Sabtu, 30 November 2013

MENUNGGU EMAK PULANG

(dapat ditemukan di Antologi "Kota Tanpa Wajah"

Emak tak juga pulang. Aku sudah lama menunggu. Ah, bukan lagi menunggu seperti waktu kecil dulu, aku sering ia tinggal pergi diam-diam tiap malam. Tetapi aku kini sudah letih menantinya, dari waktu ke waktu, hari ke hari, dan seterusnya hingga berbilang tahun. Emak tak pernah kembali ke rumah ini.

Malam sudah larut. Udara gerah sekali. Mungkin sebentar lagi turun hujan. Aku hanya berdua saja dengan Maja, adikku, di rumah ini. Terdengar sayup suara gelak tawa dari warung Yu Tum di kejauhan. Orang-orang sedang melempar kartu sambil menenggak minuman keras. Mungkin bapak  juga ada disana. Setiap malam ia tidak pernah ada di rumah. Kata orang-orang, bapak sibuk mengencani Yu Tum, janda muda yang genit itu.

Maja tertidur pulas, tampaknya ia kelelahan. Aku kasihan dengan adikku itu. Ia sering menangis, menanyakan kepulangan emak. Maja rindu emak, mengapa emak tak pulang-pulang. Aku memberikan pengertian kepadanya. Emak sedang pergi jauh ke kota, mencari uang buat kita. Nanti kalau sudah terkumpul banyak, emak pasti akan kembali dan membangunkan rumah yang bagus buat kita.

Tetapi lain dengan bapak. Bila Maja menangis dan bertanya kepadanya tentang emak, muka bapak menjadi merah padam, diliputi amarah. Tak tanggung-tanggung kemarahannya. Perabotan rumah pun kemudian bisa hancur berantakan dibuatnya.

“Kamu tak punya Emak. Akulah orang tuamu satu-satunya.”

Adikku takut sekali dengan Bapak.

Aku masih ingat, bertahun lampau, ketika untuk pertama kalinya emak pergi meninggalkan kami. Merantau ke kota. Ada tawaran sebagai pembantu rumah tangga dari orang kaya yang kebetulan berasal dari desaku sendiri. Bapak mengizinkan emak mengadu nasib ke kota, demi memperbaiki keadaan ekonomi keluarga yang tidak menentu. Bapak memang hanya seorang buruh serabutan, yang kerjanya tidak tetap, tergantung ada atau tidak orang yang membutuhkan tenaganya. Masih kuingat betul, waktu itu aku berumur lima tahun, sedang Maja baru berjalan dua tahun.

Dulu, emak selalu rutin tiap bulan mengirim uang ke rumah. Jumlahnya memang tidak seberapa, tetapi kalau saja bapak tidak punya kebiasaan buruk, judi dan mabuk-mabukan, tentu keadaan keluarga ini bisa berubah. Punya ini itu dan sekolahkupun bisa lancar. Bapak terus saja begitu, aku yang paling merasakan akibatnya. Ditinggal emak dan harus merawat Maja seorang diri. Juga perilaku Bapak yang kasar dan selalu uring-uringan jika sudah menenggak alkohol dan kehabisan uang. Aku sering menangis dalam hati. Ingin rasanya  meninggalkan rumah ini andai saja tak sayang Maja yang masih kecil.

Awalnya, emak sebenarnya selalu menengok rumah. Walau cuma sesaat, dua bulan sekali ia pasti pulang. Kuingat juga, dua lebaran ia selalu mudik ke kampung.  Tetapi jika emak pulang, bapak pasti mengajaknya bertengkar. Ada saja yang diributkan. Entah uang dari emak yang dianggap kurang atau menyoal apa saja yang dilakukan emak di kota. Bapak selalu curiga, emak berbuat hal yang tidak benar di sana. Kalau sudah begitu, pertengkaran hebat tak bisa dihindari. Ujungnya-ujungnya, emak menangis dan buru-buru kembali kota. Aku kasihan sekali dengan emak. Ia sudah bekerja keras, tetapi tidak pernah dipercayai oleh bapak. Aku kemudian berpikir, memang lebih baik emak tidak terlalu sering menengok rumah. Biasanya kalau tak pernah bertemu lama, hati bapak menjadi lembut terhadap emak.

Malam terus merambat.

Kutengok jam dinding tua di ruang depan, pukul 02.00 dini hari. Tak juga turun hujan, udara makin terasa gerah. Gelak tawa dari warung Yu Tum masih saja terdengar. Aku kadang heran terhadap pembiaran warga kampung terhadap warung yang nyata-nyata digunakan untuk hal yang tak baik itu. Mungkin mereka takut. Aku pernah dengar, beberapa orang penting dari kota kabupaten sering terlihat  menyambangi tempat itu.

Warung itu jugalah, salah satu yang membuat berantakan rumah tangga bapak dan emak. Betapa tidak, bapak lebih banyak berdiam disana daripada di rumah. Berjudi, mabuk-mabukan dan yang sering membuat emak berang kemudian menangis sesenggukan, bapak juga suka main perempuan. Entah, sudah berapa perempuan tidak baik yang ia tiduri. Bahkan, ketika emak masih disini, sesekali dengan teganya bapak membawa perempuan-perempuan itu ke rumah.

Kini, sudah lima tahun lebih, emak tak ada kabar beritanya. Ya, sejak terakhir kali emak pulang dan memergoki bapak sedang bergumul dengan Yu Tum di dalam kamarnya. Itulah pertama kali kulihat, emak naik pitam. Biasanya, emak selalu mengalah dan hanya menangis di hadapan bapak. Tetapi waktu itu, kemarahannya meledak. Bagai singa betina yang ganas, ia jambak rambut Yu Tum hingga tubuh perempuan penggoda itu terjengkang ke sudut ruangan. Detik berikutnya, beberapa tamparan pun mendarat di muka bapak. Bapak hanya diam, tak membalas.

“Bajingan!”, emak pergi dengan terus mengumbar kata-kata kotor.

Ya, aku ingat sekali. Aku melihat semua kejadian itu dari balik pintu. Air mataku meleleh, entah mengapa, aku tak kuasa melangkahkan kaki mengejar emak yang berlalu meninggalkan rumah. Sejak saat itu, emak tak pernah kembali lagi.

Aku tahu, sebenarnya bapak sangat menyesal sejak kejadian itu. Untuk beberapa waktu, perilaku buruknya menjadi berkurang. Ia lebih banyak di rumah, mencoba untuk memberi perhatian lebih kepada aku dan Maja. Bapak juga beberapa kali ke kota, berusaha menjumpai emak. Mungkin untuk meminta maaf. Tetapi emak terlanjur sakit hati. Ia tidak mau menemui bapak. Sampai kemudian majikannya mengabarkan ke kampung bahwa emak tidak lagi bekerja di tempatnya. Kata orang kaya itu, emak pindah kerja ke sebuah pabrik yang memberinya gaji lebih besar dari yang ia berikan selama ini.

Bapak terus melacak keberadaan emak di kota. Tetapi emak entah kemana, seperti hilang ditelan bumi. Sampai kemudian ada beberapa orang dari desaku, yang kebetulan bekerja di kota dan mengenal emak, mengabarkan bahwa emak telah menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Timur Tengah. Keluarga di kampung tentu saja terkejut mendengar berita itu. Bagaimana mungkin emak bisa sampai kesana ? Dari mana ia bisa dapat uang dan mengurus segala keperluan untuk bekerja di luar negeri ? Aku tahu, bagaimanapun juga biaya untuk menjadi TKW resmi di luar negeri itu tidak sedikit.

Dan memang demikianlah, emak tak ada kabar beritanya lagi. Apalagi berkirim uang untuk keluarganya seperti dahulu. Pelan-pelan, perilaku bapak pun kembali seperti semula. Bahkan lebih parah lagi daripada yang dulu-dulu. Setiap malam ia tidak pernah ada di rumah. Pulang pagi-pagi dalam keadaan mabuk. Siang hari, kalau terbangun dan tidak ada makanan, bapak juga  selalu marah-marah. Kadang ia juga main tangan kepadaku. Ah, aku benar-benar tidak betah lagi disini. Emak, mengapa engkau tak pulang-pulang ?

Ya, kalau tak ingat Maja, aku sudah lama kabur dari rumah ini. Aku sangat menyayangi adik lelakiku itu. Dialah satu-satunya, saudara yang kumiliki. Kakek nenek, paman bibi, dan sauadara saudaraku lainnya, baik dari keluarga bapak maupun emak, sudah lama menjauh dari keluarga ini. Itu semua karena kelakuan bapak yang banyak ulah dan sering  menjengkelkan mereka. Hanya sedikit tetangga kanan kiri, yang merasa iba kepadaku dan Maja, kadang memberi bantuan tanpa kuminta. Entah itu uang, makanan, pakaian atau kebutuhan lainnya. Walaupun sangat berarti bagiku, aku menerimanya dengan hati-hati, jangan sampai ketahuan bapak. Kalau sampai tahu, bapak bisa marah besar.

Aku  masih ingat ketika dulu, Maja mendapat hadiah baju koko dari Haji Sulaeman, tetanggaku yang takmir masjid kampung. Bapak marah besar dan memukuli Maja tiada henti. Aku pasang badan melindungi Maja. Bapak semakin marah dan berusaha juga memukulku. Aku melawan, suasana menjadi gaduh. Akhirnya, pertumpahan darah keluarga bisa dihindari setelah beberapa tetangga sekitar melerainya. Bapak terhina oleh pemberian Haji Sulaeman tersebut. Bapak merasa masih mampu mencukupi kebutuhan keluarganya tanpa bantuan siapapun. Ah, tahukah kau bapak, dari dulu harga diri dan kehormatanmu sudah tak ada nilainya di mata tetangga-tetanga kita itu.

Azan Subuh segera membangunkan lamunanku. Pagi sebentar lagi tiba. Aku belum juga dapat memejamkan mata. Kutengok ke dalam kamar, Maja masih tertidur pulas.

“Arsya, bangun! Buka pintunya !” Aku tersentak. Pintu depan digedor keras.

“Cepat! Cepat !”, suara bapak berulang-ulang, membuatku ketakutan. Segera kubuka pintu.

“Minggir!” Bapak mengibaskan tubuhku. Bau minuman keras menyeruak dari mulutnya. Bapak sedikit mabuk. Yu Tum menggelayut manja di tubuhnya. Aku benar-benar muak.

Mereka berjalan memasuki kamar. Aku merasa hal buruk akan segera terjadi. Bapak mencengkeram tubuh adikku yang tertidur pulas dan menghempaskannya ke lantai.

“Heh, bangun anak jadah ! Keluar sana !”

Maja terkejut. Adikku yang baru saja tertidur pulas itu meringis-ringis. Ia tak segera keluar kamar, hanya diam. Bapak semakin marah. Beberapa pukulan dan tendangan segera mendarat di tubuhnya. Mendadak keberanianku tumbuh. Aku segera menghadang pukulan bapak. Sebisa mungkin, aku berusaha membalasnya. Bapak menjadi beringas.

“Kurang ajar ! Rupanya kalian mulai berani. Dasar anak-anak jadah ! Kalian bukan anak-anakku. Tak rugi kubinasakan kalian ! “ Bapak menyerang membabi buta dengan terus menghina emak dan menyebut aku dan Maja bukan anaknya yang sebenarnya. Perempuan penggoda yang dibawanya itu tersenyum sinis. Aku menjadi semakin muak. Begitu ada kesempatan, aku segera berlari ke dapur.

Aku tak tahu, seperti ada yang meggerakan tangan dan kakiku. Yang ada dalam pikiranku hanyalah keselamatan Maja. Detik berikutnya, beberapa tusukan pisau segera mengarah ke tubuh bapak. Darah segar muncrat. Bapak mengerang keras sambil mendekap dadanya. Yu Tum menjerit-jerit. Orang-orang segera datang menghambur ke dalam rumah. Kepalaku pening, kegelapan mendarat di pelupuk mataku. Maja memeluk tubuhku erat-erat.

***

Hampir satu tahun, aku menghuni penjara anak-anak ini. Ya, semenjak kejadian itu. Pengadilan memutusku bersalah, telah menghilangkan nyawa orang lain. Nyawa bapakku sendiri. Karena belum cukup umur, aku dimasukkan disini. Sebenarnya banyak orang dan kalangan bersimpati dengan kasusku. Mereka berusaha membebaskanku. Tetapi, aku merasa tenang tinggal disini. Seperti ada beban yang telah diturunkan dari pundakku.  Dendamku juga telah lepas. Apalagi Maja sekarang  telah dijadikan anak asuh oleh Haji Sulaeman. Tentu ia akan baik-baik saja disana.

Siang ini, beberapa orang yang selama ini membelaku, memberitahu bahwa emak sudah terlacak jejaknya. Beberapa hari lalu, ia mengirim banyak uang ke alamat Haji Sulaeman untukku dan Maja. Rupanya selama ini benar, emak menjadi TKW di Timur Tengah. Menurut kabar, tidak lama lagi ia akan pulang ke tanah air. Aku menjadi tambah bersemangat. Aku sekarang ingin segera bebas.

Emak, akhirnya engkau pulang juga. Aku masih setia  menunggumu, dari waktu ke waktu, hingga berbilang tahun. Aku senang akan segera bertemu denganmu kembali.

***

Hari ini, aku dibebaskan. Hari begitu cerah. Burung-burung berkicau riang, berloncatan dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Aku memasuki pekarangan rumahku dengan pelan. Rumah ini tampak tak terawat, berantakan sekali. Rumput liar tumbuh subur disekitarnya. Sudah beberapa bulan, aku tak menginjakkan kaki di sini.

Salah seorang yang mengantar kepulanganku ke rumah, menggamit tanganku, berusaha menenangkan pikir dan membesarkan hatiku. Ya, cerahnya hari ini, tak secerah hatiku. Harapan-harapanku mendadak sirna.

Emak mungkin sebentar lagi pulang. Tetapi aku sudah membayangkan seperti apa nanti kepulangannya ke rumah. Ada kabar dari luar negeri, emak terkena hukuman rajam dari pemerintah setempat. Emak dituduh berzina dengan sesama tenaga kerja dari Indonesia. Aku tahu persis, siapa laki-laki itu. Dia adalah tetanggaku dulu, yang selalu didatangi emak tiap malam secara diam-diam, ketika bapak tak ada di rumah. Ya, aku semakin ingat, kala itu aku selalu menunggui emak tiap malam dan disuruh tak mengatakan hal itu kepada bapak.


Kepalaku pusing. Semua yang ada terasa ambruk