Kamis, 14 Januari 2010

IBU INGIN MENIKAH LAGI

( dimuat di Minggu Pagi Edisi I Januari 2010 )

Aku termenung di beranda. Tengah malam lewat. Ibu-ibu tetangga yang rewang di dapur sudah pulang satu per satu. Isteri dan kedua anakku mungkin juga sudah terlelap di kamar, setelah seharian tersandera di dalam bus. Ibu membuatkanku secangkir kopi manis, kemudian segera masuk pula ke dalam kamarnya. Aku teringat telepon Wawan, adikku yang paling bungsu, beberapa malam yang lalu. Telepon yang membawaku pulang ke rumah hari ini.

“Mas, Ibu mau menikah lagi .“

“Apa ? Menikah ? Jangan ngawur kau Wan ?!”

“Benar Mas, aku nggak sedang main-main. Semua orang kampung juga sudah tahu. Ibu selama ini menjalin hubungan dengan Pak Lukito, anak buah Bapak dulu. Aku jadi serba salah sendiri. Sebaiknya kamu pulang dulu. Kamu kan yang paling dekat dengan Ibu”

“Sudah bilang Mas Dantyo dan Ranti ?”

“Belum Mas, aku nggak sanggup ngomong. Sebaiknya kamu saja yang memberitahu !? “

Gila ! Gerangan apa yang membuat Ibu mempunyai pikiran untuk menikah lagi. Sungguh sesuatu yang tak bisa kupahami. Apa kata orang-orang nanti, sudah tua kok mempunyai keinginan yang neko-neko, seperti selebritis di tivi saja. Apa Ibu tak berpikir, bahwa anak-anak dan cucu-cucunya juga akan merasa malu.

“Aku sudah berpikir masak-masak tentang hal ini, Le. Ibu sudah lama menjanda. Tidak ada salahnya to jika menikah lagi. Umur Ibu juga belum tua-tua amat. Lagi pula nanti kalian bisa tenang mengejar karier karena aku sudah ada yang menjaga dan menemani .“

Demikian jawaban Ibu ketika kutanya lewat telepon esok harinya. Dari kalimat dan suaranya, entah mengapa aku merasa Ibu menjadi genit sekarang. Rasa sebal dan jijik mengaliri perasaanku. Semudah itukah Ibu melupakan Bapak ? Memang sudah empat tahun lebih Bapak meninggal, tetapi waktu yang cuma empat tahun tersebut tidak sebanding dengan perjalanan panjang Ibu dan Bapak mengarungi bahtera rumah tangga selama puluhan tahun hingga anak-anaknya besar dan mandiri seperti sekarang. Begitu cepat dan mudahkah manis getirnya kenangan itu terhapus dari ingatan Ibu. Tak kusangka kesetiaan Ibu begitu mudah luntur termakan waktu.

Aku benar-benar tak habis pikir. Ibu kukenal selama ini sebagai sosok yang bersahaja dan tak banyak tingkah, walau ia isteri seorang pejabat pemerintah. Dulu, Bapak adalah pegawai pemerintah daerah yang cukup terpandang di daerahku. Bapak sangat dihormati di lingkungan sekitar karena posisinya itu. Bapak juga biasa turun ke bawah dan berbaur akrab dengan warga masyarakat lain. Hal tersebut tak bisa lepas dari masa kecil beliau yang memang dibesarkan dalam keluarga yang biasa-biasa saja. Karena kerja keras dan nasib baiklah, Bapak bisa merintis karier di pemerintahan daerah. Dan itu semua tak bisa lepas dari dukungan seorang perempuan yang begitu setia mendampinginya. Ibuku.

Ibu dinikahi Bapak dalam usia yang masih sangat muda, mungkin sekitar tujuh belasan tahun. Sedang usia Bapak kala itu dua puluh lima tahunan. Sebuah jarak usia yang lumayan jauh. Tetapi itu bukanlah menjadi soal. Kehidupan rumah tangga mereka berjalan dengan tenang , tanpa gejolak yang berarti. Ibu dan Bapak memainkan perannya dengan baik. Saling berbagi dan mengisi satu sama lain. Seolah bisa saling menutup celah bila ada kekurangan diantara keduanya. Salah satunya adalah sifat Bapak yang keras dan tanpa kompromi berbanding terbalik dengan sifat Ibu yang lembut dan lebih suka mengalah.

Menurut cerita yang kudengar, dulu Ibu rela menjual tanah warisan orang tuanya untuk biaya kuliah Bapak. Mendiang kakek menentang keras kemauan Ibu itu. Tak elok menjual tanah pemberian orang tua, sebab itu merupakan pusaka leluhur yang diberikan dan bisa diolah sampai anak cucu nanti. Apalagi hanya untuk mengejar pendidikan yang hasilnya juga tak bisa diketahui secara pasti. Tetapi tekad Ibu sudah bulat. Tanah itu akhirnya dijual dan Bapak bisa kuliah kemudian diterima kerja sebagai pegawai pemerintah daerah.

Ibu memang tetap hanya sebagai isteri, penunggu rumah semata. Tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia. Selain karier Bapak lumayan melejit, Bapak juga bisa membeli beberapa bidang tanah sebagai ganti tanah warisan yang terjual dulu. Namun yang lebih membanggakan dari itu semua adalah keberhasilan mereka mengantarkan anak-anaknya memperoleh pendidikan yang layak sampai kemudian berkeluarga dan mandiri dengan pekerjaannya masing-masing seperti sekarang ini.

Tak mengherankan pula bila Ibu dan Bapak kemudian dijadikan panutan sebagai pasangan yang harmonis. Sebuah piagam keluarga teladan tingkat nasional dari salah satu instansi pemerintah menghiasi almari ruang tamu sebagai salah satu bukti dari kesuksesan rumah tangga mereka. Sampai Bapak pensiun kemudian terserang stroke, Ibu tetap setia di samping Bapak. Merawatnya dari hari ke hari dengan penuh kasih sayang. Ibu pulalah yang mendampingi dan menuntun Bapak di saat-saat terakhir menjelang akhir hayatnya.

Maka betapa terkejutnya diriku mengetahui Ibu bersemangat untuk menikah lagi. Apalagi dengan Pak Lukito, orang yang pernah begitu dekat dengan Bapak. Aku tak tahu, ada hubungan kerja apa antara Bapak dan Pak Lukito waktu itu. Yang jelas keduanya pernah sangat akrab. Terkadang Pak Lukito seperti bawahan Bapak yang mau saja disuruh ini itu. Di kali lain, Bapak dan Pak Lukito terlihat seperti sahabat atau rekan kerja yang begitu kental. Keduanya sering terlihat tertawa-tawa dan bercanda bersama. Tak terkecuali, Ibu selalu ada diantara mereka. Begitulah, Pak Lukito sepertinya adalah orang kepercayaan Bapak. Selebihnya tak ada yang kuketahui tentang lelaki itu, selain hidupnya yang terus saja melajang.

Dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya, saudara-saudaraku yang lain juga tidak setuju dengan keinginan Ibu itu. Mas Dantyo, kakakku tertua, adalah yang paling lantang bersuara. Maklumlah, ia seorang tentara yang kini sedang bertugas di luar pulau.

“Aku tidak akan pulang kalau hanya melihat Ibu begitu. Bahkan takkan pernah lagi kuinjakkan kakiku di rumah bila hal itu benar-benar terjadi. Tolong katakan itu pada Ibu !” suara Mas Dantyo berdenging keras dari gagang telepon.

“Sejak ditinggal Bapak, Ibu menjadi kesepian. Sebagai anak kesayangannya, harusnya Kamu mengerti dan berusaha menjaganya, Mas! “ giliran Ranti, adikku perempuan satu-satunya, angkat bicara.

Aku jadi kesal, sepertinya semua saudaraku melemparkan tanggungjawab kepadaku. Mungkin memang benar, aku adalah anak yang paling dekat dengan Ibu. Tetapi kalau disebut sebagai anak kesayangan, sebenarnya terlalu berlebihan. Ibu dan juga Bapak sangatlah adil dalam membagi kasih sayang. Tidak pernah membeda-bedakan anaknya satu sama lain. Karena sifatku yang terbuka, cenderung santai dan lebih suka mengalah saja yang membuatku seperti mendapat tempat khusus di hati Ibu.

Tetapi omongan Ranti tentang Ibu yang kesepian itu, setelah lama kupikir-pikir, ada benarnya juga. Betapa tidak, sepeninggal Bapak, rumah sebesar itu hanya ditinggali Ibu seorang diri. Pasti banyak hal berkecamuk di hati Ibu, setelah bertahun-tahun di rumah tersebut ia bahu membahu bersama Bapak dalam tiap jengkal peristiwa yang terjadi. Ibu memang tidak mau ikut salah satu anaknya sejak dulu. Padahal aku sendiri sudah memintanya berkali-kali, seperti keinginan anak-anakku yang begitu mencintai neneknya. Mas Dantyo pun melakukan hal serupa, meski ia sering berpindah-pindah tempat karena tugas dari kesatuannya. Begitu pula Ranti, yang telah menetap dan tinggal mapan bersama suaminya di Jakarta, seperti diriku. Hal yang sama juga pernah ditawarkan Wawan, yang masih tinggal dalam lingkup satu daerah dengan Ibu. Tetapi Ibu tetap tak bergeming. Tak mau merepotkan anak-anak, begitu ia selalu memberikan alasan. Jadi mau bagaimana lagi ?

Setelah kuberikan bermacam-macam pengertian, Ibu tak surut langkah pada keinginannya, akhirnya aku mengalah juga. Terserah apa kemauan Ibu, asal Ibu bahagia. Mas Dantyo dan Ranti tetap tak mau ambil peduli. Hanya Wawan yang sedikit melunak, dengan syarat pernikahan itu dilaksanakan sederhana saja, tanpa seremonial yang mewah. Hanya mengundang penghulu dan warga sekitar sebagai saksi. Mungkin ditambah sedikit pengajian nantinya.

Hari pernikahan telah ditentukan. Aku mengajak isteri dan kedua anakku pulang. Aku melihat binar-binar kebahagiaan di mata Ibu. Wajah Ibu terlihat lebih muda dan cantik. Ia duduk dengan anggun disamping Pak Lukito, mengenakan kebaya putih yang dijahitnya sendiri. Aku merasakan semangat baru yang begitu menggelora pada diri Ibu. Yah, aku melihat gairah itu pada diri Ibu. Gairah hidup yang lama redup sepeninggal Bapak. Entah mengapa aku merasa bahagia sekali hari ini. Terasa tangan lembut Ibu mengusap rambutku, saat aku menghampirinya. Mendadak, aku tergeragap….

“Sudah hampir pagi, San. Masuklah, tidak baik tidur di luar rumah. Istirahat yang cukup, besok masih banyak acara. “ .

Ibu membangunkanku sembari merapatkan selimut ke tubuhku. Samar, aku merasa menjadi anak kecil kembali.

***

Hari begitu cerah. Matahari mulai naik sepenggalan. Burung-burung prenjak berkicau riang, berloncatan dari satu dahan ke dahan lainnya. Bapak penghulu pernikahan dari KUA kecamatan sudah datang beberapa saat yang lalu. Begitu pula dengan warga sekitar, mulai meramaikan suasana dengan obrolan riuh sana-sini . Akad nikah akan dilaksanakan tepat jam sembilan pagi.

Waktu terus bergulir. Jam sembilan lewat, mempelai laki-laki belum juga datang. Semua masih menunggu. Di dalam kamar Ibu kelihatan resah. Aku dan Wawan pun mulai was-was. Pak Lukito tidak dapat dihubungi lewat ponselnya. Semua nomornya tidak ada yang aktif. Aku keluar berusaha memberikan penjelasan sebisaku kepada Bapak Penghulu dan para tamu.

Tiba-tiba Pak Kadus mendatangiku kemudian menarikku ke pojok ruangan.

“ Ada apa Pak ? “

“ Tenanglah dulu nak Hasan. Ada berita kurang bagus. Tadi ada warga yang lapor, Pak Lukito tidak bisa datang kesini. Sekarang ia ada di tahanan kepolisian. Menurut kabar ia terlibat perkara besar di pusat kota.”

Aku bingung, bagaimana harus memberitahu Ibu. Baru kuketahui kemudian, Pak Lukito telah lama berurusan dengan pihak berwajib. Ia termasuk dalam jaringan orang-orang besar yang sedang kena perkara di kota. Wajahnya selintas terlihat di koran-koran. Pak Lukito adalah makelar kasus yang melibatkan orang-orang penting di wilayah ini.

Perlahan-lahan aku berusaha menjelaskan masalah ini kepada Ibu. Ibu tampak tidak berekspresi. Matanya menerawang kosong, tangannya sedikit gemetar. Ia terduduk begitu lama, tentu banyak hal bergolak di dalam batinnya. Aku hanya bisa diam.

Hari yang cerah, tetapi aku merasa mendung tebal mulai menggelayut di keluarga kami.

***

Aku memutuskan memperpanjang masa cuti . Isteri dan anak-anakku sudah terlebih dulu balik ke Jakarta. Kondisi Ibu menjadi labil sejak peristiwa itu. Ia sering termenung lama, kemudian tanpa sebab yang jelas, tersenyum-senyum sendirian. Aku menjadi khawatir .

Pagi itu, Ibu mandi dengan khusyu kemudian keluar ke halaman depan. Aku terkesima melihat sosok perempuan yang begitu menawan.Rambutnya yang panjang , tampak elok tersapu sinar matahari pagi. Sementara jarik lurik melilit tubuhnya yang masih basah. Sungguh ! Aku seperti melihat masa lalu. Sosok perempuan anggun, yang entah pernah kutemui dimana.

Perempuan itu masih melangkah di seputar halaman, lalu berhenti sambil tersenyum. Senyum yang makin lama kurasakan seperti tawa berkepanjangan. Perlahan, ia gerai rambutnya yang basah. Sontak aku terkejut, ketika ia mulai melepas selembar kain yang menutup tubuhnya sambil terkikik-kikik.

Aku buru-buru menghambur mendekatinya.

“Ibuuu…!?”

Kp, 26 November 2009