Senin, 28 Maret 2011

PELAJARAN MENJADI BAHAGIA

(dimuat di Harian Global Medan, Tanggal 26 Maret 2011)


“Jadilah orang yang selalu berbahagia, sebab itu sesuatu yang mahal harganya, melebihi kekayaan apapun” demikian nasehat Bapak yang sering diucapkan kepada anak-anaknya. Hari ini, kata-kata Bapak itu seperti berdengung-dengung kembali di telingaku.

Tadi Subuh, Lik Warso tiba-tiba meneloponku dari Kota S, “Bapakmu kembali sakit, Win. Sebaiknya sesegera mungkin Kamu pulang !”

Aku membodoh-bodohi diriku sendiri, mengapa tidak bertanya lebih lanjut tentang sakitnya Bapak. Mau telepon balik, aku juga ragu. Lik Warso, mulai pikun dan sering kebingungan bila menjawab telepon. Lagi pula ia tidak punya alat komunikasi sendiri. Tentu, tadi pagi ia diantar ke wartel atau dipinjami HP oleh tetangganya.

Bapak memang sering sakit-sakitan. Beberapa bulan terakhir, intensitas sakitnya bertambah padat. Dalam satu minggu, aku bisa tiga kali bolak-balik antara Kota W dan Kota S. Memang jarak tersebut sebenarnya tidaklah terlalu jauh, tetapi pekerjaanku tidak mungkin kutinggalkan begitu saja. Jika kupaksa ngelajo, kondisi badanku juga kurang mendukung. Akhir-akhir ini aku sering kecapaian.

Terakhir kali aku pulang ke Kota S tiga hari lalu. Bapak terlihat lumayan sehat dari biasanya, cuma batuk-batuk kecil saja. Tetapi aku merasa ada perilaku yang aneh pada dirinya. Bapak seperti ingin selalu dekat denganku. Waktu aku pamit kembali ke Kota W, ia juga agak berat melepasku. Mendadak, aku seperti mendapat firasat buruk. Jangan-jangan telepon Lik Warso, hanyalah penghalus bahasa belaka, bahwa Bapak telah……

Ah, kutepis jauh-jauh pikiran buruk itu. Aku segera memacu sepeda motor tuaku menuju stasiun Kota W. Pagi ini, dengan pramex semoga aku lebih cepat sampai ke Kota S.

***

Matahari bersinar cerah, meskipun terlihat agak mendung di langit timur sana. Aku tiba di stasiun pukul 09.10 tepat. Masih banyak waktu, pikirku. Baru saja aku telepon sahabatku yang bekerja di sebuah stasiun radio, kereta api pramex jurusan K-S berhenti di Stasiun Kota W sekitar pukul setengah sepuluhan. Aku memang jarang menggunakan alat transportasi yang satu ini. Aku lebih suka naik bus, sekalian dapat menghapal ruas-ruas jalan yang belum kukenal baik. Hanya karena sering mendengar omongan orang, bahwa naik pramex itu lebih nyaman dan cepat sampai tujuan, hari ini aku mencobanya.

Aku terkejut melihat jadwal kereta yang terpampang di sebelah loket. Pramex terakhir berangkat jam 9.04 tadi.

“Kereta api pramex sudah berangkat ya Mas ?”

“Baru saja meluncur tuh, Mas ?”

Petugas loket karcis itu menjawab sekenanya, tanpa menoleh ke arahku. Dalam hati aku dongkol bukan main. Di saat diburu waktu begini, aku mendapat pelayanan yang kurang mengenakan. Tetapi aku kembali teringat kata-kata Bapak. Sabar dalam keadaan dan situasi apapun adalah salah satu kunci meraih kebahagian. Dan seperti yang kulihat selama ini, Bapak adalah orang paling sabar yang pernah kukenal. Itulah pelajaran pertama dari Bapak tentang bagaimana menjadi manusia yang berbahagia.

“Kalau mau ke Kota S, yang paling duluan kereta api apa ya Mas ?”

“Sebentar lagi kereta api ekonomi L lewat. Masnya bisa naik kereta api itu, pakai tarif sampai Kota M.”

Akhirnya, dengan ongkos yang lumayan murah, aku memutuskan naik kereta api ekonomi tersebut. Setelah interaksi lebih lanjut, lama-lama aku simpati juga dengan petugas loket itu. Ia terlihat lelah, mungkin ia sedang lembur. Padahal ini musim liburan, penumpang kereta api lebih ramai daripada hari biasanya.

Aku teringat peristiwa beberapa tahun silam, ketika aku baru saja lulus kuliah. Ada oknum pegawai perusahaan kereta api mendatangi Bapak, berjanji bisa memasukanku sebagai karyawan asal disediakan uang dengan jumlah nominal yang tidak sedikit. Bapak menolak tawaran itu. Meski sudah menjadi rahasia umum, bahwa praktek kolusi seperti itu jamak terjadi di sekitar kita pada saat penerimaan pegawai negeri ataupun perusahaan pemerintah, beliau tetap tidak terpengaruh. Kalau punya uang sebanyak itu, lebih baik digunakan untuk usaha, dagang atau semacamnya daripada untuk nyogok. Mulanya aku kesal dengan sikap Bapak tersebut. Tetapi lama kelamaan, aku bisa mengerti dan bersyukur dengan pekerjaan-pekerjaan yang kujalani selama ini. Walau dengan gaji yang tidak besar, sepertinya aku lebih nyaman dibandingkan jika aku jadi bekerja di perusahaan kereta api dahulu. Lihatlah petugas loket itu, tampak lelah dan kuyu. Ia bekerja lebih keras dibandingkan diriku. Mungkin ia tidak sempat menikmati gajinya dengan gembira. Selalu terpikir untuk menutup biaya masuk ke perusahaan yang tidak sedikit jumlahnya. Sejenak aku bisa melupakan gundah, tertawa sendiri dalam hati.

Peluit panjang berbunyi, kereta api ekonomi L telah tiba dari barat. Penumpang mulai beranjak dari peron. Aku berbaur dengan kerumunan orang, menggapai kereta api yang mulai langsam. Wajah Bapak tetap menggantung dalam pikirku bersama-sama pelajaran-pelajarannya tentang kebahagiaan.

***

Lelaki paruh baya itu biasa dipanggil Mbah Sarji. Nama aslinya sebenarnya Sarjito. Tetapi sejak muda dahulu, ia memang telah dipanggil dengan embel-embel mbah, sesuatu yang menunjukan kedewasaan berpikir dan cara menyelesaikan masalah yang nuwani dibandingkan dengan kebanyakan orang lainnya. Ya, Mbah Sarji itulah Bapakku. Orang paling santai yang pernah kutemui di muka bumi ini. Lelaki yang selalu menerima keadaan apa adanya dengan penuh rasa syukur. Seorang Bapak dengan tujuh orang anak, yang selalu menasehatkan tentang pentingnya meraih sebuah kebahagiaan.

Aku bersyukur sekali punya orang tua seperti Mbah Sarji. Walau hidup menduda setelah Ibu wafat beberapa tahun yang lampau, ia tidak pernah bertingkah dan mengeluh macam-macam seperti orang tua pada umumnya di kala senja. Bapak tetap tegar dan melakukan aktivitas apa saja untuk mengisi hari-harinya di masa pensiun. Ia tidak pernah mempersoalkan anak-anaknya yang memutuskan berkarya dan membangun rumah tangga sendiri di berbagai kota yang jauh darinya. Ia sudah terbiasa hidup sendiri. Bahkan, ia juga tidak berkeluh kesah apabila di Hari Lebaran, hanya aku seorang yang bisa pulang ke rumah dan sungkem kepadanya.

Bapak selalu terlihat bahagia. Sedikit banyak hal itu membantuku mengurangi beban pikiran, yang akhir-akhir ini begitu tersita dengan beberapa persoalan pelik di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang selama ini aku geluti. Di lingkungan tempat tinggalnya, Bapak sangat dihormati oleh tetangga sekitar karena sikap-sikapnya yang mudah dan mau bergaul dengan siapa saja. Selain itu, disana juga masih ada Lik Warso, saudara jauh sekaligus kawan setia Bapak semenjak muda yang setiap saat dapat kumintai tolong menjaga Bapak atau setidaknya memberitahuku kalau ada apa-apa dengan Bapak. Meskipun Bapak tidak pernah meminta, sebagai anak bungsu yang bermukim paling dekat dengannya, kadang aku merasa amat bersalah tidak bisa menemaninya setiap waktu akhir-akhir ini.

Dulu, Bapak adalah guru sekolah dasar. Sedang Ibu berjualan di pasar untuk membantu menopang ekonomi keluarga. Meski berstatus sebagai seorang pegawai negeri, jika dibandingkan nilai dan kebutuhan waktu itu, gaji Bapak tidaklah seberapa. Apalagi untuk menghidupi tujuh orang anak-anaknya. Berbeda jauh dengan jaman sekarang. Konon gaji pegawai negeri lumayan gede dengan berbagai tunjangan dan kemudahan yang menggiurkan. Untuk masukpun harus bersaing dengan ribuan orang lewat tes yang kadang tak jelas bagaimana penilaiannya. Oleh karena itu, Bapak tidak banyak berharap anak-anaknya sekolah tinggi ataupun kelak seperti dirinya berkarier sebagai aparat pemerintah dalam jangkauan yang lebih luas.

“Silakan kalau Kalian ingin sekolah tinggi, Bapak akan membantu. Tetapi dengan catatan, Kalian harus yakin dengan itu hidup Kalian akan menjadi lebih baik. Juga jangan setengah-tengah. Kalau nanggung, lebih baik Kalian belajar dari pengalaman hidup saja. Insyaallah, dengan keberanian dan kejujuran, hidup Kalian akan lebih bahagia”, demikan petuah Bapak lainnya yang masih kuingat.

Entah karena terpengaruh oleh omongan Bapak atau tidak, yang jelas dari ketujuh anaknya, hanya aku seorang yang merasakan bangku kuliah. Keenam kakakku hanya tamat SMA. Namun demikian, mereka dapat bekerja dan berkiprah baik di masyarakat dengan berbagai profesi. Ada yang menjadi pedagang, petani, wiraswasta dan juga pekerja swasta biasa di ibukota. Meski tidak terlihat keren, pekerjaan saudara-saudaraku tersebut terbilang layak jika dibandingkan dengan pekerjaan kebanyakan orang di kota kelahiranku itu.

Mungkin malah aku sendiri, yang dianggap tidak berhasil menurut pandangan orang-orang. Betapa tidak, lulus kuliah saja hampir sepuluh tahun. Itupun dengan nilai yang pas-pasan. Selama kurun itu, hampir tidak ada prestasi membanggakan yang dapat kuukir. Malah sering dicokok aparat keamanan, dijadikan target operasi. Tidak terhitung pula, aku keluar masuk tahanan polisi. Itu semua berkaitan dengan aktivitasku dalam kelompok mahasiswa yang menurut beberapa pihak terhitung radikal. Beberapa kali aku menjadi koordinator lapangan aksi demonstrasi besar. Pernah pula menggerakan aksi buruh dan tani menuntut hak-haknya yang terabaikan. Aku benar-benar telah merasakan pahit getirnya dunia aktivis mahasiswa.

Selepas kuliah pun, keberuntungan ternyata tidak banyak berpihak padaku. Setelah angin reformasi berhembus, banyak kawan-kawanku seperjuangan yang berhasil menjadi orang penting. Ada yang masuk dalam lingkaran kekuasaan, menjadi pejabat ataupun wakil rakyat. Ada pula yang berkarier sebagai pengacara, pengusaha dan berbagai profesi mentereng lainnya. Sedangkan diriku, bertahun-tahun luntang-lantung tanpa kerjaan. Akhirnya, berlabuh di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang kembali harus bersinggungan dengan kekuasaan. Secara materi, aku juga belum mendapatkan sesuatu yang berarti dari jerih payahku selama ini. Namun jujur, sebenarnya aku bahagia dengan semua yang kulakukan ini.

Bapak tahu sepak terjangku. Namun ia tidak pernah mempersoalkan hal itu. Ia tidak mendukung ataupun melarang semua itu. Dan aku tahu diri, sebisa mungkin namanya tidak tersangkut dengan segala aktivitasku.

“Jika sesuatu itu menurutmu benar, maka lakukanlah. Tetapi setiap perbuatan itu ada resikonya. Berani berbuat, berani pula bertanggung jawab.” lanjut Bapak suatu kali.

Ah, Mbah Sarji. Meskipun hidupmu selalu terlihat enteng, semoga aku bisa memberikan kebahagiaan seperti yang benar-benar tersimpan dalam hati kecilmu.

***

Akhirnya, sampai juga aku di Stasiun J Kota S. Ya, setelah hampir tiga jam terperangkap dalam gerbong kereta api yang panas, berdesakan dengan para pengamen dan pedagang asongan. Terpikir olehku, andai saja aku tadi langsung pakai motor, tentu malah lebih cepat sampai ke tujuan. Kereta api ekonomi ini bergerak terlalu lambat, selalu berhenti di stasiun-stasiun kecil untuk menjejalkan penumpang.

Keluar dari Stasiun J, buru-buru kucegat ojeg yang mangkal di luar stasiun. Perasaanku makin tak enak. Aku ingin segera tahu keadaan Bapak. Rasa bersalah dan rindu yang tak biasa tiba-tiba menyergap dalam diriku. Kuminta tukang ojeg ini memacu motornya secepat mungkin. Aku turun dari ojek, tepat di gang sempit menuju tempat tinggal Bapak.

Siang agak redup, suasana terasa lengang. Entah kemana orang-orang, tak tampak tetangga kiri kanan. Setengah berlari kuhampiri rumah sederhana itu. Pintu dan jendelanya terkunci dan tertutup rapat. Kuketuk pintu pelan-pelan, sambil memanggil nama Bapak. Tak ada tanda-tanda ada orang di dalam rumah. Hatiku makin resah dan kemrungsung.

“Win, pulang juga rupanya Kamu ?!”

Aku kaget. Sosok tua yang badannya sedikit membungkuk itu muncul dari samping rumah. Terbatuk-batuk sambil memantik korek api, menghidupkan rokok kemenyan linting kesukaannya.

“Bapak tidak apa-apa ?”

“Hehe, Kaupikir aku mati ya ? Sebelum melihatmu menikah, Aku tak akan mati.”

Jawaban Bapak yang sekenanya dan terkesan bercanda itu, membuat hatiku berdesir. Walau hidupnya terlihat santai, ternyata Bapak masih memikirkanku yang hampir kepala empat ini belum juga berumah tangga. Ah, seandainya Bapak tahu keadaanku yang sesungguhnya. Sampai kini, aku tak pernah bisa menaruh hati kepada seorang perempuanpun yang ada di sekitarku. Aku mempunyai orientasi seksual yang berbeda dengan lelaki normal pada umumnya.

Mendadak, aku ingin menangis dan mohon ampun kepada Bapak.


Catatan :

- ngelajo : melakukan perjalanan rutin bolak-balik (misal : kerja, sekolah) dalam jarak yang cukup jauh

- nuwani : berlaku lebih dewasa

- kemrungsung : tergesa-gesa