Minggu, 25 November 2007

KETIKA LEPEK MEMBACA REMBULAN



PADHANG MBULAN EUEY


wengi iki padhang mbulan.....!
takbayangake...
krisdayanti rengeng_rengeng geguritan,
ing sandinge "the rock" jingkrak jingkrak nunggang jaran kepang..
lamunane wong edan???

ing ati iki ono roso kuciwo..
jare ngaku wong jowo,nanging do ora iso honocoroko..
(padahal aku yo ora iso..he..)
sopo kang gelem nguri_uri mogobothongo?
mosok arep di_ekspor ing negoro liyo???
tempe wae(panganan ket jaman majapait) jare wis di hakpatenke jepang?
tembang rasa sayange,kok yo iso diaku tembang malasia?
lha piye maneh???
bocah kang lagi thingis....diajari "good morning"
didolani tamiya,ps,komputer....
dipakani hotdog,pizza.....
metu soko ngomah,wedi keno bledug...
sesuk sopo yo?
kang muni sugeng enjang...dolanan gobag sodor..
ngopeni thiwul growol.....
santai wae ding,isih ono wong tuwo tuwo..
lha yen kabeh kang iso do tilar donyo???

we lah,padhang mbulan tho saiki??
ah,isih kalah padhang karo neon,
mending ing njero ngomah,
iso nonton,,,, po kelon ???


( taken from blog in Landung's Friendster)

Baris-baris diatas adalah ndleming seorang Lepek melihat fenomena yang berkembang di sekitarnya. Lepek adalah nama lain Landung Widodo, seniman jalanan asal Kedunggong, Wates, Kulon Progo. Anda mungkin sudah bisa menebak, mengapa ia menyandang julukan demikian. Yah, karena badannya yang item dan pakaiannya yang selalu terlihat kumal. Walau sudah mandi seribu kali pun niscaya tak akan bisa mengubah bentuk dan penampilannya. Ia adalah spesies langka yang diciptakan tuhan dan dilahirkan ke dunia untuk Mbah Hadi Ranto sekeluarga : D. Seperti kata si Tukul, jangan melihat buku dari sampulnya. Maka lihatlah Lepek dari karya-karyanya.


Lepek mungkin tak memahami sastra atau puisi secara mendalam. Ia tak pernah membaca karya-karya sastra orang lain. Ia menulis dan bertutur untuk dirinya sendiri. Dengan menulis sisi liar imajinasinya bisa diekspresikan dengan leluasa. Mau dibaca orang atau tidak, ia tidak peduli. Yang penting ia bisa berkreasi dan berekspresi secara bebas.


Bagi Lepek menulis adalah kebebasan. Seperti halnya ketika jari-jarinya memetik gitar, kata-kata akan mengalir begitu saja huruf demi huruf ketika jari-jarinya mulai memencet keyboard komputer. Ia tak pernah mengkonsep tulisannya. Puisi-puisi yang terlahir adalah puisi yang langsung jadi, tak pernah ada kerangka dan ide yang mendahului. Idenya baru muncul ketika ia asyik di bilik warnet. Jadilah puisi Lepek puisi yang orisinil, tak terkontaminasi penyair lain. Dan yang jelas, dalam kesederhanaan puisinya terlihat sisi-sisi kepekaan dalam memotret lingkungan sekitar.


Menyimak puisi diatas, kita seperti tersadarkan betapa anak-anak dan generasi muda kita telah begitu jauh melupakan budaya asli daerahnya. Saya jadi teringat masa kanak-kanak dulu sekitar tahun 80an sewaktu bulan purnama tiba. Sehabis Isya hingga menjelang larut malam, anak-anak bermain di halaman di bawah terang sinar rembulan. Ada yang bermain gobag sodor, petak umpet, jethungan, nom tuwa dan sebagainya. Sedang anak perempuan bermain tali atupun dakon. Terasa sekali suasana keceriaan dan keriangan yang khas kekentalan lokalnya. Rasa suka cita terbawa sampai ke alam mimpi kemudian.


Kini suasana seperti itu sudah jarang kita temukan lagi, berganti permainan canggih produk barat dan budaya luar lainnya. Anak-anak lebih senang bermain playstation atau nge-game di warnet. Budaya televisi pun merampas budaya bermain anak-anak. Mereka lebih senang nongkrong di depan televisi nonton sinetron atau gosip infotainment daripada mengembangkan kreativitasnya di luar. Jadilah anak-anak ini generasi yang malas tak mau bekerja keras. Mereka selalu mendapatkan sesuatu dengan mudah tanpa melalui bayak perjuangan.


Hal-hal diatas mampu disajikan Lepek dengan jenaka. Bahkan di bagian akhir puisinya, ia menulis bahwa lebih enak kelon daripada melihat bulan purnama di luar.Lebih enak berpacaran dan bermesraan daripada menghayati kebesaran tuhan lewat keindahan rembulan purnama.


Tapi yang perlu menjadi catatan, betapa Lepek juga sudah termakan budaya asing juga. Ia lebih senang menghabiskan malamnya dengan bermain bilyard ataupun playstation hingga fajar menjelang. Sudah menjadi rahasia umum, ia adalah raja ps dan bilyard di kalangan ‘kaum’nya. Bukan begitu Kawan? : D.


Lepas dari itu, puisi Lepek mengingatkan saya betapa kita telah kehilangan masa-masa kecil dulu. Bermain gobag sodor, jethungan, nom tuwa dengan teman sebaya di waktu bulan purnama tiba. Kemana hilangnya masa-masa itu?


Gunung Mijil, 25 November 2007

Tidak ada komentar: