Jumat, 19 Desember 2008

BELAJAT KEARIFAN DARI TIBET


Saya menulis ini karena terilhami filmnya Brad Pitt, Seven Years in Tibet. Beberapa hari lalu saya sempat meminjamnya di sebuah rental vcd. Ternyata masih ada juga film lawas ini. Sebenarnya sudah berkali-kali saya menontonnya, tetapi hanya sekilas dan tak utuh, maklum cuma di tv. So...begitu teringat kembali dengan film ini, buru-buru saya cari di beberapa rental. Saya ingin melihat kembali keheningan Himalaya dan Tibet yang menjadi latar film ini.

Film arahan sutradara Jean Jacques Annaud ini berkisah tentang petualangan seorang pendaki gunung asal Austria, Heinrich Harrer ( Brad Pitt ) yang terdampar di Tibet saat gagal melakukan pendakian ke Gunung Nanga Parbat, puncak tertinggi di Himalaya. Ia terpaksa kembali ke perkemahan bersama kawan-kawannya karena gagal mencapai puncak tersebut. Tetapi sesampai di perkemahan, Pasukan Inggris keburu menangkapnya. Waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia II. Beruntung Harrer dan kawannya, Peter Aufschnainater ( David Thewlis ) berhasil meloloskan diri dan pada akhirnya terdampar di Lhasa, kota tersuci di Tibet, selama tujuh tahun.

Di Lhasa ia berteman dan menjadi tutor Dalai Lama ke-14 ( Jamyang Wamchuk) yang waktu itu baru berusia 11 tahun, pemimpin religius tertinggi Tibet. Hubungan keduanya mempengaruhi Harrer dari seorang Austria yang egois menjadi seorang yang menemukan kedamaian. Begitu juga dengan Dalai Lama yang menjadi tahu banyak hal tentang kehidupan barat.

Dalam versi nyata, ketika Tentara China menginvasi Tibet tahun 1951, Harrer kemudian melintas ke India melalui Jalan Sikkim, tak lama sebelum Dalai Lama terpaksa melarikan diri ke India dan kemudian mendirikan pemerintahan Tibet di pengasingan. Keduanya bertemu secara periodik pada tahun-tahun sesudahnya. Dalai Lama tidak pernah menyadari masa lalu Harrer sebagai Nazi hingga muncul berita-berita di media. Dalai Lama tetap mengatakan kepada sahabatnya tersebut bahwa bila hati nuraninya bersih, maka tak ada apapun yang perlu ditakuti olehnya.

Demikianlah, pikiran saya kemudian melayang ke masa sebelum pendudukan China, dimana Tibet dikenal sebagai Negeri Atap Dunia yang menggelitik rasa ingin tahu banyak orang karena pesona keindahan alamnya di ketinggian dengan segala ketertutupan dan tentu saja kisah pemimpin spiritualnya, Dalai Lama. Seorang Dalai Lama bukanlah raja, melainkan seorang pemimpin spiritual tempat rakyatnya bernaung. Tak masalah dimanapun keberadaannya, kehadiran seorang Dalai Lama membawa ketenangan dan kestabilan dalam jiwa rakyat Tibet. Itulah satu-satunya alasan mengapa ia harus hidup, bahkan dalam keadaan terbuang.

Rakyat Tibet adalah rakyat yang terbuka, cinta damai dan kaya spiritual. Mereka mungkin tertinggal secara teknologi, karena memang tak menginginkan itu. Mereka sengaja membiarkan roda kemajuan berjalan lambat agar roda-roda spiritual berjalan lebih pesat. Mereka memilih bagal ketimbang sepeda motor, memilih layang-layang ketimbang radio control dan mereka tak rela dijajah karena mereka adalah jiwa-jiwa yang bebas.

Ada salah satu ujaran menarik dari Dalai Lama ke-14 yang mengelitik saya. Menurut beliau seluruh ajaran Sang Buddha dapat dinyatakan dalam dua kalimat. Yang pertama, "Berusahalah untuk membantu makhluk lain". Yang kedua, "Jika tidak bisa, setidaknya jangan menyakiti makhluk lain". Kedua ajaran ini didasarkan pada belas kasih. Hal lain dalam ajaran Buddha adalah kebijaksanaan, yaitu kepiawaian dalam menjalankan nilai-nilai luhur yang merupakan upaya untuk pencapaian pencerahan sempurna. Tanpa pengetahuan dan tanpa sepenuhnya mendayagunakan kecerdasan, sangatlah sulit untuk mencapai kebijaksanaan yang nyata. Belas kasih dan kebijaksanaan merupakan landasan praktik kesempurnaan untuk pencapaian ke-Buddha-an. Seseorang yang bercita-cita mencapai ke-Buddha-an harus berjuang untuk memenuhi kedua landasan ini.

Hal-hal diatas mungkin kelihatan mustahil bagi orang jaman sekarang. Betapa kita membantu orang lain karena selalu ada pamrih, mungkin untuk merengkuh jabatan, meraup banyak uang ataupun juga agar diakui keberadaan kita...hehe. Bila itu tidak tercapai kebencian dan ingin meyakiti seolah menjadi sebuah pelampiasan. Adakah sekarang ini cinta suci, cinta yang benar-benar tulus seperti diujar Sang Budha diatas ? Yah, menurut saya pribadi hakekat cinta yang sebenarnya antar sesama manusia adalah saling mengasihi, dimana hati kita akan senang bila orang lain merasakan senang dan tentu saja hati kita merasa ikut susah bila orang lain mengalami kesusahan. Weh, aneh ya...kok malah ngelantur...hehe.

Ah, saya tutup saja cerita dan lamunan tentang Tibet yang tak menentu ini : D. Tentu kita semua berharap dan berdoa agar rakyat Tibet dapat segera hidup damai seperti dulu lepas dari pendudukan bangsa asing. Semoga !



Wates, in the morning



4 komentar:

Anonim mengatakan...

bro,
tulisan ini merupakan review film seven years in tibet
atau soal tibet dan dalai lama?

Lovely Dee mengatakan...

Wah, klo saya, pertama terkesan ma aktornya yang ganteng. Hehehe...

Yah, minimal kita harus sering merefresh diri dengan ajaran cinta kasih dan semacamnya. Saya juga masih terus belajar dalam mencintai sesama nih...

Anonim mengatakan...

iya tuh film nya bagus banget.apalagi yang main om bradpitt hehehe

Anonim mengatakan...

mantab!!! "seven years in tibet" - 1998, nek ra salah, awal ku-"tersesat" dalam pendakian hidup yang tak pernah bisa dihentikan. lucu juga, akhirnya harus lebih memahami lewat film ini...tak disengaja si...

~osephe~