Rabu, 09 September 2009

SEPATU



Dikin tampak ragu. Sebentar duduk, sebentar berdiri. Mondar-mandir, entah berapa kali ia berjalan menuju pintu kemudian balik lagi. Garuk-garuk kepala, pikirannya sedang menimang-nimang sesuatu.

“Kalau sepatu ini kuambil, nanti Juragan Roni bisa marah besar . Lagian, mengambil barang tanpa seizin yang punya kan dosa ?!”

Ia tarik tangannya dari rak sepatu sembari menghirup udara dalam-dalam.

“Tapi kasihan juga si Udin. Masak ia harus pakai sepatu butut terus tiap lomba. Padahal besok kan sudah sampai tingkat propinsi, pak bupati juga bisa kena malu.”

Bimbang. Wajahnya yang memang sudah kusut tampak semakin kusut. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala yang bagian depannya mulai membotak itu.

“Pak, doakan Udin ya. Besok Udin maju lomba tingkat propinsi di kota. Kemarin regu sekolah Udin menang di tingkat kabupaten”.

Terlintas terus di pikirannya saat tadi pagi, Zaenuddin atau sering dipanggil Udin, minta restu kepadanya akan maju lomba cerdas cermat tingkat propinsi. Dikin mengusap rambut lebat anak sulungnya itu sambil mengucap restu dan doa. Matanya berkaca-kaca, antara trenyuh dan bangga.

Bagaimana Dikin tidak bangga mempunyai keturunan seperti si Udin. Anaknya cerdas dan pintar. Dari SD sampai sekarang, kelas dua SMP, selalu juara kelas. Bea siswapun mengalir deras, meringankan bebannya sebagai kepala keluarga. Budi pekerti dan kelakuannya juga patut dijadikan contoh anak-anak seusianya. Rajin membantu sekaligus homat pada kedua orangtua. Mungkin ini berkat ketekunannya mengaji di langgar.

Tetapi di sisi lain, ia merasa bersalah sekaligus kasihan, tidak bisa memberikan kebahagiaan yang semestinya kepada anaknya itu. Juga kepada isteri dan anak-anaknya yang lain. Dikin hanyalah buruh kecil yang kerjanya serabutan. Apa saja ia lakukan asal menghasilkan uang dan halal menurut agama. Ia sering menangis dalam hati bila ingat beberapa kali dirinya merecoki beasiswa yang diterima Udin. Uang yang seharusnya untuk keperluan sekolah itu, ia gunakan untuk menambal kebutuhan hidup sehari-hari. Memang serba susah hidup sebagai buruh kecil. Apalagi harus menanggung empat orang anak yang masih butuh banyak biaya.

Beberapa hari ini, Dikin diminta menjaga rumah Juragan Roni, seorang saudagar kaya asal Makasar. Selama satu minggu, sang juragan pulang kampung bersama keluarganya. Pembantu dan pekerjanya diliburkan. Ada juga yang diajak serta ke Makasar. Konon, salah satu anaknya yang tinggal di kampung halaman mau menikah. Dalam situasi darurat seperti inilah jasa serabutan Dikin dibutuhkan. Ia memang sering mendapat job apa saja dari Juragan Roni. Dalam beberapa hal, tampaknya ia sangat dipercaya oleh Juragan Roni. Entah mengapa tidak direkrut saja menjadi karyawannya. Mungkin karena curriculum vitae Dikin yang tidak mengenyam bangku sekolah.

Dikin bisa mengenal dan berhubungan baik dengan Juragan Roni tak lepas juga dari sepak terjang Udin. Dulunya, juragan Roni adalah atlet sepakbola nasional yang cukup terkenal. Ketika era galatama masih berkibar, itulah masa-masa kejayaan Juragan Roni di lapangan hijau. Kini di masa tuanya, selain berprofesi sebagai pengusaha, ia juga seorang pencari bibit-bibit unggul sepakbola. Di daerah ini, ia mendirikan sekolah sepakbola walaupun hanya kecil-kecilan. Dan Udin adalah salah satu anak didiknya.

“Dikin, anakmu itu punya bakat sepakbola yang besar. Jika ia mau berlatih keras, suatu saat ia bisa menjadi pemain hebat. Paling tidak seperti aku dulu”.

Demikian Juragan Roni pernah berkata kepada Dikin sambil menghadiahi sebuah sepatu pul di pinggir lapangan. Sepatu bola yang kelihatan uzur tetapi masih terawat baik, berlogo macan terbang. Konon, sepatu itu merupakan sepatu kesayangan dan keberuntungan Juragan Roni. Sebagai seorang striker, banyak gol dihasilkannya dengan sepatu macan terbang itu. Dikin senang bukan kepalang. Dalam hati ia berharap, suatu saat anak kesayangannya itu menjadi pemain sepakbola yang hebat. Ia sering mendengar obrolan anak-anak muda di kampung bahwa gaji pemain bola sekarang gede-gede. Lebih gede dari gaji pegawai negeri sekalipun. Itu baru di Indonesia, belum kalau bisa bermain di luar negeri. Menurut cerita yang baru didengarnya, ada seorang pemain bola yang dikontrak sampai bermilyar-milyar. Jumlah uang yang ia tak tahu berapa hitungannya. Dalam bayangannya, uang sebesar itu cukup untuk menimbun rumahnya yang mulai reot, hampir rubuh.

“Gaji pemain bola di zamanku dulu tidak segede sekarang. Tapi aku bisa nabung. Makanya di masa tua, aku bisa makmur seperti sekarang”

Pikiran Dikin melayang-layang. Juragan Roni yang dulunya pemain bola dan gajinya tidak sebesar sekarang saja bisa jadi orang sukses. Apalagi jika nanti Udin bisa lebih top darinya. Bermain sepak bola di luar negeri dan dilihat berjuta-juta orang di seluruh dunia. Dikin melihat Udin berlari menggocek bola di televisi. Sentuhannya maut, umpan-umpannya matang. Banyak gol indah berawal dari kakinya. Udin dieluk-elukkan banyak orang. Di jalanan ia sering berpapasan dengan orang-orang mengenakan kaus bertuliskan Udin Dikin di belakangnya. Udin Dikin yang tak kalah hebat dibandingkan dengan Zainuddin Zidane. Sementara di rumahnya yang mewah, Dikin hanya ongkang-ongkang kaki sambil bercengkerama dengan cucu-cucunya. Sungguh, kebahagiaan yang tiada tara melihat anaknya menjadi orang sukses. Ia bisa mempertanggungjawabkan kewajibannya sebagai orang tua kepada tuhan, kelak di akhirat.

Wajah sumringah Dikin mendadak pudar dan berubah kecut begitu sadar bahwa khayalannya sangatlah jauh dari kenyataan. Zaenuddin Dikin yang digadang-gadang menyamai kemasyhuran Zainuddin Zidane, pupus sudah. Semua berawal dari sebuah Sabtu siang kelabu. Hari itu, Udin dan kawan-kawannya pulang sekolah beramai-ramai dengan jalan kaki. Mereka tampak gembira, besok sekolah libur. Tak diduga sama sekali, seorang pemuda mabuk mengendarai sepeda motor dengan kecepatan lumayan tinggi menghajar tanpa ampun kawanan itu. Beberapa anak jatuh terkapar. Naas sekali, Udin salah satu diantaranya. Tulang-tulang kakinya patah dan tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Dikin sampai saat ini sangat menangisi peristiwa itu. Peristiwa yang mengubur harapannya yang begitu tinggi pada anak kebanggaannya. Lebih dari itu, Indonesia juga selayaknya berduka : kehilangan calon bintang masa depan dan kemungkinan juara dunia, hanya gara-gara seorang pemuda mabuk !

Tak kalah tragis pula nasib si macan terbang. Sepatu yang pernah mengalami masa keemasan di lapangan hijau itu, kini turut merana mengikuti langkah tuannya yang baru. Meski sangatlah kebesaran di kaki, Udin memaksakan diri memakai sepatu bola itu ke sekolah. Maklum, tiada lagi sepatu yang layak ia pakai. Sepatu pul tak jadi soal, asal masih dapat digunakan. Udin sangat takut dengan Pak Jalal, guru olahraga yang terkenal disiplin dan galak. Bila terlihat ada salah seorang muridnya tak memakai kaus kaki apalagi sepatu, Pak Jalal tentu marah besar. Bisa-bisa ia disuruh pulang, tak boleh mengikuti pelajaran. Itu sudah untung. Kemarin, Si Gopar kena tendang kakinya hingga menangis meraung-raung hanya karena tidak memakai kaus kaki dan bajunya tidak dimasukkan. Demikianlah, sepatu pul yang harusnya digunakan untuk mengolah si kulit bundar di lapangan hijau, kini dipakai Udin ke sekolah. Itupun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Compang-camping disana-sini, bagian depannya juga mulai menganga pula.

Dikin menangis dalam hati mengingat semua itu. Betapa ia orang tua yang tidak berguna. Tak mampu memberikan kemewahan bagi keluarganya. Tetapi mau bagaimana lagi, ia telah berusaha sekuat tenaga. Hanya itulah yang ia mampu. Terngiang-ngiang kata Kliman, tetangganya, beberapa waktu yang lalu.

“Kin, Kamu sungguh beruntung punya anak pintar dan penurut seperti si Udin. Lain sekali dengan anakku, Si Gopar. Tak pernah berhenti membuatku mengurut dada. Minta ini itu yang tak jelas juntrungannya. Duit yang kuberikan untuk bayar sekolahpun ditilepnya untuk foya-foya. Kalau aku punya anak seperti Si Udin, sungguh bahagianya diriku...”

Semangat Dikin terlecut. Perlahan, ia ambil sepatu pantopel hitam mengkilat itu dari rak sepatu. Pas sekali dengan ukuran kaki anaknya. Den Yudha, putera Juragan Roni yang sebaya dengan Udin, pasti tidak akan tahu. Ia cuma pinjam satu hari saja untuk lomba besok.

***

Dikin menunggu di depan rumah. Ia pulang sebentar dari tempat kerjanya sekedar menanti kabar dari Udin yang hari ini maju lomba. Tadi pagi ia lepas anaknya itu dengan perasaan bangga. Udin tampak gagah sekali dengan sepatu pantopel hitam mengkilat itu. Doa-doa selalu ia panjatkan untuk keberhasilan Udin. Tetapi Dikin lupa memberitahu anaknya bahwa sepatu itu hanyalah pinjaman.
Hari makin siang. Udin pulang dengan wajah gembira dan berseri-seri. Tangannya menggenggam sebuah kertas. Sebuah piagam.

“Bapak. Regu Udin menang lagi Pak... Ini piagamnya. “

Dikin benar-benar gembira. Ia peluk anaknya dengan berkali-kali mengucap syukur. Baru ia sadari kemudian bahwa ada sesuatu yang ganjil pada diri Udin. Udin memakai sepatu butut macan terbang itu lagi.

“Udin, dimana sepatu yang Bapak berikan tadi pagi ? Kok tidak kamu pakai ?”

“Eh, maaf Pak. Udin lupa memberitahu Bapak terlebih dahulu. Sepatu itu terpaksa Udin jual. Kasihan si Gopar, ia belum membayar SPP berbulan-bulan. Seperti yang Bapak selalu bilang, kita harus selalu tolong menolong bukan ?!”

Dikin terkejut. Mendadak kakinya terasa lemas. Ia tak tahu harus marah atau bangga dengan anaknya itu.

Wates, 07 Agustus ‘09