Minggu, 08 Agustus 2010

TUTA TAKUT PULANG KE RUMAH

( dimuat di Harian Global Medan, 7 Agustus 2010 )

Tuta takut pulang ke rumah. Gadis cilik itu terpaku di mulut gang sempit menuju rumahnya. Hari merambat petang, lampu-lampu kota mulai menyala. Di jalan besar, terlihat orang-orang bergegas dengan kendaraannya. Ada yang baru pulang kerja. Ada pula yang mulai keluar rumah, menikmati suasana malam lebih awal. Ia sudah membayangkan ibunya akan marah besar kepadanya. Tanpa memberitahu terlebih dahulu, ia ngelayap sampai sesore ini.

Hari ini, tak seperti biasanya, sekolah Tuta pulang lebih awal. Bapak dan ibu guru mengadakan rapat membahas ulangan umum yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Menurut jadwal, hari ini sebenarnya juga ada kegiatan ekstrakurikuler drumband yang diikutinya. Karena rapat tersebut, para guru memutuskan kegiatan drumband ditiadakan. Tuta senang sekali. Ia bisa terbebas dari banyak mata pelajaran yang membosankan. Dan tentu saja, kegiatan drumband yang sungguh-sungguh terpaksa ia ikuti, hanya karena memenuhi keinginan sang ibu semata.

Ia teringat kata-kata ibunya tadi pagi, “Tuta, hari ini kamu naik bus saja. Ibu tak bisa mengantarmu. Motornya sedang dipakai bapakmu jaga malam .”

Tuta seperti tak menghiraukan omongan ibunya. Ia asyik membenahi dandanannya di depan cermin. Setiap pagi, ibunya selalu mengumbar kata-kata yang membuat gaduh suasana. Apalagi jika bapaknya jaga malam dan pulangnya agak siang seperti sekarang. Ibunya sering marah-marah yang tak jelas juntrungannya.

Redondo, adik lelakinya yang baru berumur tiga tahun, tiba-tiba merengek minta sesuatu. Suasana bertambah gaduh. Tuta ingin sekali menyumpal telinganya dan tak hirau dengan itu semua.

”Hari ini, kamu kan latihan drumband. Nanti langsung saja, nggak usah pulang dulu. Biar lebih irit.”

Ibunya kemudian menjejalkan beberapa lembar uang ribuan ke dalam saku bajunya. Tuta tak bergeming. “Hpnya jangan dimatikan. Nanti sewaktu-waktu, Ibu bisa ngecek kamu. “

Tuta kemudian ngeloyor pergi, tanpa menyalami tangan ibunya terlebih dahulu. Sang ibu mengumpat, “Dasar, anak badung !”

Begitulah, Tuta memang sebal sekali dengan ibunya. Ia merasa setiap hari selalu menjadi sasaran kemarahan ibunya. Apa saja yang dilakukannya, selalu tidak ada yang benar di mata sang ibu. Hampir dipastikan, setiap hari ibu dan bapaknya selalu bertengkar hebat. Entah meributkan apa, Tuta tak benar-benar tahu. Biasanya, hal-hal sepele pun bisa menjadi sumber pertengkaran mereka. Dan pada akhirnya, ialah yang menjadi bulan-bulanan kemarahan mereka itu. Tuta menjadi tidak betah tinggal di rumah.

Apalagi setelah Redondo lahir. Ia merasa diabaikan oleh kedua orang tuanya. Mereka seperti lebih menyayangi adiknya itu. Memang, dulu Bapak Tuta berharap anak pertamanya adalah seorang laki-laki. Bapak Tuta sangat menggilai sepakbola. Di tempat kerjanya, kalau ada pertandingan sepakbola antar karyawan atau dengan perusaahaan lain, ia selalu menjadi bintangnya. Ia berharap hobinya itu menurun pula pada anaknya nanti, yang tentu saja harus berkelamin laki-laki. Begitu tahu, anak pertamanya adalah perempuan, ia agak kecewa. Namun begitu, ia tetap menamai anaknya dengan mengacu pada nama bintang sepakbola asal Argentina yang menjadi idolanya, Ristuta Putri Maheswari. Pun ketika anak keduanya terlahir laki-laki, ia beri nama Redondo Putra Maheswara.

Orang tua Tuta belum lama tinggal di perkampungan itu. Sebelumnya, mereka mengontrak rumah yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah yang mereka tempati sekarang. Memang demikianlah, hampir setiap tahun, kehidupan keluarga itu selalu berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Sebenarnya, kalau mau, kakek dan nenek Tuta ( orang tua bapaknya Tuta ) sering meminta mereka untuk tinggal bersama di rumahnya yang cukup besar di pinggiran kota. Tetapi ibu Tuta selalu menolak mentah-mentah. Kelihatannya, dari dulu memang tidak ada kecocokan antara ibu Tuta dengan mertuanya, khususnya dengan sang ibu mertua.

Keluarga orang tua Tuta dapat digolongkan sebagai keluarga muda. Usia bapak dan ibu Tuta masih dalam kisaran tigapuluh tahunan. Maka, tidak mengherankan jika sering terjadi pergolakan di dalamnya. Umum terlihat di beberapa keluarga muda lainnya yang selalu terbelit masalah-masalah pelik di masa awal kehidupan rumah tangga seperti keuangan, anak-anak yang sulit diatur dan semacamnya. Bapak Tuta bekerja sebagai satpam toko yang gajinya tidak seberapa. Sedang ibu Tuta, setelah menikah, mengundurkan diri dari pekerjaannya semula. Ia sekarang hanyalah ibu rumah tangga biasa yang sesekali ikut membantu tetangganya yang membuka usaha katering.

Kalau dilihat dari luar, orang tua Tuta adalah pasangan yang ideal. Yang laki-laki, orangnya tinggi, gagah dan juga tampan. Serasi sekali dengan yang perempuan, badannya tinggi semampai, cantik dan berkulit kuning langsat pula. Sangat cantik sekali. Kadang Tuta heran dengan dirinya. Mengapa ia berbeda sekali dengan kedua orang tuanya. Tuta merasa dirinya tidak cantik. Badannya gendut dan kulitnya kehitam-hitaman. Sempat terlintas dalam pikirannya bahwa ia bukan anak kandung ibunya. Ia hanyalah anak pungut atau anak terlantar yang diangkat anak oleh bapak dan ibunya. Tak mengherankan, setiap hari ia selalu dimaki-maki ibunya. Membayangkan hal itu, air mata Tuta menetes. Ia sering menangis sesenggukan seorang diri di dalam kamar.

Tuta juga sering mendengar cerita orang-orang di sekitarnya tentang masa lalu orang tuanya. Dari berbagai cerita itu, ia berkesimpulan bahwa bapaknya sebenarnya berasal dari keluarga yang berada, sedang ibunya adalah wanita aktif dan pintar yang dulu sangat dikagumi orang-orang di sekelilingnya. Hanya nasib baiklah yang tidak berpihak kepada keduanya hingga membina rumah tangga dalam kehidupan yang kurang berkecukupan seperti sekarang ini.

Beginilah cerita yang sering didengar Tuta itu. Bapak dan ibunya dulu bertemu dan saling jatuh cinta ketika keduanya bekerja dalam satu atap di sebuah supermarket besar di kota ini. Bapaknya adalah satpam supermarket itu, seperti halnya sekarang. Sedang ibunya adalah seorang SPG (Sales Promotion Girl) yang ditempatkan disana. Mereka kemudian menjalin hubungan cinta, walau sebenarnya orang tua dari pihak bapaknya Tuta kurang merestuinya. Ya, keluarga bapak Tuta adalah keluarga yang lumayan berada. Saudara-saudara bapak Tuta sudah menjadi orang penting semua. Bapak Tuta seoranglah yang tidak seberuntung mereka. Walaupun kuliah lumayan tinggi, tetapi hanya jadi satpam toko biasa. Orang tua bapaknya Tuta sebenarnya berharap anaknya itu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan nantinya memperoleh isteri yang sepadan pula dengan dirinya. Tetapi begitulah, keinginan orang tua tidak selalu selaras dengan kemauan anak. Akhirnya, pernikahan itu berlangsung juga dan dengan terpaksa mereka merestuinya.

Kalau mau jujur, demikian bisik orang-orang yang sering didengar Tuta, bapaknya Tuta bisa memperoleh isteri yang cantik seperti ibunya Tuta sesungguhnya adalah sebuah karunia yang luar biasa. Walau berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, ibu Tuta dulunya adalah anak yang pintar dan menjadi bintang sekolah. Selain pintar dalam berbagai mata pelajaran, ia juga mempunyai banyak kelebihan dibanding anak lain seumurannya. Ibu Tuta pandai menari dan menyanyi. Dan ini, yang selalu dibanggakannya selama ini : ia bertahun-tahun, sejak SD sampai SMA selalu menjadi mayoret atau pemimpin drumband di sekolahnya. Ia adalah bintangnya, sang primadona di kelompok drumband tersebut. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang tinggi semampai disertai dengan keluwesannya berperan sebagai mayoret, menjadikan ia selalu menjadi buah bibir banyak orang kala itu. Mendengar cerita itu, Tuta jadi minder. Ia seperti berada dalam bayang-bayang ibunya yang tak mungkin bakal mampu disamainya.

Tuta masih ingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Kejadian yang membuat dirinya malu di depan para guru dan teman-temannya. Waktu itu adalah awal pembentukan grup drumband baru di sekolahnya. Tuta, yang baru kelas 3 SD dan bertubuh tidak terlalu tinggi, hanya kebagian sebagai pembawa bendera saja. Ibu Tuta marah-marah, tidak terima mengetahui hal tersebut. Ia protes kepada guru dan pelatih drumbandnya.

“Bagaimana ini, masa anak saya cuma jadi pembawa bendera saja. Apa Bapak nggak tahu ibunya ini pernah menjadi mayoret hebat !?”

“Tapi ini sudah sesuai kesepakatan, Bu. Anak ibu kan baru awal-awal ikut kegiatan ini. “

“Ah, pokoknya saya tidak terima. Anak saya harus pegang peranan penting dalam regu drumband ini !”

Ibu Tuta terus nyerocos tak berkesudahan. Para guru sampai kewalahan. Akhirnya ditemukan penyelesaian, Tuta sekarang memegang salah satu alat musik yang ada. Ibu Tuta sebenarnya tetap berkeinginan anaknya tersebut menjadi mayoret seperti dirinya dulu. Setelah lama sekali mendapat penjelasan, barulah ia menerima jalan tengah itu.

Demikianlah, Tuta sebenarnya malas ikut kegiatan drumband ini. Bukan hanya karena ia memang tidak tertarik, tetapi teman-temannya terlihat menjadi lain sejak kejadian itu. Mereka seperti selalu menggunjing dirinya di belakang. Ada yang bilang, para guru dan pelatih drumband tidak adil. Ada pula yang bisik-bisik, mereka takut pada Ibu Tuta yang galak sehingga Tuta dapat masuk ke dalam kelompok drumband ini, padahal ia tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Dan ini yang sangat menyakitkan hati Tuta, mereka selalu membanding-bandingkan dirinya dengan sang ibu. Para guru pun seperti menjaga jarak dan tak banyak berkata kepadanya sejak peristiwa itu.

Maka, alangkah senangnya hati Tuta hari ini, begitu tahu kegiatan drumband ditiadakan. Renata, teman akrabnya satu bangku, mengajaknya bermain ke rumahnya. Tuta seperti bisa melupakan semua hal yang mendongkolkan hatinya selama ini. Ternyata, orang tua Renata ramah dan baik kepadanya. Kehidupan mereka juga tampak bahagia dan santai sekali. Ah, sungguh menyenangkan tinggal di lingkungan keluarga seperti ini. Tuta betah berada di rumah Renata. Tuta dan Renata bercanda dan bermain hingga lupa waktu. Hp Tuta yang yang sedari tadi bergetar-getar di dalam tas, karena memang ia matikan deringnya, tak ia ketahui sama sekali. Tuta benar-benar tak ingat pesan ibunya tadi pagi.

Hari beranjak sore, dan Tuta segara tergeragap. Ia menjadi bingung dan wajahnya pucat pasi setelah menengok hpnya di dalam tas, begitu banyak panggilan tak terjawab dari ibunya. Juga sms-sms yang menanyakan dan mengkhawatirkan dirinya. Ini bakal menjadi malam terburuk dalam hidupnya. Sudah membayang di pikiran, murka besar dari sang ibu. Tuta takut sekali pulang ke rumah.

Tuta kemudian minta ijin pulang kepada keluarga Renata, lalu mencegat bus dengan tergesa dan perasaan kacau hingga akhirnya terpaku di mulut gang sempit menuju rumahnya ini.

Hari benar-benar telah malam. Angkringan di seberang jalan sudah mulai ramai. Sesekali orang yang mengenal Tuta, bertanya basa-basi kepadanya.

”Sudah malam kok masih pakai seragam sekolah, keluyuran kemana Ta ?”

Tuta tak peduli. Perasaannya sedang terombang-ambing, pulang ke rumah atau entah akan pergi ke mana.

***

Sementara itu, masuk jauh ke dalam gang sempit tersebut, di sebuah rumah kontrakan yang terlihat awut-awutan, seorang ibu sedang cemas. Ia menunggu anaknya yang sampai sesore itu belum juga pulang. Di gendongannya, anaknya yang lain yang masih kecil, meraung-raung tiada henti. Sementara, dari dalam rumah, keluar sang suami dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan. Tampaknya lelaki itu baru bangun tidur.

“Gimana ni mas ? Si Tuta kok belum pulang. Kutelepon juga tidak diangkat ?”

“Ah, kamu itu. Ngurus anak nggak becus. Aku capek, semalaman tidak tidur.”

“Eh, jadi kamu menyalahkan aku. Dikira mengurus anak itu gampang ??”

“Ahhh…..”

Suami isteri itu terus beradu mulut tak karuan, hingga akhirnya tersadar : hari telah menginjak malam dan anak perempuan mereka tak jua terlihat batang hidungnya.

Ya, semula Ibu Tuta ingin marah kepada anaknya itu. Kalau Tuta sampai di rumah nanti, ia sudah siap mendampratnya habis-habisan. Pihak sekolah yang dihubunginya mengatakan murid-murid dipulangkan lebih awal dan Tuta juga sudah pulang seperti anak-anak yang lain. Ibu Tuta semakin naik pitam. Ia menduga Tuta keluyuran bersama teman-teman sekolahnya. Entah ke mall atau ke warnet yang banyak bertebaran di kota ini.

Tetapi semakin mendekati malam, Tuta tak kunjung pulang, kemarahannya berubah menjadi kekhawatiran. Ia teringat cerita tetangganya tentang penculikan anak-anak di bawah umur yang sedang marak terjadi. Jangan-jangan Tuta kena pikat sindikat penculik anak dibawah umur itu. Tuta dibawa pergi, jauh sekali dari kota itu kemudian disekap di suatu tempat lalu berakhir di tempat-tempat hiburan malam seperti yang sering ia lihat di berita televisi. Ibu muda itu cemas sekali. Suaminyapun tak kalah cemas dengan dirinya.

“Sebaiknya kita lapor polisi saja, Mas ! “

“ Apa tidak lebih baik kita tanyakan dulu di rumah teman-temannya. Mungkin ia hanya main saja ?!”

“Ah, terserah kaulah, yang penting cepat kau cari dia !”

Malam itu terjadi kehebohan di perkampungan padat itu. Tuta hilang, Tuta diculik. Bapak Tuta dibantu beberapa tetangga, akhirnya mencari gadis cilik itu. Bertanya kesana kemari dan juga lapor ke kantor polisi.

Di rumah kontrakan, Ibu Tuta menangis. Ia merasa terlalu keras mendidik Tuta. Walau sebenarnya itu semua dilakukan semata-mata kasih sayangnya pada anaknya tersebut. Ia ingin kelak Tuta menjadi orang yang berhasil, tidak seperti dirinya. Namun kini ia benar-benar menyesal dan merasa bersalah kepada anak perempuannya itu.

Ibu muda itu teringat, betapa dulu dengan menggendong Tuta yang masih bayi mungil, ia tinggalkan rumah mertuanya dengan air mata bercucuran di pipi. Suaminya memegangi tubuhnya erat-erat, memintanya agar tidak minggat dari rumah. Ya, sore itu ia bertengkar hebat dengan ibu mertuanya. Kini, sore ini, airmata itu kembali berlelehan di pipi. Anak yang ia gendong dulu, pergi entah kemana.

***

Malam itu, dalam ketakutan dan kebimbangan, gadis cilik itu memutuskan berbalik arah meninggalkan gang sempit yang menuju rumahnya. Sementara tak jauh dari situ, di perempatan jalan besar, anak-anak yang seusia dengannya sedang bertarung melawan kerasnya hidup. Diantara kendaraan yang berhenti saat lampu merah, mereka memainkan kecrekan dan bernyayi ala kadarnya demi sereceh dua receh rupiah. Di sudut yang lain, tampak kawanan mereka sedang melayang terbawa mimpi mencium bau aica aibon yang membumbungkan angan mereka. Entah kemana, mungkin menuju surga.

Tuta berjalan gontai sepanjang trotoar. Ia tak sadar, betapa mungkin ia akan terdampar di perempatan jalan seperti anak-anak itu. Dunia jalanan begitu liar dan kejam. Beberapa pasang mata telah mengintainya, siap menerkamnya sewaktu-waktu. Entah apa yang akan terjadi dengan dirinya kelak, jika ketakutannya pada sang ibu, benar-benar melupakannya pada gang sempit menuju rumahnya. Padahal, sepanjang malam itu seorang ibu tiada henti menangis dan memohon kepada tuhan, agar anak perempuan yang dicintainya kembali pulang ke pangkuannya.

Yogyakarta, Februari 2010

Tidak ada komentar: