Selasa, 21 Maret 2017

KTP

(cerpen ini merupakan versi asli, sebelum ada pengurangan di beberapa paragraf awal, dimuat di "Kedaulatan Rakyat", Minggu tanggal 19 Maret 2017)


Wartono benar-benar gusar. Keinginannya untuk segera  meminang Surtini, janda beranak dua itu, terancam gagal. Bukan karena ada pihak-pihak yang tidak menyetujui hubungan mereka, ataupun wanita idamannya itu berpaling ke laki-laki lain.  Tetapi hal sepele yang menjadi penyebabnya. Ya, sebuah KTP. Kartu Tanda Penduduk yang tak kunjung diperolehnya, padahal benda itu menjadi salah satu syarat utama mengurus berkas-berkas pernikahan.

Sebenarnya persiapan Wartono sudah matang. Jauh-jauh hari ia sudah mencicil apa saja yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pengesahan pernikahannya itu nanti.  Surtini yang sudah lima tahun menjanda pun tampak bahagia akan dipersunting lelaki yang masih jejaka, walaupun usianya tak muda lagi, lima tahunan di atasnya. Ya, Wartono bisa dibilang telat menikah. Usianya sudah sedikit diatas empat puluh tahun.  Di usia itu, seumur hidupnya ia belum pernah memiliki KTP. Ia merasa terlempar ke sisi paling kelam dari hidupnya bila mendengar istilah KTP. Wartono ingin bebas dan tidak tergantung dengan benda itu. Ia ingin membuktikan bahwa tanpa tanda pengenal yang melekat di tubuhnya ia bisa mencari penghidupan yang baik.

Kenangan-kenangan buruk itu melekat erat di ingatan Wartono. Tak bisa dilupakan, apalagi dihapus selamanya dari hidupnya. Tentang kedua orangtuanya, bapak dan simboknya, petani desa biasa yang kebetulan bisa sedikit bermain peran, sandiwara ataupun kethoprak, menjadi korban sesuatu yang tidak dipahaminya. Mereka tahu-tahu sudah masuk lingkaran, dicap sebagai pendosa dan pengkhianat oleh penguasa dan orang-orang disekitarnya. Masuk penjara beberapa saat, dan begitu keluar ada tanda khusus di kartu tanda penduduk atau KTPnya.

Tanda itu bertahun-tahun menghantui ia dan keluarganya. Perbedaan perlakuan dalam banyak hal dari lingkungan sekitar benar-benar dirasakannya. Ia dan kakak-kakaknya kesulitan dalam mencari pekerjaan, apalagi di instansi pemerintah. Ia yang sebenarnya ingin menjadi tentara mengurungkan niatnya, hanya karena ada tanda itu di KTP orang tuanya. Yang lebih parah lagi, kakak perempuannya gagal menikah, karena calon suaminya yang seorang tentara disyaratkan untuk tidak menikah dengan wanita anak dari orangtua yang mempunyai tanda khusus di KTPnya itu. Kakak perempuannya itu menjadi gila, dan menjadi penghuni rumah sakit jiwa sampai meninggal dunia. Bapak dan simboknyapun meninggal dunia sebagai orang yang dinilai berbuat salah kepada negara oleh orang-orang disekitarnya.

Tahun demi tahun terus bergulir, dan keadaan politikpun berubah. Pemerintah telah menghapus tanda itu, juga dosa dari orang-orang yang mempunyai KTP dengan tanda khusus itu. Namun,  hati Wartono kadung terluka. Ia bersumpah tak akan mencari KTP seumur hidupnya. Dengan jalan apa saja ia mencari penghidupan, mulai dari buruh ini itu sampai jualan apa saja. Sampai dengan kini, ia berjumpa dengan wanita yang sanggup meluluhkan hatinya yang sudah beku selama bertahun-tahun. Namun, untuk memiliki seutuhnya wanita itu, lagi-lagi ia harus berurusan dengan benda yang dibencinya itu.
****
Kang, jangan keras kepala begitu. Kita ini orang kecil, ikut aturan saja. Tidak usah bertingkah yang aneh-aneh, kata Surtini suatu ketika, begitu tahu Wartono tidak mau mencari KTP sebagai salah satu syarat mendaftarkan pernikahannya.

Lagi pula, menurut Pak Dukuh, sekarang bikin KTP itu mudah. Tidak ribet kayak dulu, cuma sekali seumur hidup, sudah elektronik katanya, lanjut wanita itu kemudian, membujuk calon suaminya.

Baiklah, kalau memang harus begitu. Sebenarnya Aku enggan berurusan dengan hal begini. Kalau tidak mengingat hubungan kita, Aku tak sudi mencari benda itu, demikianlah, akhirnya Wartono luluh juga, bersedia mencari KTP.

Awalnya, dengan setengah hati Wartono pergi mencari benda yang dibencinya itu. Namun lama-lama, ia berubah menjadi lebih bersemangat. Ternyata, keadaan memang sudah berubah. Birokrasi pemerintah tidak seburuk yang dibayangkannya. Tanpa uang sepeserpun, ia mencari surat pengantar dari tingkat RT, pedukuhan, desa, hingga akhirnya di tingkat kecamatan.

Kalau saja dulu keadaannya seperti ini, hidupku tentu tak sesulit ini, batin Wartono dalam hati.

Begini ya Pak Wartono, petugas pelayanan pembuatan KTP yang cantik itu menghentak lamunan Wartono, Data dan foto Pak Wartono sudah masuk, ini saya buat surat keterangan untuk pengambilannya nanti. Seminggu lagi Bapak kesini mengambil KTPnya,

Wah, terima kasih Mbak, eh Bu.Ternyata cari KTP itu mudah, Wartono girang bukan kepalang. Terbayang ia akan segera bersanding di pelaminan dengan Surtini.
***
Satu minggu telah berlalu. Wartono berkata kepada Surtini akan mengambil KTP elektronik di kantor kecamatan.

Surti, Kamu pasti akan pangling dengan fotoku di KTP nanti. Tidak kalah ganteng  dengan bintang sinetron yang Kamu kagumi itu, Wartono menggoda Surtini.

Ah, kita sudah sama-sama tua Kang. Tidak usah berlagak seperti anak muda. Sana cepat ambil KTPnya, keburu tutup nanti kantornya! balas Surtini sambil mencubit pinggang Wartono. Wartono terlonjak, sambil tertawa riang berkali-kali ia peluk calon isterinya itu.

Namun, keriangan Wartono berangsur surut, begitu tiba di kantor kecamatan, petugas yang cantik itu mengatakan bahwa KTP Wartono belum bisa jadi sekarang karena antrean warga yang minta dibuatkan KTP elektronik terlalu banyak.

Satu bulan lagi Bapak kesini, bawa surat keterangan yang kemarin itu kata petugas itu kemudian.

Wartono pulang dengan tangan hampa. Harapannya untuk memperoleh KTP belum kesampaian. Namun ia cukup tenang, masih ada waktu beberapa bulan ke depan, sebelum waktu yang dirancangnya untuk melangsungkan pernikahan dengan Surtini tiba.
****
Satu bulan kemudian, Wartono dengan penuh harap datang kembali ke kantor kecamatan. Namun, petugas cantik yang melayaninya dulu, sudah diganti dengan orang lain, seorang laki-laki setengah baya yang terlihat kikuk dalam banyak hal.

Dan sekali lagi, Wartono harus menelan kekecewaan. KTP elektronik yang diharapkannya belum jadi juga.

Waduh, maaf Pak. Blangko untuk mencetak KTP elektronik habis, Kita sedang menunggu kiriman dari pusat, warga yang minta dibuatkan KTP banyak soalnya, kata laki-laki itu.

Terus bagaimana dong Pak, sampai kapan saya harus menunggu? Bukan apa-apa, tapi KTP itu penting buat Saya untuk saat ini! Wartono mulai gusar.

Begini saja Pak, daripada Bapak ribet bolak-balik ke kantor kecamatan, biar nanti saya  serahkan KTP Bapak ke Pak Dukuh kalau sudah jadi. Bapak bisa langsung mengambilnya di tempat Pak Dukuh saja, saran petugas itu kemudian.

Akhirnya, Wartono menyetujui saran petugas pelayanan pembuatan KTP tersebut. Wartono kembali pulang dengan hampa, tanpa KTP di tangannnya.
****
Demikianlah, awal mula kegusaran Wartono. Ia merasa dipermainkan oleh keadaan sebagai rakyat kecil. Kepercayaannya yang mulai tumbuh pada elemen pemerintah menjadi kembali berkurang.

Sudah berkali-kali ia mendatangi rumah Pak Dukuh menanyakan apakah KTP elektroniknya sudah jadi, jawaban Pak Dukuh tetaplah sama bahwa ia diminta sabar menunggu, nanti kalau sudah jadi, ia sendiri yang akan mengantarnya langsung ke rumah Wartono.

Namun sudah berbulan-bulan, bahkan hampir mendekati satu tahun dari awal ia mengajukannya dulu, tak ada kabar bahwa KTP elektroniknya itu akan segera jadi, padahal waktu yang dirancangnya bersama Surtini untuk melangsungkan pernikahan sudah semakin dekat
****
Siang itu, udara terasa panas. Matahari bersinar begitu teriknya. Wartono sedang bersantai di beranda rumahnya, ditemani seorang wanita, sementara terlihat dua anak kecil bermain-main di dalam rumah. Ya, wanita itu adalah Surtini yang kini telah menjadi isterinya, sedang anak-anak kecil itu adalah anak-anak Surtini yang ikut dengannya, telah diangggap anak kandung sendiri oleh Wartono.

Akhirnya, Wartono dan Surtini memang bisa menikah secara resmi. KTP sebagai salah satu syarat kelengkapan untuk mengajukan berkas pernikahan ke instansi yang berwenang bisa ia peroleh juga, namun itu bukan KTP elektronik melainkan sebuah KTP sementara sebagai pengganti tanda pengenal sebelum yang elektronik jadi. KTP sementara itu dicetak dengan kertas biasa, foto Wartono terlihat kabur di dalamnya.

Sayup-sayup di televisi terdengar berita yang akhir-akhir ini menghebohkan, tentang korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh pejabat negara dari berbagai kalangan. Ya, berita tentang mega korupsi proyek KTP elektronik nasional itu.

Mendadak, lelaki itu bangkit dari duduknya. Ia keluarkan dompet lusuh dari saku belakang celananya. Dengan rasa geram ia sobek sebuah kertas persegi panjang dari dalam dompet itu, kemudian ia lemparkan dengan keras ke dalam bak sampah.

Surtini kaget. Wartono merasa bapak dan simboknya,  juga kakak perempuannya yang telah tiada tersenyum bangga dengan apa yang ia lakukan. ●