Minggu, 10 Oktober 2010

MENUNGGU KAWAN

( Dimuat di Lampung Post, Minggu 10 Oktober 2010)

Aku sedang menunggu kawan, sementara itu hujan turun dengan lebatnya. Air bagai dimuntahkan dari langit. Jatuh ke bumi, menerpa atap-atap seng dan benda-benda lainnya, menimbulkan suara gemeretap yang memekakan telinga. Sesekali angin berkesiut kencang, menerbangkan sampah-sampah ringan dan ranting-ranting kering. Banyak pula pepohonan, papan reklame dan tiang-tiang kecil berjatuhan, tersapu gemulai sang angin. Setelah kemarau yang cukup panjang, tampaknya hujan ingin menumpahkan segenap rindunya. Berhari-hari tak jua berhenti. Aku gelandangan tua yang papa, terjebak sendirian di emperan toko ini. Tubuhku basah dan menggigil terkena tempias air hujan.

Sudah berhari-hari aku terdampar disini. Tanpa kawan, tanpa makanan. Perutku melilit-lilit, badanku terasa payah. Tak ada orang melintas, jalanan begitu senyap. Hanya genangan air yang terlihat makin lama, makin melebar dan meninggi. Tak lama lagi pasti akan menyapu tempat ini. Ah, ada yang salah dengan tata kota disini. Setiap musim penghujan, banjir selalu ada dimana-mana.

Kawanku belum juga datang. Ia lelaki muda berwajah bersih dan terlihat suci. Aku belum lama mengenalnya. Baru tadi pagi, ketika hujan mengendurkan curahnya. Diantara rintik gerimis yang lembut ia mendatangiku. Tanpa payung, tanpa mantel hujan. Rintik gerimis seolah memberi ornamen lain di sekelilingnya. Lelaki itu, sahabat gerimis. Tak nampak basah membekas pada tubuh dan pakaiannya.

“Selamat pagi, Pak Tua. Jangan takut, aku kawanmu…”

Ia menyalamiku, kemudian meraih tubuhku lalu menepuk-nepuknya pelan. Aku diam, tak menyahut ucapnya. Aku merasa asing dengan orang-orang. Sudah lama aku merasa bukan manusia lagi. Aku sampah yang menyerupai manusia renta.

“Tunggu sebentar, aku akan membawa makanan dan beberapa kawan untukmu. “

Lelaki itu bergegas pergi, kemudian menghilang di kejauhan. Mula-mula aku tak menggubrisnya. Bertahun-tahun aku mengembara seorang diri. Lengang dan sunyi adalah kawan terbaikku. Tetapi entah mengapa, makin lama aku seperti merindukan kehadirannya. Berharap, ia segara muncul dari kejauhan, lalu menemaniku menggigil kedinginan di emperan ini.

Lelaki itu belum juga datang. Mungkin ia lupa, atau memang hanya main-main semata. Dalam hati, aku berharap tidak seperti itu. Hari mulai gelap, hujan makin menderas. Dingin sekali. Tubuhku makin menggigil. Aku terbatuk-batuk. Ada darah kental keluar dari mulutku.

***

Malam mulai merambat senyap. Aku masih menunggu lelaki muda itu. Untuk kesekian kalinya, aku kembali mengerang. Tubuhku tetap saja menggigil, namun dadaku terasa panas. Batuk keparat ini telah mengikuti hidupku bertahun-tahun. Kadang hanya batuk-batuk kecil biasa, tetapi tak jarang ia begitu menghebat. Seperti malam ini, tubuhku menjadi terguncang-guncang. Perutku yang melilit-lilit, makin sakit tak terperi. Mukaku memerah, mataku menjadi basah. Air liur bercampur darah kembali muncrat diantara batukku.

Seekor tikus got basah memandangku heran di pojok gelap. Mungkin ia iba, mungkin juga sedang mengejekku. Aku tak peduli. Bukankah aku sekarang tak lebih hina dari tikus got itu ?

Dahulu sekali, aku pernah mengalami masa-masa kejayaan. Masa di kala tubuhku masih muda dan kuat. Masa di kala banyak orang memuja dan mengeluk-elukanku. Masa di kala para gadis berlomba-lomba menarik perhatianku, mencoba meraih cintaku. Bukan karena wajahku yang rupawan. Tetapi di kala itu, aku adalah bintang panggung yang cukup terkenal. Sosokku melenggang dari panggung sandiwara, ketoprak, wayang orang hingga merambah layar film. Ah, masa-masa yang sungguh menggairahkan. Ada bahagia bercampur haru mengenangnya. Aku pernah diakui sebagai manusia. Bahkan, aku pernah mendapat penghormatan dan penghargaan sebagai manusia lebih dari yang lainnya.

Aku masih ingat, banyak orang-orang penting di negeri ini melirik dan mendekatiku. Mereka menawarkan persaudaraan dan kemewahan, yang sebenar-benarnya, tak pernah kuinginkan sama sekali. Aku terlalu lugu dan jujur untuk itu semua. Mereka mengajakku bersenang-senang. Mengundangku makan-makan dan tentu saja memintaku berpentas di acara mereka dengan bayaran yang cukup tinggi. Aku menerima semua itu dengan perasaan senang namun biasa saja, tanpa pernah berpikir yang macam-macam. Sampai banyak diantara mereka, mulai membujukku agar ikut dalam kelompok mereka. Kelak, jika aku bersedia, jabatan dan kekuasaan serta harta berlimpah menantiku sebagai imbalannya. Aku berpikir sederhana. Aku tak tahu apa-apa tentang politik. Aku hanya bisa bermain ketoprak dan sandiwara. Aku cuma penghibur semata. Aku menolaknya dengan halus. Mereka tampak kecewa, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.

Dan politik memang benar-benar kejam. Walau sudah berusaha menghindarinya, akhirnya aku terserempet juga. Bukan hanya terserempet, tetapi lebih dari itu : jatuh terjungkal kemudian terlindas olehnya hingga berkeping-keping. Aku yang pernah dipuja-puja, berakhir sebagai gelandangan hina seperti ini.

Ah, hujan semakin lebat saja. Suasana gelap sekali, rupanya listrik kembali padam. Entah apa yang terjadi di negeri ini. Hujan atau tidak hujan, sesuatu yang maha penting di masa kini itu selalu byar pet, seperti tak terurus dengan baik. Aku terbatuk, darah kembali muncrat. Dadaku terasa ngilu. Hatiku seperti teriris.

Di malam yang berhujan dan gelap seperti ini pula, bertahun-tahun silam, aku mulai mengalami titik-titik kehancuran. Orang-orang itu mendatangi rumahku, terus menghujaniku dengan bermacam-macam tuduhan yang tak kumengerti sama sekali. Mereka menyeretku keluar rumah, kemudian menaikkanku ke atas truk. Isteriku menjerit-jerit, kedua anakku yang masih kecil menangis sejadi-jadinya. Aku digelandang ke suatu tempat bersama banyak orang yang juga tak tahu apa kesalahannya.

Sejak itu, aku benar-benar terpisah dengan keluargaku. Hidup dalam siksaan demi siksaan. Berpindah-pindah dari satu penjara ke panjara lainnya. Tubuhku remuk, otakku sekarat. Hingga akhirnya, aku menghirup kembali kebebasan sebagai orang yang berbeda. Tak ada lagi sanak saudara, orang-orang yang yang kukenal, apalagi yang mengenaliku. Aku mengembara dari kota ke kota, menapaki tahun demi tahun dalam keterasingan dan kesendirian sebagai seorang gelandangan. Di mata orang-orang, aku tak lebih dari gelandangan gila yang tiap hari menyusuri lorong-lorong kota tanpa henti, tanpa tujuan. Meski aku sebenarnya waras, bahkan lebih waras dari kebanyakan mereka, kukira.

Ah, kejujuran memang terasa pahit. Bukankah, seorang seniman itu harus jujur dan menuruti hati nurani. Aku tak tahan melihat penderitaan orang kecil. Aku jengah dengan penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan para penguasa. Aku tak tahan untuk berteriak dan protes. Tetapi cuma sebatas itu, sebatas suara dan gerak yang kubingkai dalam wujud sebuah seni pertunjukan. Aku tak punya kekuasaan, tak punya senjata, apalagi anak buah yang sanggup merongrong sebuah kekuasaan. Aku hanya kumpul-kumpul dan menghibur para petani, buruh-buruh pabrik, lonte-lonte jalanan dan mereka-mereka yang terpinggirkan. Aku tak punya maksud lain, kecuali itu.

Mataku berkaca-kaca, tetapi tiada bisa menangis.

Malam semakin larut dan hujan. Aku menelan ludah. Kawan baruku itu belum juga muncul.

***

Kilat membelah langit. Selintas cahayanya menerangi kegelapan. Gelegar halilintar segera susul menyusul. Entah mengapa, aku merasa suasana begitu mencekam. Ada perasaan takut mengaliri perasaanku. Ah, bukankah aku sudah lama kebal dari rasa takut. Lagi pula siapa yang akan bermain-main dengan ketakutanku. Bahkan, setan paling mengerikan pun pasti enggan menggoda dan mempermainkanku.

Hmm, tetapi kali ini rasanya lain. Aku takut sekali. Aku takut sendiran di emperan ini. Aku merindukan kawan, entah siapapun itu. Lelaki muda itu tak datang-datang. Kurasa, telah lewat tengah malam. Sepi sekali.

Pada malam-malam biasa, terutama malam Minggu, di sepanjang jalan ini selalu ramai oleh pasangan muda yang berasyik masyuk. Mereka bersembunyi di keremangan. Aku sering melihat mereka beradu mulut sambil mendesah-desah. Tak jarang mereka melakukan hubungan intim, selayaknya suami isteri tanpa malu-malu. Mereka seperti menihilkan keberadaanku. Oh, sudah sedemikian bobrokkah akhlak anak-anak muda zaman sekarang ?

Jika melihat anak-anak muda itu, aku jadi teringat anak-anakku. Tentu, mereka sudah besar sekarang. Jauh lebih besar dari anak-anak muda itu. Dimanakah mereka kini ? Waktu aku digelandang pergi dulu, mereka masih kecil-kecil. Si sulung kelas tiga SD, sedang si bungsu belum sekolah. Mereka adalah kebanggaanku, sepasang anak laki-laki dan perempuan yang sedang nakal-nakalnya. Kadang, aku sering dibuat jengkel oleh ulah mereka, minta macam-macam mainan kemudian baru berselang beberapa hari sudah dirusak atau dibuang bagai sampah yang tak bernilai. Aku sering marah-marah kepada mereka jika kondisiku sedang capai dan emosiku tidak stabil. Untunglah ada Laila, isteriku yang cantik dan penyabar. Dia adalah perempuan sempurna, anugerah terindah yang pernah kumiliki. Oh, Laila, isteriku. Bagaimana kehidupanmu dan anak-anak setelah aku tak berada disisimu ? Apakah kamu terlunta-lunta juga ? Atau malah kini engkau telah diperisteri laki-laki lain yang sanggup menghidupimu dan merawat anak-anak kita ? Laila, jika itu terjadi, aku tak akan menyalahkanmu….

Air mataku menetes. Baru kali ini, aku merasa takut sendirian. Baru kali ini pula, aku benar-benar merasa kehilangan, padahal sejatinya sudah bertahun-tahun aku kehilangan banyak hal. Aku merindukan Laila dan anak-anakku. Aku merindukan sahabat-sahabat dan masa laluku yang penuh kehangatan.

Ah, mungkin sebentar lagi fajar menjelang. Hujan disertai halilintar, sepertinya mulai mereda surut. Batukku perlahan juga mulai menghilang. Lelaki muda itu pasti tak jadi datang. Tiba-tiba, mataku ingin mengatup, melupakan banyak hal. Aku ingin tidur dengan santai dan tenang.

***

Samar, aku terbangun. Di sekelilingku, terang mulai menjalar. Pagi bergegas memulai hari. Udara membawa bau tanah yang segar, setelah hujan deras semalam. Aku mengusap-usap mata. Walau cuma sesaat, aku merasa tidurku nyenyak sekali. Tubuhku terasa enteng dan nyaman.

Di kejauhan, kulihat beberapa orang bergerak ke arahku. Semakin lama, semakin mendekat. Aku mengenali lelaki yang berjalan paling depan. Ya, dia lelaki muda berwajah suci itu. Rupanya dia menepati janjinya, menemuiku dengan mambawa beberapa kawan. Wajahnya tampak bersinar, memancarkan cahaya kedamaian, keagungan dan kemuliaan. Pun beberapa orang yang mengikuti di belakangnya. Mereka tersenyum menghampiriku.

“Pak Tua, aku Izrail. Ini beberapa kawan yang kujanjikan untukmu. Kami akan menjemputmu menuju rumah yang pasti sangat kauidamkan.”

Aku merasa bahagia sekali. Mendadak, aku seperti mengenal baik beberapa nama kawan baru yang menjemputku itu. Mereka adalah orang-orang hebat. Ada Fuad Muhammad Syafruddin, Baharudin Lopa, Munir, Rendra, Mbah Surip, dan juga yang sangat aku muliakan :Gus Dur. Sedang yang perempuan itu, ya, dia adalah si pemberani itu, Marsinah.

Aih, aku merasakan kedamaian sampai ke sukmaku….


Kp, awal Februari 2010

Minggu, 08 Agustus 2010

TUTA TAKUT PULANG KE RUMAH

( dimuat di Harian Global Medan, 7 Agustus 2010 )

Tuta takut pulang ke rumah. Gadis cilik itu terpaku di mulut gang sempit menuju rumahnya. Hari merambat petang, lampu-lampu kota mulai menyala. Di jalan besar, terlihat orang-orang bergegas dengan kendaraannya. Ada yang baru pulang kerja. Ada pula yang mulai keluar rumah, menikmati suasana malam lebih awal. Ia sudah membayangkan ibunya akan marah besar kepadanya. Tanpa memberitahu terlebih dahulu, ia ngelayap sampai sesore ini.

Hari ini, tak seperti biasanya, sekolah Tuta pulang lebih awal. Bapak dan ibu guru mengadakan rapat membahas ulangan umum yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Menurut jadwal, hari ini sebenarnya juga ada kegiatan ekstrakurikuler drumband yang diikutinya. Karena rapat tersebut, para guru memutuskan kegiatan drumband ditiadakan. Tuta senang sekali. Ia bisa terbebas dari banyak mata pelajaran yang membosankan. Dan tentu saja, kegiatan drumband yang sungguh-sungguh terpaksa ia ikuti, hanya karena memenuhi keinginan sang ibu semata.

Ia teringat kata-kata ibunya tadi pagi, “Tuta, hari ini kamu naik bus saja. Ibu tak bisa mengantarmu. Motornya sedang dipakai bapakmu jaga malam .”

Tuta seperti tak menghiraukan omongan ibunya. Ia asyik membenahi dandanannya di depan cermin. Setiap pagi, ibunya selalu mengumbar kata-kata yang membuat gaduh suasana. Apalagi jika bapaknya jaga malam dan pulangnya agak siang seperti sekarang. Ibunya sering marah-marah yang tak jelas juntrungannya.

Redondo, adik lelakinya yang baru berumur tiga tahun, tiba-tiba merengek minta sesuatu. Suasana bertambah gaduh. Tuta ingin sekali menyumpal telinganya dan tak hirau dengan itu semua.

”Hari ini, kamu kan latihan drumband. Nanti langsung saja, nggak usah pulang dulu. Biar lebih irit.”

Ibunya kemudian menjejalkan beberapa lembar uang ribuan ke dalam saku bajunya. Tuta tak bergeming. “Hpnya jangan dimatikan. Nanti sewaktu-waktu, Ibu bisa ngecek kamu. “

Tuta kemudian ngeloyor pergi, tanpa menyalami tangan ibunya terlebih dahulu. Sang ibu mengumpat, “Dasar, anak badung !”

Begitulah, Tuta memang sebal sekali dengan ibunya. Ia merasa setiap hari selalu menjadi sasaran kemarahan ibunya. Apa saja yang dilakukannya, selalu tidak ada yang benar di mata sang ibu. Hampir dipastikan, setiap hari ibu dan bapaknya selalu bertengkar hebat. Entah meributkan apa, Tuta tak benar-benar tahu. Biasanya, hal-hal sepele pun bisa menjadi sumber pertengkaran mereka. Dan pada akhirnya, ialah yang menjadi bulan-bulanan kemarahan mereka itu. Tuta menjadi tidak betah tinggal di rumah.

Apalagi setelah Redondo lahir. Ia merasa diabaikan oleh kedua orang tuanya. Mereka seperti lebih menyayangi adiknya itu. Memang, dulu Bapak Tuta berharap anak pertamanya adalah seorang laki-laki. Bapak Tuta sangat menggilai sepakbola. Di tempat kerjanya, kalau ada pertandingan sepakbola antar karyawan atau dengan perusaahaan lain, ia selalu menjadi bintangnya. Ia berharap hobinya itu menurun pula pada anaknya nanti, yang tentu saja harus berkelamin laki-laki. Begitu tahu, anak pertamanya adalah perempuan, ia agak kecewa. Namun begitu, ia tetap menamai anaknya dengan mengacu pada nama bintang sepakbola asal Argentina yang menjadi idolanya, Ristuta Putri Maheswari. Pun ketika anak keduanya terlahir laki-laki, ia beri nama Redondo Putra Maheswara.

Orang tua Tuta belum lama tinggal di perkampungan itu. Sebelumnya, mereka mengontrak rumah yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah yang mereka tempati sekarang. Memang demikianlah, hampir setiap tahun, kehidupan keluarga itu selalu berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Sebenarnya, kalau mau, kakek dan nenek Tuta ( orang tua bapaknya Tuta ) sering meminta mereka untuk tinggal bersama di rumahnya yang cukup besar di pinggiran kota. Tetapi ibu Tuta selalu menolak mentah-mentah. Kelihatannya, dari dulu memang tidak ada kecocokan antara ibu Tuta dengan mertuanya, khususnya dengan sang ibu mertua.

Keluarga orang tua Tuta dapat digolongkan sebagai keluarga muda. Usia bapak dan ibu Tuta masih dalam kisaran tigapuluh tahunan. Maka, tidak mengherankan jika sering terjadi pergolakan di dalamnya. Umum terlihat di beberapa keluarga muda lainnya yang selalu terbelit masalah-masalah pelik di masa awal kehidupan rumah tangga seperti keuangan, anak-anak yang sulit diatur dan semacamnya. Bapak Tuta bekerja sebagai satpam toko yang gajinya tidak seberapa. Sedang ibu Tuta, setelah menikah, mengundurkan diri dari pekerjaannya semula. Ia sekarang hanyalah ibu rumah tangga biasa yang sesekali ikut membantu tetangganya yang membuka usaha katering.

Kalau dilihat dari luar, orang tua Tuta adalah pasangan yang ideal. Yang laki-laki, orangnya tinggi, gagah dan juga tampan. Serasi sekali dengan yang perempuan, badannya tinggi semampai, cantik dan berkulit kuning langsat pula. Sangat cantik sekali. Kadang Tuta heran dengan dirinya. Mengapa ia berbeda sekali dengan kedua orang tuanya. Tuta merasa dirinya tidak cantik. Badannya gendut dan kulitnya kehitam-hitaman. Sempat terlintas dalam pikirannya bahwa ia bukan anak kandung ibunya. Ia hanyalah anak pungut atau anak terlantar yang diangkat anak oleh bapak dan ibunya. Tak mengherankan, setiap hari ia selalu dimaki-maki ibunya. Membayangkan hal itu, air mata Tuta menetes. Ia sering menangis sesenggukan seorang diri di dalam kamar.

Tuta juga sering mendengar cerita orang-orang di sekitarnya tentang masa lalu orang tuanya. Dari berbagai cerita itu, ia berkesimpulan bahwa bapaknya sebenarnya berasal dari keluarga yang berada, sedang ibunya adalah wanita aktif dan pintar yang dulu sangat dikagumi orang-orang di sekelilingnya. Hanya nasib baiklah yang tidak berpihak kepada keduanya hingga membina rumah tangga dalam kehidupan yang kurang berkecukupan seperti sekarang ini.

Beginilah cerita yang sering didengar Tuta itu. Bapak dan ibunya dulu bertemu dan saling jatuh cinta ketika keduanya bekerja dalam satu atap di sebuah supermarket besar di kota ini. Bapaknya adalah satpam supermarket itu, seperti halnya sekarang. Sedang ibunya adalah seorang SPG (Sales Promotion Girl) yang ditempatkan disana. Mereka kemudian menjalin hubungan cinta, walau sebenarnya orang tua dari pihak bapaknya Tuta kurang merestuinya. Ya, keluarga bapak Tuta adalah keluarga yang lumayan berada. Saudara-saudara bapak Tuta sudah menjadi orang penting semua. Bapak Tuta seoranglah yang tidak seberuntung mereka. Walaupun kuliah lumayan tinggi, tetapi hanya jadi satpam toko biasa. Orang tua bapaknya Tuta sebenarnya berharap anaknya itu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan nantinya memperoleh isteri yang sepadan pula dengan dirinya. Tetapi begitulah, keinginan orang tua tidak selalu selaras dengan kemauan anak. Akhirnya, pernikahan itu berlangsung juga dan dengan terpaksa mereka merestuinya.

Kalau mau jujur, demikian bisik orang-orang yang sering didengar Tuta, bapaknya Tuta bisa memperoleh isteri yang cantik seperti ibunya Tuta sesungguhnya adalah sebuah karunia yang luar biasa. Walau berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, ibu Tuta dulunya adalah anak yang pintar dan menjadi bintang sekolah. Selain pintar dalam berbagai mata pelajaran, ia juga mempunyai banyak kelebihan dibanding anak lain seumurannya. Ibu Tuta pandai menari dan menyanyi. Dan ini, yang selalu dibanggakannya selama ini : ia bertahun-tahun, sejak SD sampai SMA selalu menjadi mayoret atau pemimpin drumband di sekolahnya. Ia adalah bintangnya, sang primadona di kelompok drumband tersebut. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang tinggi semampai disertai dengan keluwesannya berperan sebagai mayoret, menjadikan ia selalu menjadi buah bibir banyak orang kala itu. Mendengar cerita itu, Tuta jadi minder. Ia seperti berada dalam bayang-bayang ibunya yang tak mungkin bakal mampu disamainya.

Tuta masih ingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Kejadian yang membuat dirinya malu di depan para guru dan teman-temannya. Waktu itu adalah awal pembentukan grup drumband baru di sekolahnya. Tuta, yang baru kelas 3 SD dan bertubuh tidak terlalu tinggi, hanya kebagian sebagai pembawa bendera saja. Ibu Tuta marah-marah, tidak terima mengetahui hal tersebut. Ia protes kepada guru dan pelatih drumbandnya.

“Bagaimana ini, masa anak saya cuma jadi pembawa bendera saja. Apa Bapak nggak tahu ibunya ini pernah menjadi mayoret hebat !?”

“Tapi ini sudah sesuai kesepakatan, Bu. Anak ibu kan baru awal-awal ikut kegiatan ini. “

“Ah, pokoknya saya tidak terima. Anak saya harus pegang peranan penting dalam regu drumband ini !”

Ibu Tuta terus nyerocos tak berkesudahan. Para guru sampai kewalahan. Akhirnya ditemukan penyelesaian, Tuta sekarang memegang salah satu alat musik yang ada. Ibu Tuta sebenarnya tetap berkeinginan anaknya tersebut menjadi mayoret seperti dirinya dulu. Setelah lama sekali mendapat penjelasan, barulah ia menerima jalan tengah itu.

Demikianlah, Tuta sebenarnya malas ikut kegiatan drumband ini. Bukan hanya karena ia memang tidak tertarik, tetapi teman-temannya terlihat menjadi lain sejak kejadian itu. Mereka seperti selalu menggunjing dirinya di belakang. Ada yang bilang, para guru dan pelatih drumband tidak adil. Ada pula yang bisik-bisik, mereka takut pada Ibu Tuta yang galak sehingga Tuta dapat masuk ke dalam kelompok drumband ini, padahal ia tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Dan ini yang sangat menyakitkan hati Tuta, mereka selalu membanding-bandingkan dirinya dengan sang ibu. Para guru pun seperti menjaga jarak dan tak banyak berkata kepadanya sejak peristiwa itu.

Maka, alangkah senangnya hati Tuta hari ini, begitu tahu kegiatan drumband ditiadakan. Renata, teman akrabnya satu bangku, mengajaknya bermain ke rumahnya. Tuta seperti bisa melupakan semua hal yang mendongkolkan hatinya selama ini. Ternyata, orang tua Renata ramah dan baik kepadanya. Kehidupan mereka juga tampak bahagia dan santai sekali. Ah, sungguh menyenangkan tinggal di lingkungan keluarga seperti ini. Tuta betah berada di rumah Renata. Tuta dan Renata bercanda dan bermain hingga lupa waktu. Hp Tuta yang yang sedari tadi bergetar-getar di dalam tas, karena memang ia matikan deringnya, tak ia ketahui sama sekali. Tuta benar-benar tak ingat pesan ibunya tadi pagi.

Hari beranjak sore, dan Tuta segara tergeragap. Ia menjadi bingung dan wajahnya pucat pasi setelah menengok hpnya di dalam tas, begitu banyak panggilan tak terjawab dari ibunya. Juga sms-sms yang menanyakan dan mengkhawatirkan dirinya. Ini bakal menjadi malam terburuk dalam hidupnya. Sudah membayang di pikiran, murka besar dari sang ibu. Tuta takut sekali pulang ke rumah.

Tuta kemudian minta ijin pulang kepada keluarga Renata, lalu mencegat bus dengan tergesa dan perasaan kacau hingga akhirnya terpaku di mulut gang sempit menuju rumahnya ini.

Hari benar-benar telah malam. Angkringan di seberang jalan sudah mulai ramai. Sesekali orang yang mengenal Tuta, bertanya basa-basi kepadanya.

”Sudah malam kok masih pakai seragam sekolah, keluyuran kemana Ta ?”

Tuta tak peduli. Perasaannya sedang terombang-ambing, pulang ke rumah atau entah akan pergi ke mana.

***

Sementara itu, masuk jauh ke dalam gang sempit tersebut, di sebuah rumah kontrakan yang terlihat awut-awutan, seorang ibu sedang cemas. Ia menunggu anaknya yang sampai sesore itu belum juga pulang. Di gendongannya, anaknya yang lain yang masih kecil, meraung-raung tiada henti. Sementara, dari dalam rumah, keluar sang suami dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan. Tampaknya lelaki itu baru bangun tidur.

“Gimana ni mas ? Si Tuta kok belum pulang. Kutelepon juga tidak diangkat ?”

“Ah, kamu itu. Ngurus anak nggak becus. Aku capek, semalaman tidak tidur.”

“Eh, jadi kamu menyalahkan aku. Dikira mengurus anak itu gampang ??”

“Ahhh…..”

Suami isteri itu terus beradu mulut tak karuan, hingga akhirnya tersadar : hari telah menginjak malam dan anak perempuan mereka tak jua terlihat batang hidungnya.

Ya, semula Ibu Tuta ingin marah kepada anaknya itu. Kalau Tuta sampai di rumah nanti, ia sudah siap mendampratnya habis-habisan. Pihak sekolah yang dihubunginya mengatakan murid-murid dipulangkan lebih awal dan Tuta juga sudah pulang seperti anak-anak yang lain. Ibu Tuta semakin naik pitam. Ia menduga Tuta keluyuran bersama teman-teman sekolahnya. Entah ke mall atau ke warnet yang banyak bertebaran di kota ini.

Tetapi semakin mendekati malam, Tuta tak kunjung pulang, kemarahannya berubah menjadi kekhawatiran. Ia teringat cerita tetangganya tentang penculikan anak-anak di bawah umur yang sedang marak terjadi. Jangan-jangan Tuta kena pikat sindikat penculik anak dibawah umur itu. Tuta dibawa pergi, jauh sekali dari kota itu kemudian disekap di suatu tempat lalu berakhir di tempat-tempat hiburan malam seperti yang sering ia lihat di berita televisi. Ibu muda itu cemas sekali. Suaminyapun tak kalah cemas dengan dirinya.

“Sebaiknya kita lapor polisi saja, Mas ! “

“ Apa tidak lebih baik kita tanyakan dulu di rumah teman-temannya. Mungkin ia hanya main saja ?!”

“Ah, terserah kaulah, yang penting cepat kau cari dia !”

Malam itu terjadi kehebohan di perkampungan padat itu. Tuta hilang, Tuta diculik. Bapak Tuta dibantu beberapa tetangga, akhirnya mencari gadis cilik itu. Bertanya kesana kemari dan juga lapor ke kantor polisi.

Di rumah kontrakan, Ibu Tuta menangis. Ia merasa terlalu keras mendidik Tuta. Walau sebenarnya itu semua dilakukan semata-mata kasih sayangnya pada anaknya tersebut. Ia ingin kelak Tuta menjadi orang yang berhasil, tidak seperti dirinya. Namun kini ia benar-benar menyesal dan merasa bersalah kepada anak perempuannya itu.

Ibu muda itu teringat, betapa dulu dengan menggendong Tuta yang masih bayi mungil, ia tinggalkan rumah mertuanya dengan air mata bercucuran di pipi. Suaminya memegangi tubuhnya erat-erat, memintanya agar tidak minggat dari rumah. Ya, sore itu ia bertengkar hebat dengan ibu mertuanya. Kini, sore ini, airmata itu kembali berlelehan di pipi. Anak yang ia gendong dulu, pergi entah kemana.

***

Malam itu, dalam ketakutan dan kebimbangan, gadis cilik itu memutuskan berbalik arah meninggalkan gang sempit yang menuju rumahnya. Sementara tak jauh dari situ, di perempatan jalan besar, anak-anak yang seusia dengannya sedang bertarung melawan kerasnya hidup. Diantara kendaraan yang berhenti saat lampu merah, mereka memainkan kecrekan dan bernyayi ala kadarnya demi sereceh dua receh rupiah. Di sudut yang lain, tampak kawanan mereka sedang melayang terbawa mimpi mencium bau aica aibon yang membumbungkan angan mereka. Entah kemana, mungkin menuju surga.

Tuta berjalan gontai sepanjang trotoar. Ia tak sadar, betapa mungkin ia akan terdampar di perempatan jalan seperti anak-anak itu. Dunia jalanan begitu liar dan kejam. Beberapa pasang mata telah mengintainya, siap menerkamnya sewaktu-waktu. Entah apa yang akan terjadi dengan dirinya kelak, jika ketakutannya pada sang ibu, benar-benar melupakannya pada gang sempit menuju rumahnya. Padahal, sepanjang malam itu seorang ibu tiada henti menangis dan memohon kepada tuhan, agar anak perempuan yang dicintainya kembali pulang ke pangkuannya.

Yogyakarta, Februari 2010

Sabtu, 15 Mei 2010

MINTEN DAN MINAH

( dimuat di Buletin Sastra Pawon Solo Edisi 28 Tahun III /2010 )

Sudah beberapa hari ia tak kutemukan. Biasanya selalu menungguku di kafe kecil sudut jalan ini. Menikmati secangkir kopi dan beberapa makanan ringan dalam temaram lampu. Aku tak pernah peduli pada tatapan aneh para pelayan kafe atau pasangan lain. Mereka sepertinya menganggap kami pasangan yang ganjil. Tetapi peduli amat. Toh, aku tidak mengganggu dan mengusik kenyamanan mereka.

Pelarian panjangku dari cinta yang remuk redam, tak pernah kusangka sebelumnya, bakal tertambat pada perempuan itu. Aku seperti menemukan kembali gairah hidup. Mungkin karena kami memang sama-sama cocok dalam beberapa hal. Suka minum kopi pahit tanpa gula dan menghisap rokok putih merk yang sama. Dan yang lebih mengagumkanku, ia juga tahu sedikit banyak tentang sastra. Sebuah dunia yang jauh dari pergulatan hidupnya sehari-hari.

“Bapakku dulu pemain ketoprak. Simbokku seorang pesinden. Bapak dan simbok sering mengumpulkan kawan-kawannya di rumah. Banyak dari mereka yang penyair atau penulis hebat. Aku sering diajak berbincang-bincang dengan mereka.Sebenarnya ada darah seni mengalir dalam tubuhku. Bukankah pekerjaan yang kulakoni ini juga bagian dari seni juga…hehe ?!” demikian ia pernah berkata kepadaku, ketika tak sengaja kutemukan beberapa buah buku Pram dan kumpulan puisi Widji Thukul di bawah bantalnya.

Ya, mungkin aku memang sedang jatuh cinta. Sesuatu yang kupikir mustahil dapat kurasakan lagi. Sehabis berjumpa dengannya, entah mengapa banyak puisi dan cerpen bisa kutulis kembali. Sebagian kawan menganggap puisi dan cerpenku hanyalah karya beraroma cinta picisan semata. Tetapi peduli amat. Satu dua diantaranya ternyata bisa juga nampang di koran-koran Minggu.

Aku bertemu dengannya pertama kali sekitar setengah tahun yang lalu. Waktu itu aku masih magang di sebuah koran kriminal. Suatu malam, aku mengikuti operasi penggerebekan satpol PP terhadap panti pijat yang disinyalir beroperasi ganda, selain sebagai panti pijat juga tempat prostitusi terselubung. Banyak perempuan dan juga beberapa laki-laki hidung belang terjaring pada operasi itu. Mereka dikumpulkan semalaman di kantor Pol PP sembari diberikan penyuluhan.

Aku tertegun, perempuan-perempuan itu masih sangat muda. Kecantikan paras wajah dan kemolekan tubuhnya, tak kalah hebat dari artis-artis sinetron belia di televisi. Hanya peruntungan nasib mereka yang jauh berbeda. Tetapi yang membuatku makin tertegun : tak ada gurat malu, sedih ataupun kecewa pada wajah-wajah mereka. Tetap tetawa-tawa dan bersenda gurau dengan genit dan manja. Bahkan sesekali menggoda para petugas dan wartawan yang menguntitnya.

Satu dari perempuan perempuan itu, jauh lebih berumur dari yang lainnya, sangat menarik perhatianku. Kelihatannya ia semacam mucikari di panti pijat plus itu. Menatap wajahnya, aku seperti melihat kembali tahun-tahun berlalu yang sengaja kutinggal berlari. Seraut wajah, ah tetapi bukan, yang kutepis jauh-jauh dari ingatanku. Sontak aku tergeragap, ketika ia mendekatiku.

“ Punya korek api ?”

“Eh, iya. Sebentar…”

Aku masih sedikit gelagapan. Perempuan itu kemudian berdiri di sampingku sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia tampaknya berusaha akrab denganku.

“ Dari Jawa ya ?”

Kok tahu ? Mbaknya dari Jawa juga ya ?”

“ Dari jawabanmu yang medok, aku tahu kamu orang Jawa. Pasti Jogja ?”

“ Ah, benar sekali. Tetapi aku berasal dari pelosok Jogjakarta. Jauh di wilayah perbukitan sebelah barat Jogjakarta. Mbaknya Jogja juga ya ?” Kembali kutanya asalnya. Ia tidak menjawab. Perempuan itu hanya membuang pandangannya ke sisi lain ruangan. Aku tahu ia berusaha menyembunyikan asal-usulnya. Kutebak, ia berasal juga dari Jogjakarta. Tetapi dari bagian lain, mungkin dari bagian sebelah timurnya.

“Nggak takut dipenjara, Mbak ?”

“Ngapain mesti takut ? Ini hanya operasi gertak sambal biasa. Nanti juga dilepaskan begitu saja. Lagian banyak dari mereka adalah pelanggan setia panti pijatku”

“Jadi begitu, ya ?”

“Kemarin kita kurang koordinasi. Ada salah seorang anak asuhku yang servicenya kurang memuaskan mereka. Ya, jadilah mereka ngamuk kaya gini.”

Aku mulai akrab dengan perempuan itu. Banyak cerita menarik dapat kukorek dari penuturannya. Ada perasaan aneh setiap kali aku bersitatap dengannya. Ah, mengapa aku seperti mengenal baik perempuan ini. Nada bicara dan tutur katanya, sungguh amat lekat dengan yang kurindui.

Raminten, demikian nama perempuan itu. Orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan Minten atau Mami Minten. Usianya jauh sekali diatasku. Mungkin sepantaran dengan bibiku di kampung. Walau begitu, ia pandai sekali menyembunyikan umurnya. Tubuhnya tetap kencang dan padat. Penampilannya juga selalu modis dan gaya seperti anak muda zaman sekarang. Konon, ia dulu mencari ilmu awet muda pada orang pintar di tanah kelahirannya. Dia adalah pengelola panti pijat tersebut. Banyak orang mungkin menganggapnya hanyalah pelacur hina semata. Tetapi bagiku, dia adalah sosok perempuan perkasa yang mampu bertahan dan menaklukan ganasnya rimba ibukota.

Sejak peristiwa penggerebekan itu, kami menjadi lebih sering ketemu. Dia tidak pernah mengajakku ke tempat kerjanya. Takut aku kecanthol anak asuhnya yang masih muda-muda, demikian ia pernah memberi alasan dengan bercanda. Biasanya kami janjian terlebih dulu lewat SMS atau telepon langsung. Di kafe remang-remang sudut jalan ini, kami kemudian memulai petualangan nafsu kami. Bukan hanya masalah birahi, tetapi dengan perempuan paruh baya ini, aku seperti memiliki tautan lebih yang tak pernah kumiliki pada hubunganku dengan perempuan-perempuan lain sebelumnya.

Ah, aku begitu mencintainya. Tetapi dimanakah gerangan perempuan itu sekarang? Sudah berhari-hari ia tak menghubungiku. Nomor ponsel yang diberikannya padaku tak ada yang aktif. Aku benar-benar merindukannya. Mungkin aku memang sedang keblinger cinta. Setiap saat, sosok perempuan di puncak kematangan itu membuyarkan pikiran dan konsentrasiku. Wangi parfumnya yang khas, seperti bunga purba. Rambutnya yang hitam tergerai panjang. Payudaranya yang masih mengkal, terbungkus kutang merah berenda-renda. Pun ketika perlahan ia melepas g-tring tipisnya sambil berdesah ringan. Tersembulah kemudian vagina elok dengan rambut yang dirawat dan dicukur rapi itu. Nafsuku makin menggelegak. Segera kami berpacu dalam lenguhan panjang sampai batas kenikmatan yang tak terhingga. Perempuan itu benar-benar matang, berbeda sekali dengan Minah….

Mendadak ponselku berdering membuyarkan lamunan. Dito, karibku di kampung menelepon.

“Syam, sejak kautinggal pergi Minah seperti orang linglung. Ia minggat dari rumah. “

“Apa? Minggat ?!”

Minah. Aku merasa bersalah kepada gadis itu.



***


Gerimis kecil turun dari langit. Aku masih terpaku sendirian di dalam kafe. Minten tetap tak ada tanda-tanda bakal kesini. Sementara kabar perginya Minah dari desa membuat pikiranku makin tak karuan. Minah atau nama lengkapnya Siti Aminah, gadis manis berkerudung yang bersahaja itu pernah mengisi relung hatiku paling dalam hingga bertahun-tahun. Mungkin juga sampai saat ini.

Di senja yang gerimis seperti ini pula, dua tahun silam aku nekat pergi meninggalkan kampung halaman membawa hati yang porak-poranda karena cinta yang tak pernah sampai. Bukan karena perempuan yang kucintai menolak cintaku, tetapi orang-orang di sekelilingku yang tak pernah menyetujui hubungan kami. Aku memutuskan pergi karena tidak ingin melukai hati banyak orang yang sudah banyak kukecewakan selama ini. Biarlah rasa sakit ini kubawa berlari, hingga nanti mungkin bisa menghilang dengan sendirinya ditelan waktu.

Aku tak pernah tahu, mengapa keluargaku menolak Minah. Padahal semua orang juga tahu dia adalah gadis yang sangat baik. Dia tak pernah mau kuajak macam-macam saat berpacaran. Hubungan kami kebanyakan hanya lewat perantaraan Dito, sahabatku yang masih ada pertalian keluarga dengannya. Juga lewat telepon atau SMS. Itupun setelah kupaksa berkali-kali ia baru mau menerima hadiah handphone pada hari ulang tahunnya ke-16. Usia kami memang terpaut lumayan jauh. Aku sudah bertahun-tahun kuliah sedang dia masih kelas dua SMA. Tetapi itu sebenarnya bukan menjadi soal. Aku dan Minah rela dan sabar menunggu.

Minah hanya tinggal bersama neneknya di sebuah rumah sederhana pinggiran desa. Aku tak pernah tahu dimana kedua orang tuanya. Menurut Dito, bapak dan ibu Minah merantau ke Sumatera. Sekarang sudah menetap dan hidup mapan disana. Tetapi banyak orang bilang, orang tua Minah sedang menjalani hukuman di Nusakambangan. Konon, semenjak kakek neneknya dulu, keluarga Minah terlibat organisasi yang dilarang pemerintah. Oleh sebab itu, mereka dikucilkan warga di pinggiran desa.

Aku masih ingat kemarahan bapak, sewaktu mengetahui hubunganku dengan Minah pertama kali dulu.

“ Syam, mau jadi apa Kau ini ? Hidupmu hanya berkutat pada sastra yang tak jelas manfaatnya itu. Kuliah juga nggak lulus-lulus. Sekarang malah menjalin hubungan dengan perempuan yang tak jelas asal-usulnya ?”

“Memangnya kenapa Pak? Setahuku Minah itu gadis baik, tidak pernah berbuat yang macam-macam. Taat beribadah dan rajin ke masjid…”

“ Apa katamu ? Rajin ke masjid ? Kerudung dan lain-lainya itu hanya kedok semata. Semenjak dari dulu, keluarganya tidak bertuhan. Kafir. Karena itu mereka dikucilkan warga di pinggiran desa.”

Aku tak menghiraukan omongan bapak dan tetap menjalin hubungan dengan Minah. Aku tak pernah bertegur sapa lagi dengan bapak semenjak itu. Kepergianku ke Jakarta pun tak diketahui olehnya. Juga sanak keluargaku yang lain. Aku merasa bersalah kepada mereka.

Gerimis di luar mulai berhenti, malam ini tak jadi turun hujan. Suasana sepi dan lembab. Entah mengapa aku merasa asing. Aku rindu kampung halamanku yang tenang di kaki perbukitan Menoreh. Aku rindu bapak, ibu dan semua keluarga yang lama kutinggalkan. Aku kembali teringat Minah yang kusayangi. Nama dan nomornya masih tertera manis di memori ponselku. Nomor yang kuhadiahkan bersama ponselnya saat ia ulang tahun dulu. Nomor itu tidak kuhapus, namun tak pernah kusentuh sama sekali. Kini, aku seperti ingin memencet kembali nomor ini. Namun aku bimbang dan ragu. Minah, dimanakah engkau kini ?

Mendadak, wajah Minten kembali hadir. Aku harus menemui perempuan itu. Kurapatkan jaket kemudian bergegas keluar dari kafe ini. Segera kustater sepeda motorku menuju panti pijat miliknya.



***


Tidak seperti malam-malam biasanya yang lumayan riuh, panti pijat ini sekarang terlihat sepi. Tak nampak perempuan-perempuan muda yang tertawa cekikikan genit diantara gurau dan serapah beberapa laki-laki. Aku terus berjalan memasuki pintu demi pintu. Seorang perempuan muda, salah satu anak asuh Minten yang masih tersisa, menghampiriku.

“Cari Mami ya Mas ?”

“Ya, dimana dia ? Kok sepi sekali ?”

“Ikut saya Mas !”

Aku mengikuti langkah perempuan muda ini. Ia mengantarku ke sebuah kamar yang lumayan besar dibanding kamar-kamar yang lain.

“ Ini kamar Mami, Mas. Beberapa hari yang lalu ia uring-uringan dan menyuruh pergi kami semua. Hanya aku yang masih disini. Katanya ia ingin menutup panti pijat ini. Mami ingin bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Mungkin ini ada hubungannya dengan berita dari kampung, beberapa hari yang lalu. Anak semata wayangnya yang selama ini ia biayai sedang kena masalah.”

“Jadi Minten punya anak ?”

“Benar, Mas. Mami selalu rutin mengirim uang ke kampung. Itu foto anaknya, ketika masih kecil dulu.”

Perlahan, aku mendekati foto yang dibingkai pigura kecil itu. Aku seperti mengenal foto ini. Persis sekali foto Minah kecil yang selalu disimpan Minah dalam dompetnya. Dadaku makin berdegup kencang, ketika memandang foto pada pigura lain disampingnya. Foto sepasang kekasih yang terlihat begitu mesra. Remaja perempuan yang mirip Minah. Aku yakin dia adalah Minten di kala muda. Sedang laki-laki disampingnya, adalah sosok yang sangat kukenal baik. Itu adalah sosok muda bapakku. Kakiku lemas, aku seperti tak menginjak bumi.
Mendadak dua pesan masuk dalam ponselku. Tanganku memencet tombol ponsel dengan gemetar.

“Aku pulang kampung, Syam. Sementara, aku titipkan panti padamu. Minten”

“Mz syamsul, ak tahu kamu di Jkt. Tolong jemput ak di Senen. Minah.”

Aku pusing. Mungkin sebentar lagi pingsan…


Yogyakarta, Januari 2010

Kamis, 14 Januari 2010

IBU INGIN MENIKAH LAGI

( dimuat di Minggu Pagi Edisi I Januari 2010 )

Aku termenung di beranda. Tengah malam lewat. Ibu-ibu tetangga yang rewang di dapur sudah pulang satu per satu. Isteri dan kedua anakku mungkin juga sudah terlelap di kamar, setelah seharian tersandera di dalam bus. Ibu membuatkanku secangkir kopi manis, kemudian segera masuk pula ke dalam kamarnya. Aku teringat telepon Wawan, adikku yang paling bungsu, beberapa malam yang lalu. Telepon yang membawaku pulang ke rumah hari ini.

“Mas, Ibu mau menikah lagi .“

“Apa ? Menikah ? Jangan ngawur kau Wan ?!”

“Benar Mas, aku nggak sedang main-main. Semua orang kampung juga sudah tahu. Ibu selama ini menjalin hubungan dengan Pak Lukito, anak buah Bapak dulu. Aku jadi serba salah sendiri. Sebaiknya kamu pulang dulu. Kamu kan yang paling dekat dengan Ibu”

“Sudah bilang Mas Dantyo dan Ranti ?”

“Belum Mas, aku nggak sanggup ngomong. Sebaiknya kamu saja yang memberitahu !? “

Gila ! Gerangan apa yang membuat Ibu mempunyai pikiran untuk menikah lagi. Sungguh sesuatu yang tak bisa kupahami. Apa kata orang-orang nanti, sudah tua kok mempunyai keinginan yang neko-neko, seperti selebritis di tivi saja. Apa Ibu tak berpikir, bahwa anak-anak dan cucu-cucunya juga akan merasa malu.

“Aku sudah berpikir masak-masak tentang hal ini, Le. Ibu sudah lama menjanda. Tidak ada salahnya to jika menikah lagi. Umur Ibu juga belum tua-tua amat. Lagi pula nanti kalian bisa tenang mengejar karier karena aku sudah ada yang menjaga dan menemani .“

Demikian jawaban Ibu ketika kutanya lewat telepon esok harinya. Dari kalimat dan suaranya, entah mengapa aku merasa Ibu menjadi genit sekarang. Rasa sebal dan jijik mengaliri perasaanku. Semudah itukah Ibu melupakan Bapak ? Memang sudah empat tahun lebih Bapak meninggal, tetapi waktu yang cuma empat tahun tersebut tidak sebanding dengan perjalanan panjang Ibu dan Bapak mengarungi bahtera rumah tangga selama puluhan tahun hingga anak-anaknya besar dan mandiri seperti sekarang. Begitu cepat dan mudahkah manis getirnya kenangan itu terhapus dari ingatan Ibu. Tak kusangka kesetiaan Ibu begitu mudah luntur termakan waktu.

Aku benar-benar tak habis pikir. Ibu kukenal selama ini sebagai sosok yang bersahaja dan tak banyak tingkah, walau ia isteri seorang pejabat pemerintah. Dulu, Bapak adalah pegawai pemerintah daerah yang cukup terpandang di daerahku. Bapak sangat dihormati di lingkungan sekitar karena posisinya itu. Bapak juga biasa turun ke bawah dan berbaur akrab dengan warga masyarakat lain. Hal tersebut tak bisa lepas dari masa kecil beliau yang memang dibesarkan dalam keluarga yang biasa-biasa saja. Karena kerja keras dan nasib baiklah, Bapak bisa merintis karier di pemerintahan daerah. Dan itu semua tak bisa lepas dari dukungan seorang perempuan yang begitu setia mendampinginya. Ibuku.

Ibu dinikahi Bapak dalam usia yang masih sangat muda, mungkin sekitar tujuh belasan tahun. Sedang usia Bapak kala itu dua puluh lima tahunan. Sebuah jarak usia yang lumayan jauh. Tetapi itu bukanlah menjadi soal. Kehidupan rumah tangga mereka berjalan dengan tenang , tanpa gejolak yang berarti. Ibu dan Bapak memainkan perannya dengan baik. Saling berbagi dan mengisi satu sama lain. Seolah bisa saling menutup celah bila ada kekurangan diantara keduanya. Salah satunya adalah sifat Bapak yang keras dan tanpa kompromi berbanding terbalik dengan sifat Ibu yang lembut dan lebih suka mengalah.

Menurut cerita yang kudengar, dulu Ibu rela menjual tanah warisan orang tuanya untuk biaya kuliah Bapak. Mendiang kakek menentang keras kemauan Ibu itu. Tak elok menjual tanah pemberian orang tua, sebab itu merupakan pusaka leluhur yang diberikan dan bisa diolah sampai anak cucu nanti. Apalagi hanya untuk mengejar pendidikan yang hasilnya juga tak bisa diketahui secara pasti. Tetapi tekad Ibu sudah bulat. Tanah itu akhirnya dijual dan Bapak bisa kuliah kemudian diterima kerja sebagai pegawai pemerintah daerah.

Ibu memang tetap hanya sebagai isteri, penunggu rumah semata. Tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia. Selain karier Bapak lumayan melejit, Bapak juga bisa membeli beberapa bidang tanah sebagai ganti tanah warisan yang terjual dulu. Namun yang lebih membanggakan dari itu semua adalah keberhasilan mereka mengantarkan anak-anaknya memperoleh pendidikan yang layak sampai kemudian berkeluarga dan mandiri dengan pekerjaannya masing-masing seperti sekarang ini.

Tak mengherankan pula bila Ibu dan Bapak kemudian dijadikan panutan sebagai pasangan yang harmonis. Sebuah piagam keluarga teladan tingkat nasional dari salah satu instansi pemerintah menghiasi almari ruang tamu sebagai salah satu bukti dari kesuksesan rumah tangga mereka. Sampai Bapak pensiun kemudian terserang stroke, Ibu tetap setia di samping Bapak. Merawatnya dari hari ke hari dengan penuh kasih sayang. Ibu pulalah yang mendampingi dan menuntun Bapak di saat-saat terakhir menjelang akhir hayatnya.

Maka betapa terkejutnya diriku mengetahui Ibu bersemangat untuk menikah lagi. Apalagi dengan Pak Lukito, orang yang pernah begitu dekat dengan Bapak. Aku tak tahu, ada hubungan kerja apa antara Bapak dan Pak Lukito waktu itu. Yang jelas keduanya pernah sangat akrab. Terkadang Pak Lukito seperti bawahan Bapak yang mau saja disuruh ini itu. Di kali lain, Bapak dan Pak Lukito terlihat seperti sahabat atau rekan kerja yang begitu kental. Keduanya sering terlihat tertawa-tawa dan bercanda bersama. Tak terkecuali, Ibu selalu ada diantara mereka. Begitulah, Pak Lukito sepertinya adalah orang kepercayaan Bapak. Selebihnya tak ada yang kuketahui tentang lelaki itu, selain hidupnya yang terus saja melajang.

Dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya, saudara-saudaraku yang lain juga tidak setuju dengan keinginan Ibu itu. Mas Dantyo, kakakku tertua, adalah yang paling lantang bersuara. Maklumlah, ia seorang tentara yang kini sedang bertugas di luar pulau.

“Aku tidak akan pulang kalau hanya melihat Ibu begitu. Bahkan takkan pernah lagi kuinjakkan kakiku di rumah bila hal itu benar-benar terjadi. Tolong katakan itu pada Ibu !” suara Mas Dantyo berdenging keras dari gagang telepon.

“Sejak ditinggal Bapak, Ibu menjadi kesepian. Sebagai anak kesayangannya, harusnya Kamu mengerti dan berusaha menjaganya, Mas! “ giliran Ranti, adikku perempuan satu-satunya, angkat bicara.

Aku jadi kesal, sepertinya semua saudaraku melemparkan tanggungjawab kepadaku. Mungkin memang benar, aku adalah anak yang paling dekat dengan Ibu. Tetapi kalau disebut sebagai anak kesayangan, sebenarnya terlalu berlebihan. Ibu dan juga Bapak sangatlah adil dalam membagi kasih sayang. Tidak pernah membeda-bedakan anaknya satu sama lain. Karena sifatku yang terbuka, cenderung santai dan lebih suka mengalah saja yang membuatku seperti mendapat tempat khusus di hati Ibu.

Tetapi omongan Ranti tentang Ibu yang kesepian itu, setelah lama kupikir-pikir, ada benarnya juga. Betapa tidak, sepeninggal Bapak, rumah sebesar itu hanya ditinggali Ibu seorang diri. Pasti banyak hal berkecamuk di hati Ibu, setelah bertahun-tahun di rumah tersebut ia bahu membahu bersama Bapak dalam tiap jengkal peristiwa yang terjadi. Ibu memang tidak mau ikut salah satu anaknya sejak dulu. Padahal aku sendiri sudah memintanya berkali-kali, seperti keinginan anak-anakku yang begitu mencintai neneknya. Mas Dantyo pun melakukan hal serupa, meski ia sering berpindah-pindah tempat karena tugas dari kesatuannya. Begitu pula Ranti, yang telah menetap dan tinggal mapan bersama suaminya di Jakarta, seperti diriku. Hal yang sama juga pernah ditawarkan Wawan, yang masih tinggal dalam lingkup satu daerah dengan Ibu. Tetapi Ibu tetap tak bergeming. Tak mau merepotkan anak-anak, begitu ia selalu memberikan alasan. Jadi mau bagaimana lagi ?

Setelah kuberikan bermacam-macam pengertian, Ibu tak surut langkah pada keinginannya, akhirnya aku mengalah juga. Terserah apa kemauan Ibu, asal Ibu bahagia. Mas Dantyo dan Ranti tetap tak mau ambil peduli. Hanya Wawan yang sedikit melunak, dengan syarat pernikahan itu dilaksanakan sederhana saja, tanpa seremonial yang mewah. Hanya mengundang penghulu dan warga sekitar sebagai saksi. Mungkin ditambah sedikit pengajian nantinya.

Hari pernikahan telah ditentukan. Aku mengajak isteri dan kedua anakku pulang. Aku melihat binar-binar kebahagiaan di mata Ibu. Wajah Ibu terlihat lebih muda dan cantik. Ia duduk dengan anggun disamping Pak Lukito, mengenakan kebaya putih yang dijahitnya sendiri. Aku merasakan semangat baru yang begitu menggelora pada diri Ibu. Yah, aku melihat gairah itu pada diri Ibu. Gairah hidup yang lama redup sepeninggal Bapak. Entah mengapa aku merasa bahagia sekali hari ini. Terasa tangan lembut Ibu mengusap rambutku, saat aku menghampirinya. Mendadak, aku tergeragap….

“Sudah hampir pagi, San. Masuklah, tidak baik tidur di luar rumah. Istirahat yang cukup, besok masih banyak acara. “ .

Ibu membangunkanku sembari merapatkan selimut ke tubuhku. Samar, aku merasa menjadi anak kecil kembali.

***

Hari begitu cerah. Matahari mulai naik sepenggalan. Burung-burung prenjak berkicau riang, berloncatan dari satu dahan ke dahan lainnya. Bapak penghulu pernikahan dari KUA kecamatan sudah datang beberapa saat yang lalu. Begitu pula dengan warga sekitar, mulai meramaikan suasana dengan obrolan riuh sana-sini . Akad nikah akan dilaksanakan tepat jam sembilan pagi.

Waktu terus bergulir. Jam sembilan lewat, mempelai laki-laki belum juga datang. Semua masih menunggu. Di dalam kamar Ibu kelihatan resah. Aku dan Wawan pun mulai was-was. Pak Lukito tidak dapat dihubungi lewat ponselnya. Semua nomornya tidak ada yang aktif. Aku keluar berusaha memberikan penjelasan sebisaku kepada Bapak Penghulu dan para tamu.

Tiba-tiba Pak Kadus mendatangiku kemudian menarikku ke pojok ruangan.

“ Ada apa Pak ? “

“ Tenanglah dulu nak Hasan. Ada berita kurang bagus. Tadi ada warga yang lapor, Pak Lukito tidak bisa datang kesini. Sekarang ia ada di tahanan kepolisian. Menurut kabar ia terlibat perkara besar di pusat kota.”

Aku bingung, bagaimana harus memberitahu Ibu. Baru kuketahui kemudian, Pak Lukito telah lama berurusan dengan pihak berwajib. Ia termasuk dalam jaringan orang-orang besar yang sedang kena perkara di kota. Wajahnya selintas terlihat di koran-koran. Pak Lukito adalah makelar kasus yang melibatkan orang-orang penting di wilayah ini.

Perlahan-lahan aku berusaha menjelaskan masalah ini kepada Ibu. Ibu tampak tidak berekspresi. Matanya menerawang kosong, tangannya sedikit gemetar. Ia terduduk begitu lama, tentu banyak hal bergolak di dalam batinnya. Aku hanya bisa diam.

Hari yang cerah, tetapi aku merasa mendung tebal mulai menggelayut di keluarga kami.

***

Aku memutuskan memperpanjang masa cuti . Isteri dan anak-anakku sudah terlebih dulu balik ke Jakarta. Kondisi Ibu menjadi labil sejak peristiwa itu. Ia sering termenung lama, kemudian tanpa sebab yang jelas, tersenyum-senyum sendirian. Aku menjadi khawatir .

Pagi itu, Ibu mandi dengan khusyu kemudian keluar ke halaman depan. Aku terkesima melihat sosok perempuan yang begitu menawan.Rambutnya yang panjang , tampak elok tersapu sinar matahari pagi. Sementara jarik lurik melilit tubuhnya yang masih basah. Sungguh ! Aku seperti melihat masa lalu. Sosok perempuan anggun, yang entah pernah kutemui dimana.

Perempuan itu masih melangkah di seputar halaman, lalu berhenti sambil tersenyum. Senyum yang makin lama kurasakan seperti tawa berkepanjangan. Perlahan, ia gerai rambutnya yang basah. Sontak aku terkejut, ketika ia mulai melepas selembar kain yang menutup tubuhnya sambil terkikik-kikik.

Aku buru-buru menghambur mendekatinya.

“Ibuuu…!?”

Kp, 26 November 2009