(dapat ditemukan di Antologi "Kota Tanpa Wajah")
Emak tak juga pulang. Aku sudah lama menunggu. Ah, bukan lagi
menunggu seperti waktu kecil dulu, aku sering ia tinggal pergi diam-diam tiap
malam. Tetapi aku kini sudah letih menantinya, dari waktu ke waktu, hari ke
hari, dan seterusnya hingga berbilang tahun. Emak tak pernah kembali ke rumah
ini.
Malam sudah larut. Udara gerah sekali. Mungkin sebentar lagi turun hujan.
Aku hanya berdua saja dengan Maja, adikku, di rumah ini. Terdengar sayup suara
gelak tawa dari warung Yu Tum di kejauhan. Orang-orang sedang melempar kartu sambil menenggak
minuman keras. Mungkin bapak juga ada
disana. Setiap malam ia tidak pernah ada di rumah. Kata orang-orang, bapak
sibuk mengencani Yu Tum, janda muda yang genit itu.
Maja tertidur pulas, tampaknya ia kelelahan. Aku kasihan dengan
adikku itu. Ia sering menangis, menanyakan kepulangan emak. Maja rindu emak,
mengapa emak tak pulang-pulang. Aku memberikan pengertian kepadanya. Emak
sedang pergi jauh ke kota ,
mencari uang buat kita. Nanti kalau sudah terkumpul banyak, emak pasti akan kembali
dan membangunkan rumah yang bagus buat kita.
Tetapi lain dengan bapak. Bila Maja menangis dan bertanya kepadanya
tentang emak, muka bapak menjadi merah padam, diliputi amarah. Tak
tanggung-tanggung kemarahannya. Perabotan rumah pun kemudian bisa hancur berantakan
dibuatnya.
“Kamu tak punya Emak. Akulah orang tuamu satu-satunya.”
Adikku takut sekali dengan Bapak.
Aku masih ingat, bertahun lampau, ketika untuk pertama kalinya emak
pergi meninggalkan kami. Merantau ke kota .
Ada tawaran
sebagai pembantu rumah tangga dari orang kaya yang kebetulan berasal dari
desaku sendiri. Bapak mengizinkan emak mengadu nasib ke kota , demi memperbaiki keadaan ekonomi
keluarga yang tidak menentu. Bapak memang hanya seorang buruh serabutan, yang
kerjanya tidak tetap, tergantung ada atau tidak orang yang membutuhkan
tenaganya. Masih kuingat betul, waktu itu aku berumur lima tahun, sedang Maja baru berjalan dua
tahun.
Dulu, emak selalu rutin tiap bulan mengirim uang ke rumah. Jumlahnya
memang tidak seberapa, tetapi kalau saja bapak tidak punya kebiasaan buruk,
judi dan mabuk-mabukan, tentu keadaan keluarga ini bisa berubah. Punya ini itu
dan sekolahkupun bisa lancar. Bapak terus saja begitu, aku yang paling
merasakan akibatnya. Ditinggal emak dan harus merawat Maja seorang diri. Juga
perilaku Bapak yang kasar dan selalu uring-uringan jika sudah menenggak alkohol dan
kehabisan uang. Aku sering menangis dalam hati. Ingin rasanya meninggalkan rumah ini andai saja tak sayang Maja
yang masih kecil.
Awalnya, emak sebenarnya selalu menengok rumah. Walau cuma sesaat,
dua bulan sekali ia pasti pulang. Kuingat juga, dua lebaran ia selalu mudik ke
kampung. Tetapi jika emak pulang, bapak
pasti mengajaknya bertengkar. Ada
saja yang diributkan. Entah uang dari emak yang dianggap kurang atau menyoal
apa saja yang dilakukan emak di kota .
Bapak selalu curiga, emak berbuat hal yang tidak benar di sana . Kalau sudah begitu, pertengkaran hebat tak
bisa dihindari. Ujungnya-ujungnya, emak menangis dan buru-buru kembali kota . Aku kasihan sekali
dengan emak. Ia sudah bekerja keras, tetapi tidak pernah dipercayai oleh bapak.
Aku kemudian berpikir, memang lebih baik emak tidak terlalu sering menengok
rumah. Biasanya kalau tak pernah bertemu lama, hati bapak menjadi lembut
terhadap emak.
Malam terus merambat.
Kutengok jam dinding tua di ruang depan, pukul 02.00 dini hari. Tak
juga turun hujan, udara makin terasa gerah. Gelak tawa dari warung Yu Tum masih saja
terdengar. Aku kadang heran terhadap pembiaran warga kampung terhadap warung
yang nyata-nyata digunakan untuk hal yang tak baik itu. Mungkin mereka takut.
Aku pernah dengar, beberapa orang penting dari kota kabupaten sering terlihat menyambangi tempat itu.
Warung itu jugalah, salah satu yang membuat berantakan rumah tangga
bapak dan emak. Betapa tidak, bapak lebih banyak berdiam disana daripada di
rumah. Berjudi, mabuk-mabukan dan yang sering membuat emak berang kemudian menangis
sesenggukan, bapak juga suka main perempuan. Entah, sudah berapa perempuan
tidak baik yang ia tiduri. Bahkan, ketika emak masih disini, sesekali dengan
teganya bapak membawa perempuan-perempuan itu ke rumah.
Kini, sudah lima
tahun lebih, emak tak ada kabar beritanya. Ya, sejak terakhir kali emak pulang
dan memergoki bapak sedang bergumul dengan Yu Tum di dalam kamarnya. Itulah pertama kali
kulihat, emak naik pitam. Biasanya, emak selalu mengalah dan hanya menangis di
hadapan bapak. Tetapi waktu itu, kemarahannya meledak. Bagai singa betina yang ganas,
ia jambak rambut Yu Tum hingga tubuh perempuan penggoda itu terjengkang ke sudut ruangan.
Detik berikutnya, beberapa tamparan pun mendarat di muka bapak. Bapak hanya diam,
tak membalas.
“Bajingan!”, emak pergi dengan terus mengumbar kata-kata kotor.
Ya, aku ingat sekali. Aku melihat semua kejadian itu dari balik
pintu. Air mataku meleleh, entah mengapa, aku tak kuasa melangkahkan kaki
mengejar emak yang berlalu meninggalkan rumah. Sejak saat itu, emak tak pernah
kembali lagi.
Aku tahu, sebenarnya bapak sangat menyesal sejak kejadian itu. Untuk
beberapa waktu, perilaku buruknya menjadi berkurang. Ia lebih banyak di rumah,
mencoba untuk memberi perhatian lebih kepada aku dan Maja. Bapak juga beberapa
kali ke kota ,
berusaha menjumpai emak. Mungkin untuk meminta maaf. Tetapi emak terlanjur sakit
hati. Ia tidak mau menemui bapak. Sampai kemudian majikannya mengabarkan ke
kampung bahwa emak tidak lagi bekerja di tempatnya. Kata orang kaya itu, emak
pindah kerja ke sebuah pabrik yang memberinya gaji lebih besar dari yang ia
berikan selama ini.
Bapak terus melacak keberadaan emak di kota . Tetapi emak entah kemana, seperti hilang
ditelan bumi. Sampai kemudian ada beberapa orang dari desaku, yang kebetulan
bekerja di kota
dan mengenal emak, mengabarkan bahwa emak telah menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW)
di Timur Tengah. Keluarga di kampung tentu saja terkejut mendengar berita itu.
Bagaimana mungkin emak bisa sampai kesana ? Dari mana ia bisa dapat uang dan
mengurus segala keperluan untuk bekerja di luar negeri ? Aku tahu, bagaimanapun
juga biaya untuk menjadi TKW resmi di luar negeri itu tidak sedikit.
Dan memang demikianlah, emak tak ada kabar beritanya lagi. Apalagi
berkirim uang untuk keluarganya seperti dahulu. Pelan-pelan, perilaku bapak pun
kembali seperti semula. Bahkan lebih parah lagi daripada yang dulu-dulu. Setiap
malam ia tidak pernah ada di rumah. Pulang pagi-pagi dalam keadaan mabuk. Siang
hari, kalau terbangun dan tidak ada makanan, bapak juga selalu marah-marah. Kadang ia juga main
tangan kepadaku. Ah, aku benar-benar tidak betah lagi disini. Emak, mengapa
engkau tak pulang-pulang ?
Ya, kalau tak ingat Maja, aku sudah lama kabur dari rumah ini. Aku
sangat menyayangi adik lelakiku itu. Dialah satu-satunya, saudara yang
kumiliki. Kakek nenek, paman bibi, dan sauadara saudaraku lainnya, baik dari
keluarga bapak maupun emak, sudah lama menjauh dari keluarga ini. Itu semua
karena kelakuan bapak yang banyak ulah dan sering menjengkelkan mereka. Hanya sedikit tetangga kanan
kiri, yang merasa iba kepadaku dan Maja, kadang memberi bantuan tanpa kuminta.
Entah itu uang, makanan, pakaian atau kebutuhan lainnya. Walaupun sangat berarti
bagiku, aku menerimanya dengan hati-hati, jangan sampai ketahuan bapak. Kalau
sampai tahu, bapak bisa marah besar.
Aku masih ingat ketika dulu,
Maja mendapat hadiah baju koko dari Haji Sulaeman, tetanggaku yang takmir
masjid kampung. Bapak marah besar dan memukuli Maja tiada henti. Aku pasang
badan melindungi Maja. Bapak semakin marah dan berusaha juga memukulku. Aku
melawan, suasana menjadi gaduh. Akhirnya, pertumpahan darah keluarga bisa
dihindari setelah beberapa tetangga sekitar melerainya. Bapak terhina oleh
pemberian Haji Sulaeman tersebut. Bapak merasa masih mampu mencukupi kebutuhan
keluarganya tanpa bantuan siapapun. Ah, tahukah kau bapak, dari dulu harga diri
dan kehormatanmu sudah tak ada nilainya di mata tetangga-tetanga kita itu.
Azan Subuh segera membangunkan lamunanku. Pagi sebentar lagi tiba.
Aku belum juga dapat memejamkan mata. Kutengok ke dalam kamar, Maja masih
tertidur pulas.
“Arsya, bangun! Buka pintunya !” Aku tersentak. Pintu depan digedor
keras.
“Cepat! Cepat !”, suara bapak berulang-ulang, membuatku ketakutan.
Segera kubuka pintu.
“Minggir!” Bapak mengibaskan tubuhku. Bau minuman keras menyeruak
dari mulutnya. Bapak sedikit mabuk. Yu
Tum menggelayut manja di tubuhnya. Aku benar-benar
muak.
Mereka berjalan memasuki kamar. Aku merasa hal buruk akan segera
terjadi. Bapak mencengkeram tubuh adikku yang tertidur pulas dan
menghempaskannya ke lantai.
“Heh, bangun anak jadah ! Keluar sana !”
Maja terkejut. Adikku yang baru saja tertidur pulas itu
meringis-ringis. Ia tak segera keluar kamar, hanya diam. Bapak semakin marah.
Beberapa pukulan dan tendangan segera mendarat di tubuhnya. Mendadak
keberanianku tumbuh. Aku segera menghadang pukulan bapak. Sebisa mungkin, aku
berusaha membalasnya. Bapak menjadi beringas.
“Kurang ajar ! Rupanya kalian mulai berani. Dasar anak-anak jadah ! Kalian
bukan anak-anakku. Tak rugi kubinasakan kalian ! “ Bapak menyerang membabi buta
dengan terus menghina emak dan menyebut aku dan Maja bukan anaknya yang
sebenarnya. Perempuan penggoda yang dibawanya itu tersenyum sinis. Aku menjadi
semakin muak. Begitu ada kesempatan, aku segera berlari ke dapur.
Aku tak tahu, seperti ada yang meggerakan tangan dan kakiku. Yang ada
dalam pikiranku hanyalah keselamatan Maja. Detik berikutnya, beberapa tusukan
pisau segera mengarah ke tubuh bapak. Darah segar muncrat. Bapak mengerang
keras sambil mendekap dadanya. Yu Tum menjerit-jerit. Orang-orang segera datang menghambur ke dalam rumah.
Kepalaku pening, kegelapan mendarat di pelupuk mataku. Maja memeluk tubuhku
erat-erat.
***
Hampir satu tahun, aku menghuni penjara anak-anak ini. Ya, semenjak
kejadian itu. Pengadilan memutusku bersalah, telah menghilangkan nyawa orang
lain. Nyawa bapakku sendiri. Karena belum cukup umur, aku dimasukkan disini.
Sebenarnya banyak orang dan kalangan bersimpati dengan kasusku. Mereka berusaha
membebaskanku. Tetapi, aku merasa tenang tinggal disini. Seperti ada beban yang
telah diturunkan dari pundakku. Dendamku
juga telah lepas. Apalagi Maja sekarang telah
dijadikan anak asuh oleh Haji Sulaeman. Tentu ia akan baik-baik saja disana.
Siang ini, beberapa orang yang selama ini membelaku, memberitahu
bahwa emak sudah terlacak jejaknya. Beberapa hari lalu, ia mengirim banyak uang
ke alamat Haji Sulaeman untukku dan Maja. Rupanya selama ini benar, emak menjadi
TKW di Timur Tengah. Menurut kabar, tidak lama lagi ia akan pulang ke tanah
air. Aku menjadi tambah bersemangat. Aku sekarang ingin segera bebas.
Emak, akhirnya engkau pulang juga. Aku masih setia menunggumu, dari waktu ke waktu, hingga
berbilang tahun. Aku senang akan segera bertemu denganmu kembali.
***
Hari ini, aku dibebaskan. Hari begitu cerah. Burung-burung berkicau
riang, berloncatan dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Aku memasuki
pekarangan rumahku dengan pelan. Rumah ini tampak tak terawat, berantakan
sekali. Rumput liar tumbuh subur disekitarnya. Sudah beberapa bulan, aku tak
menginjakkan kaki di sini.
Salah seorang yang mengantar kepulanganku ke rumah, menggamit
tanganku, berusaha menenangkan pikir dan membesarkan hatiku. Ya, cerahnya hari
ini, tak secerah hatiku. Harapan-harapanku mendadak sirna.
Emak mungkin sebentar lagi pulang. Tetapi aku sudah membayangkan
seperti apa nanti kepulangannya ke rumah. Ada
kabar dari luar negeri, emak terkena hukuman rajam dari pemerintah setempat. Emak
dituduh berzina dengan sesama tenaga kerja dari Indonesia . Aku tahu persis, siapa
laki-laki itu. Dia adalah tetanggaku dulu, yang selalu didatangi emak tiap
malam secara diam-diam, ketika bapak tak ada di rumah. Ya, aku semakin ingat,
kala itu aku selalu menunggui emak tiap malam dan disuruh tak mengatakan hal
itu kepada bapak.
Kepalaku pusing. Semua yang ada terasa ambruk ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar