Kamis, 29 Januari 2009

KETIKA WAKTU ITU TIBA



Gegaraning wong akrami dudu bandha, dudu rupa. Amung ati pawitane. Luput pisan kena pisan. Yen gampang luwih gampang. Yen angel, angel kalangkung. Tan kena tinumbas arta...( Serat Wulang Reh-Pakubuwono IV)

Demikian bunyi tembang Asmaradana yang sering dinukil pada wedding invitation itu. Kurang lebih isinya adalah bahwa dasar orang menikah itu bukan harta ataupun rupa tetapi hati yang menjadi modal utamanya. Mengapa saya tertarik menuliskannya pada postingan ini? Tak lain dan tak bukan karena beberapa hari ke depan banyak orang-orang dekat dan tercinta saya mulai melangkah ke jenjang pernikahan. Mulai adik kandung, sahabat, ataupun beberapa kenalan saya. Itung-itung tulisan ini sebagai kado buat mereka. Jadi...nikmatilah sedikit wejangan dari lelaki penunggu ilalang ini..hehe

Yah, begitulah. Menjelang hari bahagia itu tiba, saya dapat melihat sinar kebahagian terpancar dari wajah mereka. Muka selalu berseri-seri-seri, senyum dan tawa disana-sini. Perjuangan panjang merajut tali cinta sebentar lagi telah menemukan rumahnya. Terbayang onak duri selama menggapai pintu itu tidaklah mudah. Mulai dari perkenalan, berpacaran, mungkin diwarnai sedikit pertengkaran ataupun putus nyambung serta tetek bengek lainnya sampai pada akhirnya mencapai tahap pernikahan. Seolah terbayar sudah segala jerih dan payah. Walau sebenarnya, perjuangan yang lebih berat menanti mereka ke depan. Perjuangan mengisi organisasi kecil bernama rumah tangga dan mencetak generasi penerus yang secara norma masyarakat maupun agama pasti ada pertanggungjawabannya. Dengan semangat cinta mereka selama ini, saya berdoa dan yakin mereka akan mampu melaksanakan amanah itu dengan baik.

Disini, sedikit akan saya sentil mengenai fenomana pernikahan yang mulai mengalami pergeseran makna akhir-akhir ini. Pernikahan yang pada dasarnya adalah sebuah ikatan suci antara laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama membangun biduk rumah tangga yang dirahmati tuhan, dimana di dalamnya terdapat unsur cinta dan tanggungjawab, seolah-olah hanya sekedar main-main dan seremoni semata. Lihatlah maraknya pernikahan siri dan fenomena kawin cerai di berbagai kalangan dewasa ini. Kawin siri pada intinya adalah pernikahan yang disembunyikan yakni melalui penghulu tidak resmi dan sudah tentu tidak memiliki akta pernikahan yang sah. Biasanya dilakukan oleh orang-orang yang keblinger dalam urusan seksual, seperti selingkuh atau hamil di luar nikah. Pernikahan seharusnyalah diberitahukan ke sebanyak mungkin orang agar tidak terjadi fitnah di kemudian hari. Pernikahan model begini yang akan menanggung akibatnya adalah anak-anak mereka kelak. Tanpa memiliki surat-surat yang sah akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan hak-haknya.

Fenomena yang lebih memilukan lagi adalah kawin cerai. Sebuah penyakit kronis yang mulai menjangkiti kalangan elit sampai rakyat pinggiran negari ini. Pada waktu pernikahan menggelar resepsi dan pesta yang wah dan menghabiskan banyak uang. Tapi tak seumur jagung, pernikahan itu berakhir di pengadilan agama alias terjadi perceraian. Setelah bercerai, mereka menjalin hubungan baru, nikah lagi kemudian cerai lagi...begitu seterusnya. Pernikahan seperti hanya untuk melepas nafsu semata, bersenang-senang tanpa memikirkan mau dibawa kemana biduk rumah tangga tersebut ke depan.

Maka sudah selayaknyalah, kita mengembalikan kembali esensi pernikahan yang sesungguhnya. Saya rasa adik-adik dan kawan-kawan saya tersebut adalah orang-orang yang sudah teruji cinta, dan tanggungjawabnya. Kendala dan rintangan pasti akan menguji perjalanan suci mereka. Jadikanlah itu sebagai sebuah romantika menuju sebuah kehidupan yang selalu diliputi kebahagiaan. Walau mungkin sederhana, semoga kisah cinta kalian akan terukir indah sampai ke anak cucu esok...

Terakhir saya hadirkan pula puisi dari Joko Pinurbo sebagai penutup :


Rumah Cinta

Aku datang ke dalam engkau
ke rumah rantau yang melindap
di antara dua bukit
di mana senja mengerjap-ngerjap
dalam kerlap biru langit.

Ada sejoli celana berkibar-kibar
di balik jendela :
Hai, kami sedang belajar bahagia
Ada buku masih terbuka di atas meja
dan ada ayat rahasia :
Miskin mungkin bencana,
tapi kaya juga cuma karunia.

Aku pulang ke dalam engkau,
ke rumah singgah yang terlindung
diantara dua kubah
dimana ia datang berkerudungkan bulan,
merapikan tubuh yang berantakan
dan berkata : Supaya tidurmu makin sederhana.


Salam manis selalu,