Sabtu, 15 Mei 2010

MINTEN DAN MINAH

( dimuat di Buletin Sastra Pawon Solo Edisi 28 Tahun III /2010 )

Sudah beberapa hari ia tak kutemukan. Biasanya selalu menungguku di kafe kecil sudut jalan ini. Menikmati secangkir kopi dan beberapa makanan ringan dalam temaram lampu. Aku tak pernah peduli pada tatapan aneh para pelayan kafe atau pasangan lain. Mereka sepertinya menganggap kami pasangan yang ganjil. Tetapi peduli amat. Toh, aku tidak mengganggu dan mengusik kenyamanan mereka.

Pelarian panjangku dari cinta yang remuk redam, tak pernah kusangka sebelumnya, bakal tertambat pada perempuan itu. Aku seperti menemukan kembali gairah hidup. Mungkin karena kami memang sama-sama cocok dalam beberapa hal. Suka minum kopi pahit tanpa gula dan menghisap rokok putih merk yang sama. Dan yang lebih mengagumkanku, ia juga tahu sedikit banyak tentang sastra. Sebuah dunia yang jauh dari pergulatan hidupnya sehari-hari.

“Bapakku dulu pemain ketoprak. Simbokku seorang pesinden. Bapak dan simbok sering mengumpulkan kawan-kawannya di rumah. Banyak dari mereka yang penyair atau penulis hebat. Aku sering diajak berbincang-bincang dengan mereka.Sebenarnya ada darah seni mengalir dalam tubuhku. Bukankah pekerjaan yang kulakoni ini juga bagian dari seni juga…hehe ?!” demikian ia pernah berkata kepadaku, ketika tak sengaja kutemukan beberapa buah buku Pram dan kumpulan puisi Widji Thukul di bawah bantalnya.

Ya, mungkin aku memang sedang jatuh cinta. Sesuatu yang kupikir mustahil dapat kurasakan lagi. Sehabis berjumpa dengannya, entah mengapa banyak puisi dan cerpen bisa kutulis kembali. Sebagian kawan menganggap puisi dan cerpenku hanyalah karya beraroma cinta picisan semata. Tetapi peduli amat. Satu dua diantaranya ternyata bisa juga nampang di koran-koran Minggu.

Aku bertemu dengannya pertama kali sekitar setengah tahun yang lalu. Waktu itu aku masih magang di sebuah koran kriminal. Suatu malam, aku mengikuti operasi penggerebekan satpol PP terhadap panti pijat yang disinyalir beroperasi ganda, selain sebagai panti pijat juga tempat prostitusi terselubung. Banyak perempuan dan juga beberapa laki-laki hidung belang terjaring pada operasi itu. Mereka dikumpulkan semalaman di kantor Pol PP sembari diberikan penyuluhan.

Aku tertegun, perempuan-perempuan itu masih sangat muda. Kecantikan paras wajah dan kemolekan tubuhnya, tak kalah hebat dari artis-artis sinetron belia di televisi. Hanya peruntungan nasib mereka yang jauh berbeda. Tetapi yang membuatku makin tertegun : tak ada gurat malu, sedih ataupun kecewa pada wajah-wajah mereka. Tetap tetawa-tawa dan bersenda gurau dengan genit dan manja. Bahkan sesekali menggoda para petugas dan wartawan yang menguntitnya.

Satu dari perempuan perempuan itu, jauh lebih berumur dari yang lainnya, sangat menarik perhatianku. Kelihatannya ia semacam mucikari di panti pijat plus itu. Menatap wajahnya, aku seperti melihat kembali tahun-tahun berlalu yang sengaja kutinggal berlari. Seraut wajah, ah tetapi bukan, yang kutepis jauh-jauh dari ingatanku. Sontak aku tergeragap, ketika ia mendekatiku.

“ Punya korek api ?”

“Eh, iya. Sebentar…”

Aku masih sedikit gelagapan. Perempuan itu kemudian berdiri di sampingku sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia tampaknya berusaha akrab denganku.

“ Dari Jawa ya ?”

Kok tahu ? Mbaknya dari Jawa juga ya ?”

“ Dari jawabanmu yang medok, aku tahu kamu orang Jawa. Pasti Jogja ?”

“ Ah, benar sekali. Tetapi aku berasal dari pelosok Jogjakarta. Jauh di wilayah perbukitan sebelah barat Jogjakarta. Mbaknya Jogja juga ya ?” Kembali kutanya asalnya. Ia tidak menjawab. Perempuan itu hanya membuang pandangannya ke sisi lain ruangan. Aku tahu ia berusaha menyembunyikan asal-usulnya. Kutebak, ia berasal juga dari Jogjakarta. Tetapi dari bagian lain, mungkin dari bagian sebelah timurnya.

“Nggak takut dipenjara, Mbak ?”

“Ngapain mesti takut ? Ini hanya operasi gertak sambal biasa. Nanti juga dilepaskan begitu saja. Lagian banyak dari mereka adalah pelanggan setia panti pijatku”

“Jadi begitu, ya ?”

“Kemarin kita kurang koordinasi. Ada salah seorang anak asuhku yang servicenya kurang memuaskan mereka. Ya, jadilah mereka ngamuk kaya gini.”

Aku mulai akrab dengan perempuan itu. Banyak cerita menarik dapat kukorek dari penuturannya. Ada perasaan aneh setiap kali aku bersitatap dengannya. Ah, mengapa aku seperti mengenal baik perempuan ini. Nada bicara dan tutur katanya, sungguh amat lekat dengan yang kurindui.

Raminten, demikian nama perempuan itu. Orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan Minten atau Mami Minten. Usianya jauh sekali diatasku. Mungkin sepantaran dengan bibiku di kampung. Walau begitu, ia pandai sekali menyembunyikan umurnya. Tubuhnya tetap kencang dan padat. Penampilannya juga selalu modis dan gaya seperti anak muda zaman sekarang. Konon, ia dulu mencari ilmu awet muda pada orang pintar di tanah kelahirannya. Dia adalah pengelola panti pijat tersebut. Banyak orang mungkin menganggapnya hanyalah pelacur hina semata. Tetapi bagiku, dia adalah sosok perempuan perkasa yang mampu bertahan dan menaklukan ganasnya rimba ibukota.

Sejak peristiwa penggerebekan itu, kami menjadi lebih sering ketemu. Dia tidak pernah mengajakku ke tempat kerjanya. Takut aku kecanthol anak asuhnya yang masih muda-muda, demikian ia pernah memberi alasan dengan bercanda. Biasanya kami janjian terlebih dulu lewat SMS atau telepon langsung. Di kafe remang-remang sudut jalan ini, kami kemudian memulai petualangan nafsu kami. Bukan hanya masalah birahi, tetapi dengan perempuan paruh baya ini, aku seperti memiliki tautan lebih yang tak pernah kumiliki pada hubunganku dengan perempuan-perempuan lain sebelumnya.

Ah, aku begitu mencintainya. Tetapi dimanakah gerangan perempuan itu sekarang? Sudah berhari-hari ia tak menghubungiku. Nomor ponsel yang diberikannya padaku tak ada yang aktif. Aku benar-benar merindukannya. Mungkin aku memang sedang keblinger cinta. Setiap saat, sosok perempuan di puncak kematangan itu membuyarkan pikiran dan konsentrasiku. Wangi parfumnya yang khas, seperti bunga purba. Rambutnya yang hitam tergerai panjang. Payudaranya yang masih mengkal, terbungkus kutang merah berenda-renda. Pun ketika perlahan ia melepas g-tring tipisnya sambil berdesah ringan. Tersembulah kemudian vagina elok dengan rambut yang dirawat dan dicukur rapi itu. Nafsuku makin menggelegak. Segera kami berpacu dalam lenguhan panjang sampai batas kenikmatan yang tak terhingga. Perempuan itu benar-benar matang, berbeda sekali dengan Minah….

Mendadak ponselku berdering membuyarkan lamunan. Dito, karibku di kampung menelepon.

“Syam, sejak kautinggal pergi Minah seperti orang linglung. Ia minggat dari rumah. “

“Apa? Minggat ?!”

Minah. Aku merasa bersalah kepada gadis itu.



***


Gerimis kecil turun dari langit. Aku masih terpaku sendirian di dalam kafe. Minten tetap tak ada tanda-tanda bakal kesini. Sementara kabar perginya Minah dari desa membuat pikiranku makin tak karuan. Minah atau nama lengkapnya Siti Aminah, gadis manis berkerudung yang bersahaja itu pernah mengisi relung hatiku paling dalam hingga bertahun-tahun. Mungkin juga sampai saat ini.

Di senja yang gerimis seperti ini pula, dua tahun silam aku nekat pergi meninggalkan kampung halaman membawa hati yang porak-poranda karena cinta yang tak pernah sampai. Bukan karena perempuan yang kucintai menolak cintaku, tetapi orang-orang di sekelilingku yang tak pernah menyetujui hubungan kami. Aku memutuskan pergi karena tidak ingin melukai hati banyak orang yang sudah banyak kukecewakan selama ini. Biarlah rasa sakit ini kubawa berlari, hingga nanti mungkin bisa menghilang dengan sendirinya ditelan waktu.

Aku tak pernah tahu, mengapa keluargaku menolak Minah. Padahal semua orang juga tahu dia adalah gadis yang sangat baik. Dia tak pernah mau kuajak macam-macam saat berpacaran. Hubungan kami kebanyakan hanya lewat perantaraan Dito, sahabatku yang masih ada pertalian keluarga dengannya. Juga lewat telepon atau SMS. Itupun setelah kupaksa berkali-kali ia baru mau menerima hadiah handphone pada hari ulang tahunnya ke-16. Usia kami memang terpaut lumayan jauh. Aku sudah bertahun-tahun kuliah sedang dia masih kelas dua SMA. Tetapi itu sebenarnya bukan menjadi soal. Aku dan Minah rela dan sabar menunggu.

Minah hanya tinggal bersama neneknya di sebuah rumah sederhana pinggiran desa. Aku tak pernah tahu dimana kedua orang tuanya. Menurut Dito, bapak dan ibu Minah merantau ke Sumatera. Sekarang sudah menetap dan hidup mapan disana. Tetapi banyak orang bilang, orang tua Minah sedang menjalani hukuman di Nusakambangan. Konon, semenjak kakek neneknya dulu, keluarga Minah terlibat organisasi yang dilarang pemerintah. Oleh sebab itu, mereka dikucilkan warga di pinggiran desa.

Aku masih ingat kemarahan bapak, sewaktu mengetahui hubunganku dengan Minah pertama kali dulu.

“ Syam, mau jadi apa Kau ini ? Hidupmu hanya berkutat pada sastra yang tak jelas manfaatnya itu. Kuliah juga nggak lulus-lulus. Sekarang malah menjalin hubungan dengan perempuan yang tak jelas asal-usulnya ?”

“Memangnya kenapa Pak? Setahuku Minah itu gadis baik, tidak pernah berbuat yang macam-macam. Taat beribadah dan rajin ke masjid…”

“ Apa katamu ? Rajin ke masjid ? Kerudung dan lain-lainya itu hanya kedok semata. Semenjak dari dulu, keluarganya tidak bertuhan. Kafir. Karena itu mereka dikucilkan warga di pinggiran desa.”

Aku tak menghiraukan omongan bapak dan tetap menjalin hubungan dengan Minah. Aku tak pernah bertegur sapa lagi dengan bapak semenjak itu. Kepergianku ke Jakarta pun tak diketahui olehnya. Juga sanak keluargaku yang lain. Aku merasa bersalah kepada mereka.

Gerimis di luar mulai berhenti, malam ini tak jadi turun hujan. Suasana sepi dan lembab. Entah mengapa aku merasa asing. Aku rindu kampung halamanku yang tenang di kaki perbukitan Menoreh. Aku rindu bapak, ibu dan semua keluarga yang lama kutinggalkan. Aku kembali teringat Minah yang kusayangi. Nama dan nomornya masih tertera manis di memori ponselku. Nomor yang kuhadiahkan bersama ponselnya saat ia ulang tahun dulu. Nomor itu tidak kuhapus, namun tak pernah kusentuh sama sekali. Kini, aku seperti ingin memencet kembali nomor ini. Namun aku bimbang dan ragu. Minah, dimanakah engkau kini ?

Mendadak, wajah Minten kembali hadir. Aku harus menemui perempuan itu. Kurapatkan jaket kemudian bergegas keluar dari kafe ini. Segera kustater sepeda motorku menuju panti pijat miliknya.



***


Tidak seperti malam-malam biasanya yang lumayan riuh, panti pijat ini sekarang terlihat sepi. Tak nampak perempuan-perempuan muda yang tertawa cekikikan genit diantara gurau dan serapah beberapa laki-laki. Aku terus berjalan memasuki pintu demi pintu. Seorang perempuan muda, salah satu anak asuh Minten yang masih tersisa, menghampiriku.

“Cari Mami ya Mas ?”

“Ya, dimana dia ? Kok sepi sekali ?”

“Ikut saya Mas !”

Aku mengikuti langkah perempuan muda ini. Ia mengantarku ke sebuah kamar yang lumayan besar dibanding kamar-kamar yang lain.

“ Ini kamar Mami, Mas. Beberapa hari yang lalu ia uring-uringan dan menyuruh pergi kami semua. Hanya aku yang masih disini. Katanya ia ingin menutup panti pijat ini. Mami ingin bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Mungkin ini ada hubungannya dengan berita dari kampung, beberapa hari yang lalu. Anak semata wayangnya yang selama ini ia biayai sedang kena masalah.”

“Jadi Minten punya anak ?”

“Benar, Mas. Mami selalu rutin mengirim uang ke kampung. Itu foto anaknya, ketika masih kecil dulu.”

Perlahan, aku mendekati foto yang dibingkai pigura kecil itu. Aku seperti mengenal foto ini. Persis sekali foto Minah kecil yang selalu disimpan Minah dalam dompetnya. Dadaku makin berdegup kencang, ketika memandang foto pada pigura lain disampingnya. Foto sepasang kekasih yang terlihat begitu mesra. Remaja perempuan yang mirip Minah. Aku yakin dia adalah Minten di kala muda. Sedang laki-laki disampingnya, adalah sosok yang sangat kukenal baik. Itu adalah sosok muda bapakku. Kakiku lemas, aku seperti tak menginjak bumi.
Mendadak dua pesan masuk dalam ponselku. Tanganku memencet tombol ponsel dengan gemetar.

“Aku pulang kampung, Syam. Sementara, aku titipkan panti padamu. Minten”

“Mz syamsul, ak tahu kamu di Jkt. Tolong jemput ak di Senen. Minah.”

Aku pusing. Mungkin sebentar lagi pingsan…


Yogyakarta, Januari 2010