Pagi ini, tak seperti biasanya bapak mendekatiku dan berusaha akrab. Sudah beberapa tahun hubungan kami mendingin. Walau bernaung di bawah atap yang sama, tegur sapa kami lakukan seperlunya saja. Bapak sudah pensiun dari instansi pemerintah tempat ia mengabdikan diri selama ini. Aktivitasnya diisi dengan tidur, jalan-jalan, terkadang merawat kebun di belakang rumah dan yang tak pernah ia tinggalkan : melamun di serambi depan rumah sambil mendengarkan lagu-lagu lawas kesukaannya. Sebuah tape recorder tua yang mulai bersuara kemresek selalu setia menemani. Konon, barang itu ia beli bersama ibu di kala muda. Mereka mengikat jalinan cinta berawal dari kesukaan yang sama yakni mendengarkan lagu-lagu lewat radio. Tentang kisah cinta mereka lebih lanjut, aku kurang tahu pasti. Mungkin layaknya roman picisan remaja zaman sekarang tetapi dalam era dan suasana yang berbeda. Tak pernah aku pikirkan !
“Wan…kamu sibuk tidak hari ini ? Antarkan aku ke ibumu ! “ katanya kemudian.
“Ah, aku banyak tugas hari ini …” jawabku sekenanya.
“Aku rindu ibumu Wan. Kalau kau ada waktu, tolong antarkan bapak ke ibumu !”
“ Memangnya mau apa bapak ke tempat ibu ? Membuat ibu makin menderita ?”
Aku segera menstater motor kemudian pergi meninggalkan bapak yang masih menatapku dengan penuh pinta dan harap. Sesaat kulirik, wajah tuanya tampak memelas dan airmukanya terlihat jelas
***
Banyak orang menganggap keluarga kami adalah keluarga yang sukses. Tetapi kami menganggapnya biasa-biasa saja. Sebuah keluarga yang tidak terlalu besar dan dapat digolongkan dalam skala menengah. Bapak adalah seorang pegawai pemerintah daerah yang mempunyai jabatan cukup terpandang. Ibu adalah aktivis perempuan di partai yang pernah sangat berkuasa di era orde baru dan sudah beberapa periode ini duduk di dewan perwakilan rakyat daerah. Tiga orang anaknya, aku yang paling bungsu, juga mempunyai prestasi lumayan baik di mata warga sekitar. Kedua orang kakakku sudah berkeluarga dan tinggal terpisah, sedang aku masih setengah jalan kuliah. Mas Herman kakakku tertua berkarier sebagai pegawai negeri seperti bapak tetapi di lain daerah meski masih dalam satu propinsi. Mbak Ratih, kakakku nomor dua, seperti cita-citanya sejak kecil, menjadi guru di sebuah sekolah menengah atas. Ia bersuamikan seorang insinyur pertambangan dengan gaji yang lumayan tinggi walau harus kerja di luar pulau dengan durasi kerja setengah bulan di pertambangan setengah bulan berikutnya off. Dilihat dari luar, bukankah ini yang dinamakan keluarga sukses itu ?
Sesuatu yang terlihat ideal dari luar belum tentu terasa nyaman pula di dalamnya. Kami, anak-anaknya, merasakan hal itu. Tetapi nasehat alamarhum kakek amat membekas dihati kami : jagalah kehormatan keluarga, jangan menceritakan aib sendiri kepada orang lain. Biarlah itu menjadi rahasia keluarga. Begitulah, kami selalu menyimpan perasaan hati masing-masing. Tidak pernah protes ini itu, apalagi berkeluh kesah pada orang lain tentang masalah keluarga. Kami ingin mencetak prestasi gemilang untuk menutupi kekurangan keluarga ini. Yang terpenting, di mata umum keluarga kami tetaplah terhormat dan menjadi panutan.
Sebenarnya semua keruwetan masalah ini berawal dari keinginan ibu untuk aktif di luar rumah, salah satunya adalah ikut bergabung dalam organisasi perempuan sebuah partai besar kala itu. Bapak yang selalu lemah jika berhadapan dengan ibu, mungkin karena saking cintanya, tanpa banyak pertimbangan akhirnya mengabulkan. Ibu yang semula hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa akhirnya mulai berkecimpung di organisasi tersebut. Maka sejak saat itu, ibu mulai jarang berada di rumah menemani kami, anak-anaknya. Kegiatannya banyak diluar rumah. Entah itu pelatihan, rapat konsolidasi, bakti sosial atau kegiatan-kegiatan lain semacamnya, tak pernah kami ketahui secara pasti. Dan yang menjadi korban adalah anak-anaknya, terutama aku yang masih kecil. Hari-hariku banyak dihabiskan bersama rewang yang mulai didatangkan oleh bapak. Hanya sesekali ibu menanyakan kabar dan keadaanku di rumah. Untunglah, disela-sela kerjanya sebagai pegawai negeri yang agak nyantai, bapak bisa meluangkan waktunya untuk kami. Mengganti kasih sayang ibu yang direnggut kegilaannya berorganisasi.
Demikianlah, hari ke hari ibu semakin sering meninggalkan kami dan bapak kemudian seolah-olah menjadi bapak rumah tangga. Mengantarkan aku ke sekolah sebelum pergi ke kantor. Menemani belajar anak-anaknya. Terkadang malah memasak dan mencucikan pakaian jika rewang kami tidak datang. Anak-anaknya, terutama aku menjadi lebih dekat kepada bapak daripada ibu. Bapak menjadi tempat mengadu bila ada masalah. Bapak pula yang selalu menasehati kami agar belajar tekun supaya kelak menjadi orang yang berhasil. Pendek kata, bapak adalah orang tua jempol bagi kami.
Karier ibu di luar rumah semakin menjulang. Ibu juga kuliah lagi untuk mengejar prestise dan posisi bagus di organisasi. Jabatan pentingpun tak lama kemudian berhasil diraih. Karena posisinya yang strategis ia semakin diperhitungkan di partai politik tempat organisasi itu bernaung. Tak lama kemudian ibu pun melenggang dengan mulus sebagai anggota dewan tingkat daerah. Karena keterampilan bahasa dan kulewesannya bergaul, ibu bisa bertahan cukup lama disitu meski partai politiknya mengalami tekanan hebat di awal-awal era reformasi. Demikianlah, bapak semakin tenggelam dibawah bayang-bayang ibu.
Di dalam rumah ibu juga makin berkuasa. Ia akan marah-marah jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hati. Segala keputusan berada di tangannya. Bapak yang seharusnya menjadi kepala rumah tangga ternyata tidak bisa berbuat apa-apa jika berhadapan dengan ibu. Ibu yang keras dan bapak yang lunak, berkah atau bencana aku tidak tahu. Yang jelas, apabila bapak tidak mempunyai kesabaran yang luar biasa, aku yakin biduk rumah tangga ini sudah lama hancur. Tetapi apalah artinya sebuah bangunan rumah tangga bila di dalam penghuninya merasa panas dan tidak nyaman.
Sebenarnya aku tahu kalau ibu juga sangat mencintai bapak. Organisasi dan pergaulan lah yang merubah perangai ibu menjadi seperti itu. Aku sering mencuri-curi dengar bila ibu dan kawan-kawannya satu organisasi ngobrol di ruang depan. Mereka selalu mempersoalkan masalah kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Bicara mereka berapi-api dan selalu ingin menyerang ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan di negeri ini. Dan yang sering menjadi sasaran adalah kaum laki-laki sebagai lawan jenisnya. Laki-laki yang seharusnya menjadi mitra seolah-olah malah menjadi musuh bagi mereka. Aku yang masih kecil kadang merasa ngeri mendengar pembicaraan mereka. Ah, harus seperti itukah emansipasi ?
Ibu dan bapak memang artis sandiwara yang hebat. Di luar rumah mereka menampakkan keharmonisan yang luar biasa. Pada acara-acara tertentu, seperti menghadiri sebuah undangan ataupun hajatan keluarga terkadang mereka datang berdua. Menunjukkan kepada dunia luar, inilah keluarga yang pantas menjadi teladan itu. Tetapi sesampai di rumah, ibu kembali berkuasa dan bapak seperti biasa selalu menurut perintah dan kemauan ibu.
Ibu sekarang telah mampu membeli rumah dan mobil sendiri dari hasil keringatnya sebagai anggota dewan. Baru aku ketahui juga bahwa barang-barang mewah yang mulai memenuhi rumah ini dibeli atau hutang atas nama ibu. Sedang bapak adalah tipikal orang yang sederhana. Ia tidak neko-neko sebagai pegawai negeri apalagi korupsi. Gajinya mungkin hanya terserap habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak pernah kudengar bapak bermimpi ingin memiliki ini itu. Ia sering berpesan kepada kami, anak-anaknya, apabila membutuhkan sesuatu untuk keperluan studi jangan sungkan-sungkan untuk meminta kepadanya.
Begitulah, dari hari ke hari aku makin sayang kepada bapak. Sampai pada suatu hari terjadilah peristiwa itu. Peristiwa yang lambat laun mulai mengubah perasaan sekaligus menggerus kepercayaan kami kepada bapak. Bapak mendapat
Dan benarlah, hari-hari berikutnya borok bapak mulai kelihatan. Mulanya cuma kabar burung biasa kemudian berkembang menjadi berita besar di lingkungan kami. Bapak diisukan sering terlihat jalan berdua dengan beberapa perempuan. Kami awalnya tidak begitu menanggapinya. Ibupun seakan cuek saja. Sedang bapak, tetap begitu, selalu kelihatan lugu dan tidak berdosa. Seolah tidak terjadi apa-apa, apalagi menyangkut gosip miring tentang dirinya.
Hingga saat perempuan muda itu datang ke rumah kami. Menanyakan dan meminta pertanggungjawaban bapak. Aku yang pertama kali menemuinya sempat berang. Aku benar-benar tidak mempercayai semua ucapannya. Aku usir perempuan itu dari rumah. Tetapi hari berikutnya ia datang kembali dengan membawa amunisi yang lebih lengkap. Orangtua dan beberapa saudaranya ikut menyertai. Akhirnya, disaksikan Pak RT, bapak disidang pada hari itu. Ibu kebetulan ada di rumah. Dengan terbata-bata dan airmata berlinang bapak minta maaf dan mengakui perbuatannya. Bapak ternyata sudah lama menjalin hubungan terlarang dengan perempuan itu. Bahkan selama beberapa tahun belakangan ini bapak hidup satu atap di sebuah rumah kontrakkan tanpa kami ketahui sama sekali. Kini perempuan itu sudah beberapa bulan perutnya membesar. Ibu benar-benar shock dan hampir pingsan mendengarnya. Api dalam keluarga ini akhirnya tersulut sudah.
Bapak seperti orang bingung dan tak henti-hentinya minta ampun kepada ibu. Ibu hanya menangis sesenggukan tiada henti. Ibu yang biasanya perkasa di hadapan bapak, kini terlihat lunglai. Pengkhianatan bapak yang tiada terduga ini benar-benar mencabik-cabik dan menghancurkan hatinya. Aku tak tahu pasti apa sebenarnya yang dirasakan ibu. Kekokohan hatinya yang selama ini tak mau begitu saja dikalahkan itu seolah-olah sirna. Mungkin ini adalah tekanan terhebat dalam hidupnya.
Kami sekeluarga tidak bisa menerima perbuatan bapak. Mas Herman merasa malu dan tak mau bertatap muka lagi dengan bapak. Mbak Ratih pun demikian. Ibu sekarang telah pindah ke rumah yang dibelinya sendiri. Sesekali waktu mbak Ratih menemani saat suaminya dinas di luar pulau. Aku tak tahu mengapa ibu hanya meninggalkan bapak tanpa menuntut cerai seperti artis-artis di infotainment itu. Berat bagi keduanya, setelah seperempat abad lebih membina hubungan rumah tangga harus menerima kenyataan ini. Aku tahu ibu sangat mencintai bapak, begitu pula sebaliknya. Mungkin sudah takdir tuhan semuanya berjalan seperti ini, demikian aku sering menghibur diri. Aku tetap tinggal di rumah ini meski sebenarnya perasaanku juga terguncang hebat. Kuliahku berantakan dan sempat beberapa kali ingin mengundurkan diri.
Bapak dari hari ke hari semakin seperti orang linglung. Langkahnya hampa. Ia merasa sangat bersalah dan berdosa kepada ibu dan kami, anak-anaknya. Di masa tuanya ia harus menanggung beban yang cukup berat. Apalagi harus menafkahi anak yang telah lahir dari rahim perempuan itu. Memang perempuan itu tidak minta dinikahi, ternyata ia juga punya kekasih lain yang kemudian menikahinya. Tetapi bapak dituntut untuk membiayai anak tersebut hingga dewasa kelak. Dalam hati kadang aku menyalahkan ibu, bapak yang terdominasi kekuasaannya oleh ibu hanya kena jebak perempuan sialan itu. Seandainya ibu tidak ngotot berkarier di luar rumah, mungkin tidak akan terjadi peristiwa seperti ini. Entahlah... Aku jadi tambah pusing memikirkannya !
***
Aku pulang lebih awal siang ini. Perasaanku menjadi tak enak setelah meninggalkan bapak tadi pagi dengan penuh kesal. Aku merasa bersalah karena mengacuhkan permintaannya. Kudapati rumah kosong. Bapak tidak tampak ada di rumah. Hanya radio bapak yang bernyayi dengan serak kemresek lagu-lagu tempo dulu.
Sesaat aku mencari bapak hingga ke kebun belakang. Tak ada seorangpun disini. Tiba-tiba hpku menyala. Mbak Ratih menelepon.
“Wan…cepat kemari! Bapak kecelakaan. Sekarang ada di rumah sakit…”
Darahku terkesirap, kakiku terasa lunglai.
Tambak, 21 April 2009
6 komentar:
wah.. politik nasional dan politik keluarga ternyata sama-sama rumitnya.. salam kenal yaa.. cerpen (dan ilustrasi) yang manis banget..
Kereeeeennn!!!:)
Ini kisah nyata atau cuma fiksi doang?
knapa harus bapak yang disalahkan?
apakah perbuatan ibu yang melalaikan keluarga dan mengutamakan organisasi itu bisa dibenarkan?
@ Joddie : Thank's. Salam kenal juga.
@ Indri : Terima kasih juga. Gimana kabarnya Trans TV...hehe
@ Mas Susilo : Hehe, ya terang fiksi dong mas. Tapi mungkin nyinggung sana-sini juga. Sampeyan temannya Mas Marwanto nggih ?
@ Lebong : Namanya juga cerita bos. Harus ada yang dikorbankan sebagai antagonis. Tapi bukankah ceerpen saya itu juga berakhir mengambang ?
Met menikah semoga langgeng
Posting Komentar