Kubuka-buka arsip koran lawas tentang beberapa demo terdahulu. Aku terhenyak dan makin yakin kalau Mbah Bono memang intel yang menyamar. Di beberapa foto koran, kulihat bayangan lelaki kurus mencangkung dengan rambut gimbal acak-acakan itu ada diantara keriuhan massa. Aku benar-benar geram. Ingin kucari dia dan kutanyai beberapa hal. Tetapi ia menghilang, tiada yang tahu entah kemana.

Sejak dulu kota kami relatif aman. Walau setiap hari terjadi demonstrasi tetapi secara umum masih dalam batas yang wajar. Entah ini hanya pikiran ngelanturku semata atau bukan, yang jelas sejak menghilangnya Mbah Bono waktu itu, suasana kota menjadi lain. Demo menjadi sering ricuh. Mahasiswa dan massa memblokir jalan dengan membakar ban-ban bekas. Aparat keamanan sering terlihat baku hantam dengan pendemo. Beberapa gedung dan pertokoan bahkan ada yang dibakar massa. Suasana itu berlangsung lumayan lama sampai tumbangnya era terdahulu di negeri ini oleh kaum reformis. Setelah itu keadaan mulai berangsur-angsur tenang kembali. Kulihat sosok Mbah Bono terlihat berkeliaran lagi di jalanan kota.

Di sebuah senja yang basah, kutemui lelaki gila itu di sudut kota. Ingin kuinterogasi dia dengan beberapa pertanyaan tentang beberapa keganjilan yang sering kulihat padanya. Tetapi aku mengurungkan niatku begitu melihat keadaannya. Mungkinkah lelaki gila seperti dia benar-benar intel yang sedang menyamar ? Keadaannya sangat menyedihkan. Diantara guyuran air hujan kulihat ia semakin kurus dan menderita dengan beberapa kali batuk mengeluarkan darah. Banyak sekali luka koreng, terlihat jelas di kakinya. Niatku berubah menjadi iba. Setelah meletakan makanan, kutinggalkan lelaki itu tanpa kata-kata. Tak pernah kuingat-ingat dan kutanyakan lagi keganjilan-keganjilan yang ada padanya. Kuanggap itu hanyalah khayalan semata.

Sampai saat ini, aku menjadi seorang wartawan. Aku tetap berkawan dengan Mbah Bono. Sesekali diantara kejenuhanku mengejar berita, kusambangi Mbah Bono yang sedang duduk-duduk di pinggiran jalan. Kulemparkan sebungkus rokok kretek lokal kesukaannya, kami kemudian merokok sambil mengepulkan asapnya ke udara bersama-sama. Kami tidak pernah ngobrol, hanya saling tertawa. Tawa yang tak pernah kuketahui maknanya, selain sekedar tanda komunikasi semata. Naluri jurnalismeku sebenarnya mengisyaratkan ada banyak rahasia yang tersimpan di dalam sosok sinting dan gila itu. Tetapi hal itu urung kugali lebih lanjut, karena kedekatanku padanya. Aku tak mampu menjejalkan segenap curiga ke wajah polos dan tawa renyahnya yang makin bersahabat.

Beberapa pekan ini, negeriku sedang diramaikan kampanye pemilihan raya untuk memilih pemimpin di negeri kami. Kota tua inipun tak lepas dari hiruk pikuknya, poster dan spanduk calon pemimpin bangsa bergelantungan tak beraturan disana-sini. Hampir setiap hari, alun-alun kota diramaikan oleh pengumpulan massa dan aksi obral janji. Kulihat kota tua ini semakin semrawut dan tidak beraturan. Kesibukan warga kota sedang tersita pada perhelatan besar yang sebentar lagi akan berlangsung. Mungkin hanya aku yang menyadari bahwa banyak hal sedang terjadi di kota ini. Kulihat banyak orang-orang gila baru berkeliaran di jalanan. Mereka tampak liar dan buas. Ada yang masih berpakaian lengkap, ada pula yang sudah compang-camping. Bahkan ada yang telanjang bulat. Aku tak tahu darimana mereka datang. Atau mungkin didatangkan. Yang jelas, kurasakan suasana kota menjadi panas sejak kedatangan mereka.

Aku juga menjadi kehilangan Mbah Bono. Terakhir kali kulihat Mbah Bono di alun-alun kota. Ia tampak cengengas-cengenges diantara keriuhan massa kampanye. Sejak orang-orang gila baru itu bermunculan, aku kesulitan menemuinya. Ia tidak leluasa lagi melenggang sendirian di jalanan. Apalagi sering kulihat, sesama orang gila saling berkelahi, entah memperebutkan apa. Terkadang malah ada yang mati. Mayat mereka tergeletak di jalan, kadang tidak ada yang peduli. Baru ketika mayat-mayat itu membusuk dan mengeluarkan bau tak sedap, orang-orang tersadar dan menyingkirkannya. Mayat-mayat orang gila itu kemudian dikuburkan sekedarnya tanpa nama, konon setelah beberapa organnya dipretheli untuk praktek calon-calon dokter di rumah sakit.Uhh…

Pagi ini, kusambangi gedung besar di pusat kota. Nanti tengah hari disini akan ada konsolidasi massa salah satu peserta pemilihan raya. Aku melihat orang-orang ramai berkerumun di jalan besar di depan gedung. Penasaran, kusibak kerumunan orang itu pelan-pelan. Aku kaget bukan kepalang. Kulihat sosok kurus kerempeng lusuh dengan rambut gimbal acak-acakan tergeletak bersimbah darah, tak bernyawa. Sosok itu kukenal betul : Mbah Bono. Siapa yang tega membunuhnya dengan biadab seperti ini? Pikiranku kemudian berputar-putar. Entah apa yang akan kutulis esok hari di koran.

***

Kota tuaku terasa semakin panas. Gesekan-gesekan antar pendukung peserta pemilihan raya sering terjadi. Tak sedikit korban karenanya, baik nyawa ataupun harta benda. Aku menjadi gerah. Sesekali aku menyendiri di pantai saat lepas malam. Setelah Mbah Bono tiada, aku menjadi merasa sendirian. Tak ada lagi kawan seperti Mbah Bono. Walau aku hanya bisa bertukar tawa, kurasakan ada pertalian hati yang lain dengan lelaki gila itu.

Seperti halnya malam ini, kudatangi pantai kotaku. Tak seperti biasanya, angin bertiup kencang membawa hawa dingin bercampur dengan bau garam air laut. Aku sedikit menggigil. Tiba-tiba bumi terasa bergoyang. Air laut bergolak. Seperti raksasa besar yang rebah, samudera maha luas itu menghambur ke daratan. Aku terpana, tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Kakiku menjadi berat dibawa berlari. Aku dan kota tua ini sebentar lagi pasti akan lenyap ditelan gelombang hebat ini. Tiba-tiba kurasakan sepasang tangan meraih dan menepuk-nepuk tubuhku. Seleret sinar kuning jatuh menerpa mukaku dari celah jendela. Mataku masih samar, nafasku terengah-engah. Kulihat sosok tua kurus itu menyulut rokok di samping dipan**. Bapakku.

“Sudah siang, Yusron. Engkau pasti mimpi jelek ?!”

Aku benar-benar bersyukur hari ini.

Yk, Mei 2009.

* titeni : tengerai

** dipan : tempat tidur dari kayu

Rabu, 09 September 2009

SEPATU



Dikin tampak ragu. Sebentar duduk, sebentar berdiri. Mondar-mandir, entah berapa kali ia berjalan menuju pintu kemudian balik lagi. Garuk-garuk kepala, pikirannya sedang menimang-nimang sesuatu.

“Kalau sepatu ini kuambil, nanti Juragan Roni bisa marah besar . Lagian, mengambil barang tanpa seizin yang punya kan dosa ?!”

Ia tarik tangannya dari rak sepatu sembari menghirup udara dalam-dalam.

“Tapi kasihan juga si Udin. Masak ia harus pakai sepatu butut terus tiap lomba. Padahal besok kan sudah sampai tingkat propinsi, pak bupati juga bisa kena malu.”

Bimbang. Wajahnya yang memang sudah kusut tampak semakin kusut. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala yang bagian depannya mulai membotak itu.

“Pak, doakan Udin ya. Besok Udin maju lomba tingkat propinsi di kota. Kemarin regu sekolah Udin menang di tingkat kabupaten”.

Terlintas terus di pikirannya saat tadi pagi, Zaenuddin atau sering dipanggil Udin, minta restu kepadanya akan maju lomba cerdas cermat tingkat propinsi. Dikin mengusap rambut lebat anak sulungnya itu sambil mengucap restu dan doa. Matanya berkaca-kaca, antara trenyuh dan bangga.

Bagaimana Dikin tidak bangga mempunyai keturunan seperti si Udin. Anaknya cerdas dan pintar. Dari SD sampai sekarang, kelas dua SMP, selalu juara kelas. Bea siswapun mengalir deras, meringankan bebannya sebagai kepala keluarga. Budi pekerti dan kelakuannya juga patut dijadikan contoh anak-anak seusianya. Rajin membantu sekaligus homat pada kedua orangtua. Mungkin ini berkat ketekunannya mengaji di langgar.

Tetapi di sisi lain, ia merasa bersalah sekaligus kasihan, tidak bisa memberikan kebahagiaan yang semestinya kepada anaknya itu. Juga kepada isteri dan anak-anaknya yang lain. Dikin hanyalah buruh kecil yang kerjanya serabutan. Apa saja ia lakukan asal menghasilkan uang dan halal menurut agama. Ia sering menangis dalam hati bila ingat beberapa kali dirinya merecoki beasiswa yang diterima Udin. Uang yang seharusnya untuk keperluan sekolah itu, ia gunakan untuk menambal kebutuhan hidup sehari-hari. Memang serba susah hidup sebagai buruh kecil. Apalagi harus menanggung empat orang anak yang masih butuh banyak biaya.

Beberapa hari ini, Dikin diminta menjaga rumah Juragan Roni, seorang saudagar kaya asal Makasar. Selama satu minggu, sang juragan pulang kampung bersama keluarganya. Pembantu dan pekerjanya diliburkan. Ada juga yang diajak serta ke Makasar. Konon, salah satu anaknya yang tinggal di kampung halaman mau menikah. Dalam situasi darurat seperti inilah jasa serabutan Dikin dibutuhkan. Ia memang sering mendapat job apa saja dari Juragan Roni. Dalam beberapa hal, tampaknya ia sangat dipercaya oleh Juragan Roni. Entah mengapa tidak direkrut saja menjadi karyawannya. Mungkin karena curriculum vitae Dikin yang tidak mengenyam bangku sekolah.

Dikin bisa mengenal dan berhubungan baik dengan Juragan Roni tak lepas juga dari sepak terjang Udin. Dulunya, juragan Roni adalah atlet sepakbola nasional yang cukup terkenal. Ketika era galatama masih berkibar, itulah masa-masa kejayaan Juragan Roni di lapangan hijau. Kini di masa tuanya, selain berprofesi sebagai pengusaha, ia juga seorang pencari bibit-bibit unggul sepakbola. Di daerah ini, ia mendirikan sekolah sepakbola walaupun hanya kecil-kecilan. Dan Udin adalah salah satu anak didiknya.

“Dikin, anakmu itu punya bakat sepakbola yang besar. Jika ia mau berlatih keras, suatu saat ia bisa menjadi pemain hebat. Paling tidak seperti aku dulu”.

Demikian Juragan Roni pernah berkata kepada Dikin sambil menghadiahi sebuah sepatu pul di pinggir lapangan. Sepatu bola yang kelihatan uzur tetapi masih terawat baik, berlogo macan terbang. Konon, sepatu itu merupakan sepatu kesayangan dan keberuntungan Juragan Roni. Sebagai seorang striker, banyak gol dihasilkannya dengan sepatu macan terbang itu. Dikin senang bukan kepalang. Dalam hati ia berharap, suatu saat anak kesayangannya itu menjadi pemain sepakbola yang hebat. Ia sering mendengar obrolan anak-anak muda di kampung bahwa gaji pemain bola sekarang gede-gede. Lebih gede dari gaji pegawai negeri sekalipun. Itu baru di Indonesia, belum kalau bisa bermain di luar negeri. Menurut cerita yang baru didengarnya, ada seorang pemain bola yang dikontrak sampai bermilyar-milyar. Jumlah uang yang ia tak tahu berapa hitungannya. Dalam bayangannya, uang sebesar itu cukup untuk menimbun rumahnya yang mulai reot, hampir rubuh.

“Gaji pemain bola di zamanku dulu tidak segede sekarang. Tapi aku bisa nabung. Makanya di masa tua, aku bisa makmur seperti sekarang”

Pikiran Dikin melayang-layang. Juragan Roni yang dulunya pemain bola dan gajinya tidak sebesar sekarang saja bisa jadi orang sukses. Apalagi jika nanti Udin bisa lebih top darinya. Bermain sepak bola di luar negeri dan dilihat berjuta-juta orang di seluruh dunia. Dikin melihat Udin berlari menggocek bola di televisi. Sentuhannya maut, umpan-umpannya matang. Banyak gol indah berawal dari kakinya. Udin dieluk-elukkan banyak orang. Di jalanan ia sering berpapasan dengan orang-orang mengenakan kaus bertuliskan Udin Dikin di belakangnya. Udin Dikin yang tak kalah hebat dibandingkan dengan Zainuddin Zidane. Sementara di rumahnya yang mewah, Dikin hanya ongkang-ongkang kaki sambil bercengkerama dengan cucu-cucunya. Sungguh, kebahagiaan yang tiada tara melihat anaknya menjadi orang sukses. Ia bisa mempertanggungjawabkan kewajibannya sebagai orang tua kepada tuhan, kelak di akhirat.

Wajah sumringah Dikin mendadak pudar dan berubah kecut begitu sadar bahwa khayalannya sangatlah jauh dari kenyataan. Zaenuddin Dikin yang digadang-gadang menyamai kemasyhuran Zainuddin Zidane, pupus sudah. Semua berawal dari sebuah Sabtu siang kelabu. Hari itu, Udin dan kawan-kawannya pulang sekolah beramai-ramai dengan jalan kaki. Mereka tampak gembira, besok sekolah libur. Tak diduga sama sekali, seorang pemuda mabuk mengendarai sepeda motor dengan kecepatan lumayan tinggi menghajar tanpa ampun kawanan itu. Beberapa anak jatuh terkapar. Naas sekali, Udin salah satu diantaranya. Tulang-tulang kakinya patah dan tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Dikin sampai saat ini sangat menangisi peristiwa itu. Peristiwa yang mengubur harapannya yang begitu tinggi pada anak kebanggaannya. Lebih dari itu, Indonesia juga selayaknya berduka : kehilangan calon bintang masa depan dan kemungkinan juara dunia, hanya gara-gara seorang pemuda mabuk !

Tak kalah tragis pula nasib si macan terbang. Sepatu yang pernah mengalami masa keemasan di lapangan hijau itu, kini turut merana mengikuti langkah tuannya yang baru. Meski sangatlah kebesaran di kaki, Udin memaksakan diri memakai sepatu bola itu ke sekolah. Maklum, tiada lagi sepatu yang layak ia pakai. Sepatu pul tak jadi soal, asal masih dapat digunakan. Udin sangat takut dengan Pak Jalal, guru olahraga yang terkenal disiplin dan galak. Bila terlihat ada salah seorang muridnya tak memakai kaus kaki apalagi sepatu, Pak Jalal tentu marah besar. Bisa-bisa ia disuruh pulang, tak boleh mengikuti pelajaran. Itu sudah untung. Kemarin, Si Gopar kena tendang kakinya hingga menangis meraung-raung hanya karena tidak memakai kaus kaki dan bajunya tidak dimasukkan. Demikianlah, sepatu pul yang harusnya digunakan untuk mengolah si kulit bundar di lapangan hijau, kini dipakai Udin ke sekolah. Itupun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Compang-camping disana-sini, bagian depannya juga mulai menganga pula.

Dikin menangis dalam hati mengingat semua itu. Betapa ia orang tua yang tidak berguna. Tak mampu memberikan kemewahan bagi keluarganya. Tetapi mau bagaimana lagi, ia telah berusaha sekuat tenaga. Hanya itulah yang ia mampu. Terngiang-ngiang kata Kliman, tetangganya, beberapa waktu yang lalu.

“Kin, Kamu sungguh beruntung punya anak pintar dan penurut seperti si Udin. Lain sekali dengan anakku, Si Gopar. Tak pernah berhenti membuatku mengurut dada. Minta ini itu yang tak jelas juntrungannya. Duit yang kuberikan untuk bayar sekolahpun ditilepnya untuk foya-foya. Kalau aku punya anak seperti Si Udin, sungguh bahagianya diriku...”

Semangat Dikin terlecut. Perlahan, ia ambil sepatu pantopel hitam mengkilat itu dari rak sepatu. Pas sekali dengan ukuran kaki anaknya. Den Yudha, putera Juragan Roni yang sebaya dengan Udin, pasti tidak akan tahu. Ia cuma pinjam satu hari saja untuk lomba besok.

***

Dikin menunggu di depan rumah. Ia pulang sebentar dari tempat kerjanya sekedar menanti kabar dari Udin yang hari ini maju lomba. Tadi pagi ia lepas anaknya itu dengan perasaan bangga. Udin tampak gagah sekali dengan sepatu pantopel hitam mengkilat itu. Doa-doa selalu ia panjatkan untuk keberhasilan Udin. Tetapi Dikin lupa memberitahu anaknya bahwa sepatu itu hanyalah pinjaman.
Hari makin siang. Udin pulang dengan wajah gembira dan berseri-seri. Tangannya menggenggam sebuah kertas. Sebuah piagam.

“Bapak. Regu Udin menang lagi Pak... Ini piagamnya. “

Dikin benar-benar gembira. Ia peluk anaknya dengan berkali-kali mengucap syukur. Baru ia sadari kemudian bahwa ada sesuatu yang ganjil pada diri Udin. Udin memakai sepatu butut macan terbang itu lagi.

“Udin, dimana sepatu yang Bapak berikan tadi pagi ? Kok tidak kamu pakai ?”

“Eh, maaf Pak. Udin lupa memberitahu Bapak terlebih dahulu. Sepatu itu terpaksa Udin jual. Kasihan si Gopar, ia belum membayar SPP berbulan-bulan. Seperti yang Bapak selalu bilang, kita harus selalu tolong menolong bukan ?!”

Dikin terkejut. Mendadak kakinya terasa lemas. Ia tak tahu harus marah atau bangga dengan anaknya itu.

Wates, 07 Agustus ‘09

Sabtu, 09 Mei 2009

RAHASIA BAPAK

( dimuat di Minggu Pagi, Minggu II Mei 2009)

Pagi ini, tak seperti biasanya bapak mendekatiku dan berusaha akrab. Sudah beberapa tahun hubungan kami mendingin. Walau bernaung di bawah atap yang sama, tegur sapa kami lakukan seperlunya saja. Bapak sudah pensiun dari instansi pemerintah tempat ia mengabdikan diri selama ini. Aktivitasnya diisi dengan tidur, jalan-jalan, terkadang merawat kebun di belakang rumah dan yang tak pernah ia tinggalkan : melamun di serambi depan rumah sambil mendengarkan lagu-lagu lawas kesukaannya. Sebuah tape recorder tua yang mulai bersuara kemresek selalu setia menemani. Konon, barang itu ia beli bersama ibu di kala muda. Mereka mengikat jalinan cinta berawal dari kesukaan yang sama yakni mendengarkan lagu-lagu lewat radio. Tentang kisah cinta mereka lebih lanjut, aku kurang tahu pasti. Mungkin layaknya roman picisan remaja zaman sekarang tetapi dalam era dan suasana yang berbeda. Tak pernah aku pikirkan !

“Wan…kamu sibuk tidak hari ini ? Antarkan aku ke ibumu ! “ katanya kemudian.

“Ah, aku banyak tugas hari ini …” jawabku sekenanya.

“Aku rindu ibumu Wan. Kalau kau ada waktu, tolong antarkan bapak ke ibumu !”

“ Memangnya mau apa bapak ke tempat ibu ? Membuat ibu makin menderita ?”

Aku segera menstater motor kemudian pergi meninggalkan bapak yang masih menatapku dengan penuh pinta dan harap. Sesaat kulirik, wajah tuanya tampak memelas dan airmukanya terlihat jelas

***

Banyak orang menganggap keluarga kami adalah keluarga yang sukses. Tetapi kami menganggapnya biasa-biasa saja. Sebuah keluarga yang tidak terlalu besar dan dapat digolongkan dalam skala menengah. Bapak adalah seorang pegawai pemerintah daerah yang mempunyai jabatan cukup terpandang. Ibu adalah aktivis perempuan di partai yang pernah sangat berkuasa di era orde baru dan sudah beberapa periode ini duduk di dewan perwakilan rakyat daerah. Tiga orang anaknya, aku yang paling bungsu, juga mempunyai prestasi lumayan baik di mata warga sekitar. Kedua orang kakakku sudah berkeluarga dan tinggal terpisah, sedang aku masih setengah jalan kuliah. Mas Herman kakakku tertua berkarier sebagai pegawai negeri seperti bapak tetapi di lain daerah meski masih dalam satu propinsi. Mbak Ratih, kakakku nomor dua, seperti cita-citanya sejak kecil, menjadi guru di sebuah sekolah menengah atas. Ia bersuamikan seorang insinyur pertambangan dengan gaji yang lumayan tinggi walau harus kerja di luar pulau dengan durasi kerja setengah bulan di pertambangan setengah bulan berikutnya off. Dilihat dari luar, bukankah ini yang dinamakan keluarga sukses itu ?

Sesuatu yang terlihat ideal dari luar belum tentu terasa nyaman pula di dalamnya. Kami, anak-anaknya, merasakan hal itu. Tetapi nasehat alamarhum kakek amat membekas dihati kami : jagalah kehormatan keluarga, jangan menceritakan aib sendiri kepada orang lain. Biarlah itu menjadi rahasia keluarga. Begitulah, kami selalu menyimpan perasaan hati masing-masing. Tidak pernah protes ini itu, apalagi berkeluh kesah pada orang lain tentang masalah keluarga. Kami ingin mencetak prestasi gemilang untuk menutupi kekurangan keluarga ini. Yang terpenting, di mata umum keluarga kami tetaplah terhormat dan menjadi panutan.

Sebenarnya semua keruwetan masalah ini berawal dari keinginan ibu untuk aktif di luar rumah, salah satunya adalah ikut bergabung dalam organisasi perempuan sebuah partai besar kala itu. Bapak yang selalu lemah jika berhadapan dengan ibu, mungkin karena saking cintanya, tanpa banyak pertimbangan akhirnya mengabulkan. Ibu yang semula hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa akhirnya mulai berkecimpung di organisasi tersebut. Maka sejak saat itu, ibu mulai jarang berada di rumah menemani kami, anak-anaknya. Kegiatannya banyak diluar rumah. Entah itu pelatihan, rapat konsolidasi, bakti sosial atau kegiatan-kegiatan lain semacamnya, tak pernah kami ketahui secara pasti. Dan yang menjadi korban adalah anak-anaknya, terutama aku yang masih kecil. Hari-hariku banyak dihabiskan bersama rewang yang mulai didatangkan oleh bapak. Hanya sesekali ibu menanyakan kabar dan keadaanku di rumah. Untunglah, disela-sela kerjanya sebagai pegawai negeri yang agak nyantai, bapak bisa meluangkan waktunya untuk kami. Mengganti kasih sayang ibu yang direnggut kegilaannya berorganisasi.

Demikianlah, hari ke hari ibu semakin sering meninggalkan kami dan bapak kemudian seolah-olah menjadi bapak rumah tangga. Mengantarkan aku ke sekolah sebelum pergi ke kantor. Menemani belajar anak-anaknya. Terkadang malah memasak dan mencucikan pakaian jika rewang kami tidak datang. Anak-anaknya, terutama aku menjadi lebih dekat kepada bapak daripada ibu. Bapak menjadi tempat mengadu bila ada masalah. Bapak pula yang selalu menasehati kami agar belajar tekun supaya kelak menjadi orang yang berhasil. Pendek kata, bapak adalah orang tua jempol bagi kami.

Karier ibu di luar rumah semakin menjulang. Ibu juga kuliah lagi untuk mengejar prestise dan posisi bagus di organisasi. Jabatan pentingpun tak lama kemudian berhasil diraih. Karena posisinya yang strategis ia semakin diperhitungkan di partai politik tempat organisasi itu bernaung. Tak lama kemudian ibu pun melenggang dengan mulus sebagai anggota dewan tingkat daerah. Karena keterampilan bahasa dan kulewesannya bergaul, ibu bisa bertahan cukup lama disitu meski partai politiknya mengalami tekanan hebat di awal-awal era reformasi. Demikianlah, bapak semakin tenggelam dibawah bayang-bayang ibu.

Di dalam rumah ibu juga makin berkuasa. Ia akan marah-marah jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hati. Segala keputusan berada di tangannya. Bapak yang seharusnya menjadi kepala rumah tangga ternyata tidak bisa berbuat apa-apa jika berhadapan dengan ibu. Ibu yang keras dan bapak yang lunak, berkah atau bencana aku tidak tahu. Yang jelas, apabila bapak tidak mempunyai kesabaran yang luar biasa, aku yakin biduk rumah tangga ini sudah lama hancur. Tetapi apalah artinya sebuah bangunan rumah tangga bila di dalam penghuninya merasa panas dan tidak nyaman. Ada bara terpendam yang sewaktu-waktu tanpa diduga bakal membakar rumah ini.

Sebenarnya aku tahu kalau ibu juga sangat mencintai bapak. Organisasi dan pergaulan lah yang merubah perangai ibu menjadi seperti itu. Aku sering mencuri-curi dengar bila ibu dan kawan-kawannya satu organisasi ngobrol di ruang depan. Mereka selalu mempersoalkan masalah kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Bicara mereka berapi-api dan selalu ingin menyerang ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan di negeri ini. Dan yang sering menjadi sasaran adalah kaum laki-laki sebagai lawan jenisnya. Laki-laki yang seharusnya menjadi mitra seolah-olah malah menjadi musuh bagi mereka. Aku yang masih kecil kadang merasa ngeri mendengar pembicaraan mereka. Ah, harus seperti itukah emansipasi ?

Ibu dan bapak memang artis sandiwara yang hebat. Di luar rumah mereka menampakkan keharmonisan yang luar biasa. Pada acara-acara tertentu, seperti menghadiri sebuah undangan ataupun hajatan keluarga terkadang mereka datang berdua. Menunjukkan kepada dunia luar, inilah keluarga yang pantas menjadi teladan itu. Tetapi sesampai di rumah, ibu kembali berkuasa dan bapak seperti biasa selalu menurut perintah dan kemauan ibu.

Ibu sekarang telah mampu membeli rumah dan mobil sendiri dari hasil keringatnya sebagai anggota dewan. Baru aku ketahui juga bahwa barang-barang mewah yang mulai memenuhi rumah ini dibeli atau hutang atas nama ibu. Sedang bapak adalah tipikal orang yang sederhana. Ia tidak neko-neko sebagai pegawai negeri apalagi korupsi. Gajinya mungkin hanya terserap habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak pernah kudengar bapak bermimpi ingin memiliki ini itu. Ia sering berpesan kepada kami, anak-anaknya, apabila membutuhkan sesuatu untuk keperluan studi jangan sungkan-sungkan untuk meminta kepadanya.

Begitulah, dari hari ke hari aku makin sayang kepada bapak. Sampai pada suatu hari terjadilah peristiwa itu. Peristiwa yang lambat laun mulai mengubah perasaan sekaligus menggerus kepercayaan kami kepada bapak. Bapak mendapat surat panggilan dari kepolisian. Ia terseret kasus korupsi yang melanda beberapa pejabat penting di lingkungan instansinya. Walau hanya diperiksa sebagai saksi, tetapi hal tersebut sedikit banyak membuat kami, anak-anaknya merasa shock. Kepercayan kami kepada bapak menjadi goyah. Konon menurut kabar burung, bapak sebenarnya terlibat dalam kasus itu tetapi dapat lolos karena mendapat jaminan dari kekuasaan tertentu. Mungkin ibu mengambil peran dalam hal ini. Aku sering melihat ibu marah dan memaki-maki bapak jika menyinggung masalah tersebut. Walau berangsur-angsur suasana kembali pulih, tetapi mulai saat itu tingkat kepercayaan kami kepada bapak terus berkurang. Kami curiga, bapak yang pendiam ternyata menyimpan banyak rahasia yang tak kami ketahui.

Dan benarlah, hari-hari berikutnya borok bapak mulai kelihatan. Mulanya cuma kabar burung biasa kemudian berkembang menjadi berita besar di lingkungan kami. Bapak diisukan sering terlihat jalan berdua dengan beberapa perempuan. Kami awalnya tidak begitu menanggapinya. Ibupun seakan cuek saja. Sedang bapak, tetap begitu, selalu kelihatan lugu dan tidak berdosa. Seolah tidak terjadi apa-apa, apalagi menyangkut gosip miring tentang dirinya.

Hingga saat perempuan muda itu datang ke rumah kami. Menanyakan dan meminta pertanggungjawaban bapak. Aku yang pertama kali menemuinya sempat berang. Aku benar-benar tidak mempercayai semua ucapannya. Aku usir perempuan itu dari rumah. Tetapi hari berikutnya ia datang kembali dengan membawa amunisi yang lebih lengkap. Orangtua dan beberapa saudaranya ikut menyertai. Akhirnya, disaksikan Pak RT, bapak disidang pada hari itu. Ibu kebetulan ada di rumah. Dengan terbata-bata dan airmata berlinang bapak minta maaf dan mengakui perbuatannya. Bapak ternyata sudah lama menjalin hubungan terlarang dengan perempuan itu. Bahkan selama beberapa tahun belakangan ini bapak hidup satu atap di sebuah rumah kontrakkan tanpa kami ketahui sama sekali. Kini perempuan itu sudah beberapa bulan perutnya membesar. Ibu benar-benar shock dan hampir pingsan mendengarnya. Api dalam keluarga ini akhirnya tersulut sudah.

Bapak seperti orang bingung dan tak henti-hentinya minta ampun kepada ibu. Ibu hanya menangis sesenggukan tiada henti. Ibu yang biasanya perkasa di hadapan bapak, kini terlihat lunglai. Pengkhianatan bapak yang tiada terduga ini benar-benar mencabik-cabik dan menghancurkan hatinya. Aku tak tahu pasti apa sebenarnya yang dirasakan ibu. Kekokohan hatinya yang selama ini tak mau begitu saja dikalahkan itu seolah-olah sirna. Mungkin ini adalah tekanan terhebat dalam hidupnya.

Kami sekeluarga tidak bisa menerima perbuatan bapak. Mas Herman merasa malu dan tak mau bertatap muka lagi dengan bapak. Mbak Ratih pun demikian. Ibu sekarang telah pindah ke rumah yang dibelinya sendiri. Sesekali waktu mbak Ratih menemani saat suaminya dinas di luar pulau. Aku tak tahu mengapa ibu hanya meninggalkan bapak tanpa menuntut cerai seperti artis-artis di infotainment itu. Berat bagi keduanya, setelah seperempat abad lebih membina hubungan rumah tangga harus menerima kenyataan ini. Aku tahu ibu sangat mencintai bapak, begitu pula sebaliknya. Mungkin sudah takdir tuhan semuanya berjalan seperti ini, demikian aku sering menghibur diri. Aku tetap tinggal di rumah ini meski sebenarnya perasaanku juga terguncang hebat. Kuliahku berantakan dan sempat beberapa kali ingin mengundurkan diri.

Bapak dari hari ke hari semakin seperti orang linglung. Langkahnya hampa. Ia merasa sangat bersalah dan berdosa kepada ibu dan kami, anak-anaknya. Di masa tuanya ia harus menanggung beban yang cukup berat. Apalagi harus menafkahi anak yang telah lahir dari rahim perempuan itu. Memang perempuan itu tidak minta dinikahi, ternyata ia juga punya kekasih lain yang kemudian menikahinya. Tetapi bapak dituntut untuk membiayai anak tersebut hingga dewasa kelak. Dalam hati kadang aku menyalahkan ibu, bapak yang terdominasi kekuasaannya oleh ibu hanya kena jebak perempuan sialan itu. Seandainya ibu tidak ngotot berkarier di luar rumah, mungkin tidak akan terjadi peristiwa seperti ini. Entahlah... Aku jadi tambah pusing memikirkannya !

***

Aku pulang lebih awal siang ini. Perasaanku menjadi tak enak setelah meninggalkan bapak tadi pagi dengan penuh kesal. Aku merasa bersalah karena mengacuhkan permintaannya. Kudapati rumah kosong. Bapak tidak tampak ada di rumah. Hanya radio bapak yang bernyayi dengan serak kemresek lagu-lagu tempo dulu.

Sesaat aku mencari bapak hingga ke kebun belakang. Tak ada seorangpun disini. Tiba-tiba hpku menyala. Mbak Ratih menelepon.

“Wan…cepat kemari! Bapak kecelakaan. Sekarang ada di rumah sakit…”

Darahku terkesirap, kakiku terasa lunglai.

Tambak, 21 April 2009

Sabtu, 21 Maret 2009

LAMUNAN DI SEBUAH PAGI

Pagi ini saya nongkrong di depan rumah. Padahal biasanya jam segini masih terkapar pulas dibelai mimpi. Yah maklumlah, habis Subuh biasanya saya baru dapat memejamkan mata. Bermodalkan sebatang rokok dan segelas kopi hangat, saya pandangi jalanan di depan rumah yang mulai ramai. Lalu lalang kendaraan bermotor, sepeda onthel dan orang jalan kaki melintas di depan mata saya. Baru saya sadari kemudian, lingkungan sekitar saya tinggal perlahan-lahan ternyata mulai berubah. Menggeliat pasti menuju daerah ramai dan padat. Tak lama lagi kawasan ini akan menjadi kota atau mungkin sub kota. Tanda-tanda itu kelihatan jelas, sawah dan ladang mulai tergerus oleh perumahan, gedung-gedung dan juga pabrik. Anak-anak mudanya pun sudah mulai meninggalkan dunia pertanian yang lama mendarah daging, beralih ke usaha lain yang lebih menjanjikan uang dan tentu saja penghidupan yang lebih baik.

Begitulah, sejak di kampung saya berdiri pabrik wig asal Korea, perlahan-lahan roda ekonomi mulai menggeliat. Banyak pendatang bermunculan. Warung-warung makan dan kost-kostan tumbuh satu demi satu. Juga usaha-usaha lain yang menopang. Tentu saja suasana kampung yang dulu sepi mamring kini menjadi lebih bernyawa. Sebenarnya jauh sebelum itu, telah berdiri pula gedung-gedung milik instansi pemerintah di pinggiran kampung. Tapi memang suasana baru terasa lebih hidup setelah berdiri pabrik wig asal negeri ginseng itu. Konon pula, nanti di pinggiran kampung sebelah lain akan dibangun sebuah rumah sakit swata yang cukup besar, markas kodim juga akan berpindah ke kampung ini, pun juga pasar ikan yang mulai tersiar kabarnya segera dibangun. Saya jadi membayangkan betapa kampung saya akan berubah drastis beberapa tahun ke depan.

Ah, saya jadi rindu masa lalu. Teringat kenangan masa kecil, yang entah mengapa, terasa begitu indah. Saat kampung saya, bagi sebagian orang mungkin masih terbelakang. Belum ada listrik dan jalan yang beraspal. Tentu saja becek dan berlumpur pula di kala hujan. Tetapi bagi saya, suasana itu masih sangat murni dan alami. Rumah-rumah belum sepadat sekarang. Pepohonan, terutama kelapa masih begitu banyaknya, Sawah-sawah masih lapang. Dan yang kini benar-benar menghilang, kampung saya dulu dikepung oleh perkebunan tebu yang lumayan luas. Di pagi hari seperti ini, kicau burung dan suara hewan-hewan lain terasa merdu bersahutan terdengar di telinga. Kini, mungkin suara itu telah berubah menjadi deru mesin kendaraan bermotor dan alat-alat lain yang entah mengapa, terasa garang terdengar di telinga saya. Ah, kemana perginya kenangan itu ?!

Pikiran saya semakin melayang-layang. Kawan bermain dulu kini juga entah kemana ? Terpencar dan terpisah antara jarak dan waktu. Teringat kala mencuri dan membabat tebu hingga lari terkencing-kencing dikejar oleh mandor yang berwajah sangar. Teringat kenakalan-kenalan kecil sewaktu mencuri buah-buahan ranum di kebun tetangga. Teringat pula betapa getirnya menjadi anak orang biasa yang harus pontang-panting mencukupi biaya sekolah. Ah, saya serasa ingin kembali mencecap masa-masa itu....Dan yang pasti kenangan tetap tinggalah kenangan. Kehidupan terus berlanjut. Seperti orang bijak bilang, tiada yang abadi di dunia ini. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Dan memang begitu bukan, kita selalu berubah dan berevolusi dari waktu ke waktu.

Tapi satu yang patut disyukuri hingga kini, banyaknya perubahan di kampung saya tidak serta merta menggerogoti suasana kekerabatan dan keintiman diantara warga. Meskipun banyak penduduk baru berdatangan, rasa gotong royong, yang menjadi ciri khas kampung di Jawa, masih terjaga baik. Acara kerja bakti dan pertemuan-pertemuan antar warga semacamnya masih tetap lestari. Bahkan terasa lebih harmonis. Warisan adiluhung yang selayaknya kita pelihara bersama.

Mungkin yang patut disayangkan dari perubahan dan modernisasi di kampung saya adalah hilangnya lahan-lahan produktif, seperti sawah dan perkebunan . Selain merupakan sarana menggantungkan hidup bagi sebagian warga, juga merupakan lahan bermain bagi anak-anak yang cukup luas. Karena telah banyak terkikis, maka tak dapat disalahkan bila anak-anak itu mencari lahan bermain lain seperti di arena playstation atau tempat-tempat sejenis. Saya juga sempat ngenes melihat gaji pegawai pabrik sekarang, walau sudah lumayan, tetapi masih jauh dibawah UMP. Sebandingkah dengan pengorbanan melenyapkan lahan-lahan itu ? Ah, lamunan saya sudah semakin ngaco saja kiranya...

Dan seperti yang sudah-sudah, lamunan ini harus segera berakhir ketika kantuk tiba-tiba menggerayangi segenap tubuh. Setelah semalaman kurang tidur, pagi ini saya harus segara menuntaskannya. Mungkin di alam mimpi nanti, saya malah lebih bisa merajut kenangan masa lalu yang lebih manis dan indah...hehe.

Salam,

Beranda, Suatu Pagi

Jumat, 13 Maret 2009

TAWA YANG INDAH.....

Inilah sepenggal kisah perjalanan keluarga kami. Hari Minggu, tanggal 8 Maret 2009, untuk pertama kalinya bapak dan ibu saya melepas anaknya ke jenjang pernikahan. Adik saya yang terakhir mendahului kedua kakaknya melepas masa lajang. Tidak ada yang wah dari pernikahan maupun resepsinya, kecuali kegembiraan dan tawa yang yang selalu menghiasi kedua keluarga ini. Seolah-olah menyambut dan menjadi saksi kedua mempelai menuju babak baru dalam kehidupan mereka.

Hujan yang turun menjelang ijab kabul dan langit cerah mewarnai acara resepsi semoga menjadi pertanda baik bagi perjalanan kehidupan rumah tangga mereka ke depan. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kami haturkan bagi kerabat, sahabat, tetangga maupun handai taulan yang telah sudi membantu hajatan kecil keluarga kami. Semoga jalinan kekerabatan kita menjadi semakin erat karenanya.

Terakhir, dengan rasa syukur yang tiada terhingga kami sekeluarga hanya bisa berbagi kebahagiaan dengan Anda lewat postingan kecil ini. Semoga derai-derai tawa kami senantiasa mengalir seperti hari-hari ini menyambut esok yang lebih cerah dan indah.....

Terima kasih.





inilah sebuah awal itu....





Doa-doa kami....




khidmat....hehe




The make over...




adik iparku...lek !




adhi-adhiku ki pancen manis-manis....




penyamun di sarang penjahat...hehe,




genthone Tambak...hehe





keponakan-keponakan yang mengagumkan...




Ngantuk-ngantuk sithik...




Old crack sensation...hehe,





dukuhku mlebu internet...hehe




luber....




jane sik pengin tak jupuk gambare penyayine...hehe




tawa yang indah.....

Kamis, 29 Januari 2009

KETIKA WAKTU ITU TIBA



Gegaraning wong akrami dudu bandha, dudu rupa. Amung ati pawitane. Luput pisan kena pisan. Yen gampang luwih gampang. Yen angel, angel kalangkung. Tan kena tinumbas arta...( Serat Wulang Reh-Pakubuwono IV)

Demikian bunyi tembang Asmaradana yang sering dinukil pada wedding invitation itu. Kurang lebih isinya adalah bahwa dasar orang menikah itu bukan harta ataupun rupa tetapi hati yang menjadi modal utamanya. Mengapa saya tertarik menuliskannya pada postingan ini? Tak lain dan tak bukan karena beberapa hari ke depan banyak orang-orang dekat dan tercinta saya mulai melangkah ke jenjang pernikahan. Mulai adik kandung, sahabat, ataupun beberapa kenalan saya. Itung-itung tulisan ini sebagai kado buat mereka. Jadi...nikmatilah sedikit wejangan dari lelaki penunggu ilalang ini..hehe

Yah, begitulah. Menjelang hari bahagia itu tiba, saya dapat melihat sinar kebahagian terpancar dari wajah mereka. Muka selalu berseri-seri-seri, senyum dan tawa disana-sini. Perjuangan panjang merajut tali cinta sebentar lagi telah menemukan rumahnya. Terbayang onak duri selama menggapai pintu itu tidaklah mudah. Mulai dari perkenalan, berpacaran, mungkin diwarnai sedikit pertengkaran ataupun putus nyambung serta tetek bengek lainnya sampai pada akhirnya mencapai tahap pernikahan. Seolah terbayar sudah segala jerih dan payah. Walau sebenarnya, perjuangan yang lebih berat menanti mereka ke depan. Perjuangan mengisi organisasi kecil bernama rumah tangga dan mencetak generasi penerus yang secara norma masyarakat maupun agama pasti ada pertanggungjawabannya. Dengan semangat cinta mereka selama ini, saya berdoa dan yakin mereka akan mampu melaksanakan amanah itu dengan baik.

Disini, sedikit akan saya sentil mengenai fenomana pernikahan yang mulai mengalami pergeseran makna akhir-akhir ini. Pernikahan yang pada dasarnya adalah sebuah ikatan suci antara laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama membangun biduk rumah tangga yang dirahmati tuhan, dimana di dalamnya terdapat unsur cinta dan tanggungjawab, seolah-olah hanya sekedar main-main dan seremoni semata. Lihatlah maraknya pernikahan siri dan fenomena kawin cerai di berbagai kalangan dewasa ini. Kawin siri pada intinya adalah pernikahan yang disembunyikan yakni melalui penghulu tidak resmi dan sudah tentu tidak memiliki akta pernikahan yang sah. Biasanya dilakukan oleh orang-orang yang keblinger dalam urusan seksual, seperti selingkuh atau hamil di luar nikah. Pernikahan seharusnyalah diberitahukan ke sebanyak mungkin orang agar tidak terjadi fitnah di kemudian hari. Pernikahan model begini yang akan menanggung akibatnya adalah anak-anak mereka kelak. Tanpa memiliki surat-surat yang sah akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan hak-haknya.

Fenomena yang lebih memilukan lagi adalah kawin cerai. Sebuah penyakit kronis yang mulai menjangkiti kalangan elit sampai rakyat pinggiran negari ini. Pada waktu pernikahan menggelar resepsi dan pesta yang wah dan menghabiskan banyak uang. Tapi tak seumur jagung, pernikahan itu berakhir di pengadilan agama alias terjadi perceraian. Setelah bercerai, mereka menjalin hubungan baru, nikah lagi kemudian cerai lagi...begitu seterusnya. Pernikahan seperti hanya untuk melepas nafsu semata, bersenang-senang tanpa memikirkan mau dibawa kemana biduk rumah tangga tersebut ke depan.

Maka sudah selayaknyalah, kita mengembalikan kembali esensi pernikahan yang sesungguhnya. Saya rasa adik-adik dan kawan-kawan saya tersebut adalah orang-orang yang sudah teruji cinta, dan tanggungjawabnya. Kendala dan rintangan pasti akan menguji perjalanan suci mereka. Jadikanlah itu sebagai sebuah romantika menuju sebuah kehidupan yang selalu diliputi kebahagiaan. Walau mungkin sederhana, semoga kisah cinta kalian akan terukir indah sampai ke anak cucu esok...

Terakhir saya hadirkan pula puisi dari Joko Pinurbo sebagai penutup :


Rumah Cinta

Aku datang ke dalam engkau
ke rumah rantau yang melindap
di antara dua bukit
di mana senja mengerjap-ngerjap
dalam kerlap biru langit.

Ada sejoli celana berkibar-kibar
di balik jendela :
Hai, kami sedang belajar bahagia
Ada buku masih terbuka di atas meja
dan ada ayat rahasia :
Miskin mungkin bencana,
tapi kaya juga cuma karunia.

Aku pulang ke dalam engkau,
ke rumah singgah yang terlindung
diantara dua kubah
dimana ia datang berkerudungkan bulan,
merapikan tubuh yang berantakan
dan berkata : Supaya tidurmu makin sederhana.


Salam manis selalu,