Senin, 05 September 2011

MUADZIN KETUJUH

(Dimuat di Jurnas, 7 Agustus 2011)

Akhirnya aku pulang ke kampung ini. Tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Entah, sudah berapa tahun aku meninggalkannya, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, hingga beberapa tahun kemudian menetap di Jakarta sebagai salah satu pimpinan sebuah perusahaan besar. Usia memang tidak bisa dipaksakan, juga faktor kesehatan. Beberapa bulan yang lalu, aku mengajukan pensiun. Perusahaan ternyata menyetujuinya. Dengan berbagai pertimbangan matang, aku memutuskan akan menghabiskan masa tua di tanah kelahiran.

Anak-anakku sudah besar dan membangun rumah tangga sendiri-sendiri. Mereka sebenarnya tidak setuju aku kembali ke desa. Takut jika nanti terjadi apa-apa, tidak ada yang menjaga dan merawatku. Namun, tegas kukatakan kepada mereka, keputusanku ini sudah bulat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku merasa masih bisa berbuat lebih banyak lagi bagi kampung halaman, yang dari dulu sampai sekarang, tetap saja tanpa kemajuan berarti ini.

Meski dalam hati, sebenarnya aku menangis. Aku sebisa mungkin mengingkarinya dan berusaha tetap tegar di hadapan anak-anakku. Ya, semenjak kepergian Laila, isteriku tercinta, mendahului menghadap sang pencipta beberapa tahun lalu, aku seperti kehilangan separuh jiwa. Tiada lagi pendamping yang setia menemani dan memberiku pertimbangan, baik dalam keadaan suka maupun duka. Aku benar-benar goyah dan kehilangan pegangan. Untuk melupakan semua itu, jujur, sebenarnya keputusan ini kuambil.

Dan beberapa hari yang lalu, aku telah menginjakkan kaki di kampung halaman. Yang kutuju pertama kali adalah sebuah rumah baru, terletak tak berapa jauh dari masjid kampung yang cukup besar. Beberapa tahun belakangan ini, aku memang mengirim uang ke kampung, menyuruh saudara jauhku membangunkan rumah diatas tanah peninggalan orang tua. Kini, setelah hampir sempurna, rumah itu kutempati seorang diri.

Ada kebiasaan baru, yang dulu sewaktu masih bekerja di kota, jarang bahkan tidak pernah kulakukan sama sekali. Ya, aku kini menjadi rajin ke masjid yang terletak di dekat rumahku. Masjid itu, sewaktu aku pertama kali datang, walau besar tetapi tampak kotor dan tidak terawat. Jarang ada orang yang sholat berjamaah di dalamnya, kecuali pada waktu sholat Jum’at saja. Aku tahu, daerah ini adalah daerah abangan. Penduduknya mempunyai pengetahuan dan pemahaman agama yang biasa-biasa saja.

Namun, ada kisah menggelitik tentang masjid itu, khususnya tentang muadzinnya, yang membuatku penasaran dan menjadi harap-harap cemas tentang suatu hal. Ya, tentang suatu hal yang kupikirkan sejak Laila meninggalkanku.. Meski tak masuk akal, kisah itulah sebenarnya yang membuatku begitu tertambat kepada masjid itu.

Setiap pagi menjelang, suaraku yang tak terlalu merdu, membelah kampung membangunkan orang-orang untuk segera menunaikan Sholat Subuh. Seperti halnya yang dilakukan oleh enam orang pendahuluku, muadzin-muadzin itu, yang sekarang telah beristirahat dengan damai di makam belakang masjid.

***

Mula-mula aku tak begitu peduli dengan masjid itu. Beberapa waktu terakhir ini, sholatku memang rutin, tetapi lebih banyak kukerjakan sendirian di rumah. Hingga suatu hari, entah mengapa, ada yang mendorongku bertanya kepada Sarkoni, orang yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku.

“Mas Sarkoni, sepertinya ada yang aneh dengan masjid ini ? Besar tetapi kok tak terawat dengan baik. Jama’ahnya juga hampir tak ada.”

“Wah, itu ada ceritanya Pak Sambas.”

“Cerita gimana, maksud Mas Sarkoni ?”

“Begini Pak, ada kepercayaan oleh orang-orang kampung, mereka yang aktif di masjid, khususnya yang rutin azan, dapat ditebak bahwa ajal mereka sudah dekat.”

“ Kok bisa begitu ? Saya jadi bingung, Mas.”

“Benar, Pak Sambas. Ini dapat dibuktikan dari muadzin-muadzin masjid ini yang sekarang sudah meninggal.”

Aku benar-benar penasaran dengan penuturan Sarkoni. Melihat gelagatku yang ingin tahu lebih banyak, akhirnya Sarkoni mulai bercerita, tanpa kuminta.

“Dulu, pada awal-awal dibangun, masjid ini sebenarnya ramai sekali, Pak. Orang-orang kampung sini, yang minim pengetahuan agamanya, seperti mendapat kebanggaan tersendiri dengan adanya masjid ini. Tanah tempat masjid ini dibangun diperoleh dari wakaf Pak Kadus Mantan sedangkan dana dan pembangunannya dilakukan gotong royong oleh warga kampung sendiri. Alhasil, setelah masjid ini dapat berdiri dengan cukup besar, banyak pujian dari kampung-kampung lain. Warga pun antusias melakukan aktivitas keagamaan di disini.”

Sarkoni menghentikan ceritanya, mulai menyalakan sebatang rokok yang sedari tadi dimain-mainkan di jemarinya. Aku jadi tak sabar.

“Lantas ?”

“Tetapi lambat laun, ada sesuatu yang ganjil dirasakan oleh warga kampung. Setiap warga kampung yang berinisiatif menjadi muadzin, tak lama kemudian dipastikan akan meninggal dunia. Hingga kini, tidak ada yang berani mengkhususkan diri menjadi muadzin disini. Tak ada lagi yang mengumandangkan azan, memanggil warga untuk datang ke masjid. Karena itulah, lama-lama jama’ah masjid ini berkurang, bahkan nyaris tak ada sama sekali.”

Aku makin penasaran, “Masak bisa begitu sih, Mas ?”

“Bapak, boleh percaya boleh tidak, yang pasti sudah enam muadzin tetap masjid ini yang meninggal dunia. Kalau masih penasaran, Bapak boleh bertanya kepada warga lainnya.”

Memang demikianlah adanya, setelah beberapa waktu di kampung ini, aku banyak mendengar cerita tentang muadzin-muadzin itu. Mulai dari Pak Kadus Mantan (pendiri masjid), Pak Tejo Gusar (mantan pejabat kabupaten), Mbah Kasan Berahi (lelaki yang suka main perempuan) hingga Karto Kapak (preman kampung yang kemudian insyaf), sama persis dengan yang diceritakan Sarkoni. Ternyata setelah kutelisik lebih lanjut, muadzin-muadzin itu, kecuali Pak Kadus Mantan yang terkenal alim, banyak tersandung berbagai masalah dalam hidupnya. Menginjak usia senja, karena sebab yang berbeda-beda, mereka bertobat dan akhirnya khusyu di masjid hingga menghembuskan nafas terakhir. Dalam hati aku bergumam, sungguh beruntung sekali mereka. Memang seperti itulah sebenarnya yang diinginkan banyak orang. Walau dalam hidupnya banyak bergelimang dosa, tetapi dapat mati dalam keaadaan yang baik dan mulia atau khusnul khotimah.

Tiba-tiba terbersit dalam benakku, untuk mengikuti jejak mereka. Ya, bukankah masa laluku juga banyak diliputi kekelaman, tak jauh berbeda dengan mereka. Tipu daya dan keculasan sering kulakukan untuk kepentingan bisnis hingga bisa hidup makmur seperti sekarang. Lagi pula, sudah lama aku ingin menyusul Laila, isteriku yang sangat kucintai. Di dunia ini, tanpa Laila, hidupku benar-benar hampa.

Ah, mulai sekarang, akan kuhidupkan kembali toa masjid itu. Aku ingin mengumandangkan adzan setiap waktu sholat tiba. Akan kuramaikan kembali denyut nadi masjid itu. Semoga, ini merupakan jalan yang ditunjukkan Allah untuk bertemu kembali dengan isteriku di surga.

***

Maka, hari-hari berikutnya, aku mengurus masjid itu. Membersihkan bagian dalam masjid dan juga lingkungan sekitarnya yang tampak kotor. Beberapa bagian lain yang rusak, juga kuperbaiki. Peralatan dan perlengkapan yang belum ada, telah kubelikan pula. Semuanya dengan uang dari kantongku sendiri. Aku benar-benar ingin menghabiskan masa tuaku dengan merawat dan menghidupkan rumah tuhan itu dengan harapan Gusti Allah cepat pula memanggilku dalam keadaan yang benar-benar khusnul khotimah.

Setiap fajar menjelang, saat warga kampung masih terbuai mimpi, aku sudah bergegas ke arah masjid. Mengambil air wudlu, kemudian saat waktu Subuh tiba, aku bergerak mengambil toa lantas mengumandangkan adzan dengan penuh khidmat, walau suaraku tiada bisa merdu seperti muadzin-muadzin kebanyakan. Demikan juga di waktu-waktu sholat lainnya, aku melakukan hal serupa. Masjid itu kembali terdengar gaungnya. Jama’ah masjid pun mulai bertambah sedikit demi sedikit.

Aku mulai mendengar bisik-bisik warga kampung tentang keberanianku menjadi muadzin ketujuh masjid itu. Mereka sepertinya menebak-nebak dan menghitung hari, kapan kematianku tiba. Aku justru senang sekali. Aku makin giat dan khusyu beribadah di masjid itu. Aku benar-benar siap menyambut ajalku.

Waktu terus berlalu, hari berganti hari hingga berbilang tahun, namun kematian yang kunantikan tak kunjung tiba. Aku hampir putus asa. Tetapi aku tak menyerah. Kini, dalam doaku, aku lebih tekun meminta kepada tuhan supaya kematianku dipercepat. Tuhan maha mendengar, hingga saat itupun akhirnya tiba.

Subuh itu, seperti biasanya, aku mengambil air wudlu untuk menuanaikan Sholat Subuh. Ketika beranjak dari tempat wudlu masuk ke dalam masjid, mendadak keseimbanganku hilang. Tempat itu memang berlumut dan licin sekali. Aku terpeleset, kepalaku membentur tembok. Aku merasa seperti ada hantaman maha berat melanda tubuhku. Mendadak semuanya gelap. Gelap sekali. Hingga aku merasakan sesuatu yang lain. Ya, aku merasa tercerabut dari jasadku pelan-pelan, kemudian semuanya terasa ringan. Aku seperti melayang-layang di udara. Kulihat, orang-orang mulai ramai mengerubungi seonggok jasad, jasadku sendiri. Aku sekarang telah mati. Izrail telah datang menjemputku. Rohku dibawanya berputar-putar, melayang-layang bagai kapas tertiup angin, menuju surga yang kunantikan.

Aku melihat tempat itu. Ya, surga yang selama ini kunantikan. Disana, semuanya terasa berjalan dengan tenang dan damai. Aku melihat Laila, isteriku, tampak bahagia sekali. Ia tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku. Aku membalas lambaian tangannya. Aku juga seperti mengenal baik orang-orang yang wajahnya tampak cerah dan bersinar itu. Mereka adalah muadzin-muadzin pendahuluku. Mereka juga terlihat bahagia menghuni surga. Aku senang sekali, sebentar lagi, aku akan segera bergabung dengan mereka disana.

Tetapi tak seperti yang kuduga, Izrail ternyata hanya melewati surga, tak meninggalkanku di tempat teduh itu. Aku dibawanya terus melayang, hingga ke suatu tempat yang sangat mengerikan. Jurang yang begitu dalam dengan api berkobar menyala-nyala. Berkali-kali kudengar lolongan dan rintihan orang yang disiksa. Sungguh! Aku sangat takut.

“Tempatmu disini. Engkau akan menghuninya sampai beberapa waktu ?”

Aku merinding sekali. Aku tak mau tinggal di tempat ini. Rohku meronta-ronta.

“Mengapa aku ditempatkan disini, padahal aku selalu memuliakan dan beribadah di masjid setiap waktu ?”

“Benar, engkau selalu melaksanakan perintah-perintah tuhan dengan baik, tetapi niatmu keliru. Padahal, segala amal ibadah itu dihitung berdasarkan niatnya. Masih banyak kewajibanmu di dunia yang harus kautunaikan dan kau sebenarnya bisa memetik lebih banyak pahala dari itu semua. Tahukah kau, mengharap mati dan melakukan suatu perbuatan yang meyebabkan mati itu adalah dosa besar.”

Rohku semakin meronta-ronta. Aku tak mau dilemparkan ke dalam api neraka. Aku menangis, memohon kepada Izrail untuk dikembalikan ke dunia, menebus kesalahan-kesalahanku. Tetapi semuanya telah terlambat.

“Untuk sementara waktu, tempatmu di neraka, wahai manusia…”

Rohku dilemparkannya ke dalam neraka. Segala kengerian menyambutku dibawah sana. Aku menjerit panjang. Sontak aku tersadar, ketika semua mata itu memandangku dengan harap-harap cemas. Ruangan yang sepertinya kukenal betul, bukan di neraka. Aku merasa bisa menghirup udara segar. Kulihat anak dan cucuku berkumpul di sekelilingku. Anak bungsuku mendekat, matanya tampak berkabut, kemudian mengelus-elus tanganku.

“Alhamdulillah, Ayah telah sadar”

Aku seperti terbangun dari mimpi buruk. Nafasku tersengal-sengal. Rasa takutku tak juga hilang. Aku merasa banyak makhluk ghaib mengikuti hingga ke kamar ini. Mereka mengintipku dari setiap lubang yang ada dengan mata menyala-nyala menakutkan, siap menyeretku ke tempat mengerikan itu sewaktu-waktu.

Kp, Desember 2010


catatan :

muadzin : orang yang mengumandangkan adzan di masjid

2 komentar:

beni mengatakan...

kata2 nya mas... haduhhh... :D

beni mengatakan...

siapa tuh..??