Jumat, 23 Oktober 2009

LELAKI GILA DAN KOTA TUA

( cerpen ini masuk dalam Kumcer Joglo 7 'Mengeja September' terbitan Taman Budaya Jawa Tengah )

Aku mengenalnya semenjak masih kecil. Lelaki paruh baya sinting yang selalu berkeliaran di kota tua kami. Badan kurus mencangkung, rambut panjang gimbal acak-acakan dan jalan terpincang-pincang sambil memanggul buntalan kain di pundak. Bila terkekeh, terlihatlah gigi-gigi menghitam yang tak beraturan. Itulah ciri-ciri khasnya. Benarkah ia sinting atau gila seperti omongan banyak orang ? Aku rasa tidak. Aku tahu lebih banyak tentang laki-laki itu daripada penduduk kota ini lainnya. Nanti kuceritakan, bagaimana aku bisa begitu akrab dengannya. Sepanjang pengamatanku, lelaki gila itu adalah pertanda baik bagi kota ini. Bila ia masih terlihat berkeliaran di jalanan maka aman dan baik-baik sajalah keadaan kota ini. Sebaliknya bila ia menghilang dari penglihatan, awan hitam selalu menaungi kota ini.

Dan sejak beberapa hari lalu aku tak menjumpainya lagi. Entah dimana ia gerangan. Menghilangkan diri atau dihilangkan, tak ada yang tahu. Aku mulai menebak-nebak, dalam waktu dekat pasti akan terjadi sesuatu dengan kotaku tercinta ini.

Aku dilahirkan dan dibesarkan di kota ini, kota tua yang damai dan asri. Walau hanya tergolong kota kecil, kota kami terkenal ke seantero negeri. Banyak orang berdatangan ke sini, terutama untuk belajar atau mengenal budaya kami yang adiluhung. Bahkan banyak dari mereka yang kemudian memilih tinggal disini. Jikalau kembali ke kampung asal, merekapun masih merasa bagian dari kota ini. Setiap ditanya, mereka pasti menjawab : saya adalah warga kota itu, saya pernah tinggal disana, saya juga masih punya saudara disana, anak-anak saya sekolah disana, dan seterusnya.

Demikianlah, kota tua kami tumbuh dengan sederhana namun elegan. Penduduknya terkenal ramah dan terbuka terhadap apa saja. Segala hal dapat bersanding mesra disini tanpa melunturkan tradisi lokal yang terus terpelihara. Setelah lulus kuliah, banyak tawaran kerja bagus menghampiriku. Tapi kuputuskan untuk tetap disini, di kota ini. Sudah beberapa tahun aku menjadi wartawan sebuah koran lokal. Walau penghasilan tak seberapa, aku merasa bahagia dan senang. Jiwaku sudah menyatu dengan hiruk pikuk dan udaranya yang mulai sedikit terserang polusi. Tak mungkin kutemui suasana khas seperti disini, di lain tempat. Mungkin itu juga yang dirasakan Mbah Bono, si lelaki gila itu. Menurut cerita orang-orang tua dulu, dialah saksi dan penjaga kota ini dari waktu-waktu. Entah sejak kapan. Sepanjang usiaku, kulihat wajah dan tubuhnya tidak pernah berubah menjadi lebih tua ataupun lebih ringkih. Tetap seperti itu dari waktu ke waktu.

Tentang nama Mbah Bono yang disandangnya, aku tak tahu pasti. Apakah itu nama asli atau bukan. Yang kuketahui, itulah panggilan orang-orang kepadanya dari dulu. Bagi generasi seangkatanku dan sebelum-sebelumku Mbah Bono adalah legenda hidup yang selalu menjadi dongengan menarik waktu kanak-kanak. Sedang generasi-generasi sesudahku sampai sekarang mungkin menganggapnya hanyalah orang gila biasa seperti halnya orang-orang gila lainnya yang banyak berkeliaran di jalanan. Aku masih ingat, ibu selalu berpesan agar jangan mengganggu dan mempermainkan orang gila, terutama Mbah Bono. Nanti bisa kualat. Walau bagaimanapun keadaannya, mereka adalah manusia juga seperti kita. Semua sudah menjadi kuasa dan kehendak tuhan. Dalam beberapa hal, mereka terkadang mempunyai kelebihan yang tidak bisa kita miliki. Bersyukurlah kita yang terlahir ke dunia dalam keadaan normal dan baik-baik saja. Di kali lain, jika sampai sore aku masih saja bermain-main di luar rumah, ibu sering menakut-nakutiku : ‘ayo cepat pulang dan mandi, nanti ada Mbah Bono lewat, nanti kamu dibawanya serta’. Begitulah, Mbah Bono selalu melekat di pikir kanak-kanak seusiaku dulu. Sebagai orang gila keramat yang harus dihormati dan juga monster yang kadang menakutkan kami.

Tetapi dasar anak-anak, ada juga nakalnya. Kami sering menggoda dan mempermainkan Mbah Bono sewaktu pulang sekolah. Kebetulan sekolah kami dekat jalan raya. Mbah Bono sering mangkal dan melepas lelah di ruko kosong pinggir jalan itu. Ketika ia terlelap, kami menimpukinya dengan kerikil-kerikil kecil. Terkadang malah menyodok-nyodoknya dengan ranting kayu. Begitu terbangun, Mbah Bono langsung uring-uringan dan mengeluarkan kata-kata tak karuan sembari mengejar kami yang lari terbirit-birit. Kebanyakan kami lolos dari kejarannya, tetapi sesekali banyak pula dari kami yang terkejar dan kena balas gebuk tongkat Mbah Bono. Kalau sudah begitu, kami hanya bisa menangis keras-keras yang berujung keributan antara orang tua kami dengan lelaki gila itu. Dan selalu aku titeni*, sehabis Mbah Bono kena damprat orang tua kami, petaka-petaka kecil senantiasa melingkupi kota ini. Entah itu gempa bumi ataupun puting beliung yang tak dinyana-nyana datang.

Suatu kali, aku pernah menanyakan perihal Mbah Bono kepada Bapak. Dugaanku, beliau pasti tahu banyak hal tentang laki-laki itu. Bapakku adalah dosen filsafat sebuah universitas negeri ternama disini. Tetapi entah mengapa orang lebih banyak mengenalnya sebagai seorang budayawan yang tulisannya banyak nongol di koran daripada profesi sebenarnya itu.

Bapak tertawa, sedikit menyepelekan pertanyaanku. Ketika aku hendak berlalu meninggalkannya, ia akhirnya bersedia menjawab. Mbah Bono itu sebenarnya bukan orang gila beneran. Dia adalah orang sakti. Turun-temurun dari leluhurnya memang seperti itu. Kelakuannya seperti orang gila dan menggelandang di jalanan. Mungkin sebagai syarat atau tumbal kesaktiannya. Walau begitu, dahulu kala leluhurnya sangat dihormati disini. Mereka adalah pejuang-pejuang yang turut membebaskan kota ini dari penjajahan asing. Mbah Bono yang kita kenal itu merupakan generasi paling akhir. Tidak pernah ada yang tahu apakah ia masih punya sauadara atau tidak. Yang jelas, usia Mbah Bono sudah seratus tahun lebih. Karena kesaktiannya, ia masih terlihat seperti itu terus dari dulu.

Ah, kupikir Bapak hanya mempermainkanku saja dengan jawabannya tersebut agar aku makin penasaran. Memang seperti itulah kebiasaannya bila dimintai tanya tentang suatu hal. Jawabannya selalu tidak serius tetapi sering dibuat seperti masuk akal. Bila pikiran kita sudah kena jebak kata-katanya, barulah beliau tertawa terpingkal-pingkal. Yang pasti, Bapak memang telah mempengaruhi pikiranku. Aku menjadi makin penasaran dengan sosok Mbah Bono.

Perlahan-lahan akupun mendekati Mbah Bono dan berusaha menunjukkan kepadanya sebagai teman yang baik. Mula-mula ia acuh saja. Tanpa diduga, terkadang ia malah menyerangku. Tetapi lama-kelamaan, akhirnya luluh juga. Lelaki itu mulai jinak dan bisa diajak bercanda walau cuma sebatas tertawa-tawa saja, entah apa yang ia tertawakan sebenarnya. Sesekali kubawakan pula makanan dan yang pasti sebungkus rokok kretek lokal kesukaannya. Kami sering ngrokok bersama di pinggir jalan, memandang lalu lintas kota yang makin bising. Banyak orang lalu lalang memandang kami dengan tatapan aneh. Mungkin mereka juga menganggapku gila. Maklum, semenjak kuliah rambutku tergerai memanjang dan dandananku juga makin tak karuan. Jaket dan celana jeans belel yang robek disana sini selalu kusandang. Aku cuek saja.

Sewaktu aku masih kuliah, angin perubahan dan reformasi sedang berhembus kencang di negeri ini. Demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di setiap daerah, tak terkecuali di kota ini. Dan sebagai mahasiswa bandel aku larut juga kesitu. Aku termasuk aktivis yang lumayan terkenal di kampus. Kuliahku keteteran karena waktuku lebih banyak tersita di jalanan, menggalang massa dan terkadang bernegosiasi dengan aparat keamanan. Dan di medan juang mahasiswa jalanan itu pula lagi-lagi aku harus bersinggungan dengan sosok Mbah Bono.

Masih selalu kuingat aksi demo yang berakhir ricuh itu. Semua rencana telah disusun matang dan rapi. Kami mendatangi sebuah kantor partai besar, simbol kekuasaan waktu itu. Tidak akan ada anarkhi, hanya orasi-orasi gertak sambal biasa. Negosiasi dengan pihak keamananpun telah kami lakukan jauh-jauh hari. Awalnya semua berlangsung terkendali seperti rencana. Tetapi menjelang tengah hari yang terik, kekacauan mulai terjadi. Tanpa diduga-duga, entah siapa yang memulai, terjadi adu mulut yang berakhir dengan saling dorong dan lempar batu antara kami dengan aparat keamanan. Banyak pendemo yang ditangkap, tak terkecuali aku. Dalam pandangan samar-samar, setelah kepalaku kena gebuk aparat, kulihat wajah Mbah Bono menyeringai diantara kerumunan massa.

Aku dan banyak kawan aktivis harus mendekam semalaman di sel tahanan. Esok harinya, ketika negosiasi pembebasan kami sedang dilakukan, aku kembali terkaget. Kulihat sekelebat sosok Mbah Bono di salah satu ujung ruangan. Aku menjadi curiga, jangan-jangan Mbah Bono adalah intel yang sedang menyamar. Ia tidak gila sungguhan. Mbah Bono ditugaskan untuk mengawasi gerak-gerik seluruh kota dengan cap kegilaannya. Ia memang sengaja disusupkan diantara kerumunan aksi kemarin. Sialan! Aku dan penduduk kota ini ternyata telah dikibuli oleh lelaki itu, gerutuku dalam hati.

Beberapa hari kemudian setelah aku bebas, yang kucari adalah Mbah Bono. Biasanya dengan mudah dapat kutemukan di jalanan pusat kota. Tetapi setelah kejadian itu, ia seperti menghilang ditelan bumi. Mungkin ia sudah tahu kalau identitasnya terbongkar, pikirku. Kubuka-buka arsip koran lawas tentang beberapa demo terdahulu. Aku terhenyak dan makin yakin kalau Mbah Bono memang intel yang menyamar. Di beberapa foto koran, kulihat bayangan lelaki kurus mencangkung dengan rambut gimbal acak-acakan itu ada diantara keriuhan massa. Aku benar-benar geram. Ingin kucari dia dan kutanyai beberapa hal. Tetapi ia menghilang, tiada yang tahu entah kemana.

Sejak dulu kota kami relatif aman. Walau setiap hari terjadi demonstrasi tetapi secara umum masih dalam batas yang wajar. Entah ini hanya pikiran ngelanturku semata atau bukan, yang jelas sejak menghilangnya Mbah Bono waktu itu, suasana kota menjadi lain. Demo menjadi sering ricuh. Mahasiswa dan massa memblokir jalan dengan membakar ban-ban bekas. Aparat keamanan sering terlihat baku hantam dengan pendemo. Beberapa gedung dan pertokoan bahkan ada yang dibakar massa. Suasana itu berlangsung lumayan lama sampai tumbangnya era terdahulu di negeri ini oleh kaum reformis. Setelah itu keadaan mulai berangsur-angsur tenang kembali. Kulihat sosok Mbah Bono terlihat berkeliaran lagi di jalanan kota.

Di sebuah senja yang basah, kutemui lelaki gila itu di sudut kota. Ingin kuinterogasi dia dengan beberapa pertanyaan tentang beberapa keganjilan yang sering kulihat padanya. Tetapi aku mengurungkan niatku begitu melihat keadaannya. Mungkinkah lelaki gila seperti dia benar-benar intel yang sedang menyamar ? Keadaannya sangat menyedihkan. Diantara guyuran air hujan kulihat ia semakin kurus dan menderita dengan beberapa kali batuk mengeluarkan darah. Banyak sekali luka koreng, terlihat jelas di kakinya. Niatku berubah menjadi iba. Setelah meletakan makanan, kutinggalkan lelaki itu tanpa kata-kata. Tak pernah kuingat-ingat dan kutanyakan lagi keganjilan-keganjilan yang ada padanya. Kuanggap itu hanyalah khayalan semata.

Sampai saat ini, aku menjadi seorang wartawan. Aku tetap berkawan dengan Mbah Bono. Sesekali diantara kejenuhanku mengejar berita, kusambangi Mbah Bono yang sedang duduk-duduk di pinggiran jalan. Kulemparkan sebungkus rokok kretek lokal kesukaannya, kami kemudian merokok sambil mengepulkan asapnya ke udara bersama-sama. Kami tidak pernah ngobrol, hanya saling tertawa. Tawa yang tak pernah kuketahui maknanya, selain sekedar tanda komunikasi semata. Naluri jurnalismeku sebenarnya mengisyaratkan ada banyak rahasia yang tersimpan di dalam sosok sinting dan gila itu. Tetapi hal itu urung kugali lebih lanjut, karena kedekatanku padanya. Aku tak mampu menjejalkan segenap curiga ke wajah polos dan tawa renyahnya yang makin bersahabat.

Beberapa pekan ini, negeriku sedang diramaikan kampanye pemilihan raya untuk memilih pemimpin di negeri kami. Kota tua inipun tak lepas dari hiruk pikuknya, poster dan spanduk calon pemimpin bangsa bergelantungan tak beraturan disana-sini. Hampir setiap hari, alun-alun kota diramaikan oleh pengumpulan massa dan aksi obral janji. Kulihat kota tua ini semakin semrawut dan tidak beraturan. Kesibukan warga kota sedang tersita pada perhelatan besar yang sebentar lagi akan berlangsung. Mungkin hanya aku yang menyadari bahwa banyak hal sedang terjadi di kota ini. Kulihat banyak orang-orang gila baru berkeliaran di jalanan. Mereka tampak liar dan buas. Ada yang masih berpakaian lengkap, ada pula yang sudah compang-camping. Bahkan ada yang telanjang bulat. Aku tak tahu darimana mereka datang. Atau mungkin didatangkan. Yang jelas, kurasakan suasana kota menjadi panas sejak kedatangan mereka.

Aku juga menjadi kehilangan Mbah Bono. Terakhir kali kulihat Mbah Bono di alun-alun kota. Ia tampak cengengas-cengenges diantara keriuhan massa kampanye. Sejak orang-orang gila baru itu bermunculan, aku kesulitan menemuinya. Ia tidak leluasa lagi melenggang sendirian di jalanan. Apalagi sering kulihat, sesama orang gila saling berkelahi, entah memperebutkan apa. Terkadang malah ada yang mati. Mayat mereka tergeletak di jalan, kadang tidak ada yang peduli. Baru ketika mayat-mayat itu membusuk dan mengeluarkan bau tak sedap, orang-orang tersadar dan menyingkirkannya. Mayat-mayat orang gila itu kemudian dikuburkan sekedarnya tanpa nama, konon setelah beberapa organnya dipretheli untuk praktek calon-calon dokter di rumah sakit.Uhh…

Pagi ini, kusambangi gedung besar di pusat kota. Nanti tengah hari disini akan ada konsolidasi massa salah satu peserta pemilihan raya. Aku melihat orang-orang ramai berkerumun di jalan besar di depan gedung. Penasaran, kusibak kerumunan orang itu pelan-pelan. Aku kaget bukan kepalang. Kulihat sosok kurus kerempeng lusuh dengan rambut gimbal acak-acakan tergeletak bersimbah darah, tak bernyawa. Sosok itu kukenal betul : Mbah Bono. Siapa yang tega membunuhnya dengan biadab seperti ini? Pikiranku kemudian berputar-putar. Entah apa yang akan kutulis esok hari di koran.

***

Kota tuaku terasa semakin panas. Gesekan-gesekan antar pendukung peserta pemilihan raya sering terjadi. Tak sedikit korban karenanya, baik nyawa ataupun harta benda. Aku menjadi gerah. Sesekali aku menyendiri di pantai saat lepas malam. Setelah Mbah Bono tiada, aku menjadi merasa sendirian. Tak ada lagi kawan seperti Mbah Bono. Walau aku hanya bisa bertukar tawa, kurasakan ada pertalian hati yang lain dengan lelaki gila itu.

Seperti halnya malam ini, kudatangi pantai kotaku. Tak seperti biasanya, angin bertiup kencang membawa hawa dingin bercampur dengan bau garam air laut. Aku sedikit menggigil. Tiba-tiba bumi terasa bergoyang. Air laut bergolak. Seperti raksasa besar yang rebah, samudera maha luas itu menghambur ke daratan. Aku terpana, tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Kakiku menjadi berat dibawa berlari. Aku dan kota tua ini sebentar lagi pasti akan lenyap ditelan gelombang hebat ini. Tiba-tiba kurasakan sepasang tangan meraih dan menepuk-nepuk tubuhku. Seleret sinar kuning jatuh menerpa mukaku dari celah jendela. Mataku masih samar, nafasku terengah-engah. Kulihat sosok tua kurus itu menyulut rokok di samping dipan**. Bapakku.

“Sudah siang, Yusron. Engkau pasti mimpi jelek ?!”

Aku benar-benar bersyukur hari ini.

Yk, Mei 2009.

* titeni : tengerai

** dipan : tempat tidur dari kayu