Rabu, 12 Desember 2007

KALAH LAGI-KALAH LAGI...CAPE DEH ?!




Kalah dan gagal lagi. Itulah timnas sepakbola Indonesia. Seolah menerima kutukan berkepanjangan, tak pernah dunia persepakbolaan kita mempersembahkan prestasi yang membanggakan. Padahal kurang apalagi? Sepakbola merupakan olahraga yang paling digemari oleh jutaan orang Indonesia, kompetisi lokal berlangsung meriah dengan bertaburan pemain asing, dana milyaran rupiah baik dari APBD maupun sponsor mengalir deras untuk jalannya roda kompetisi dan juga siang malam hampir sepanjang hari tv kita menyuguhkan pertandingan-pertandingan sepakbola baik lokal maupun internasional. Tetapi itu semua berbanding terbalik dengan prestasi yang diraih. Jadi, apanya yang salah? Pakar atau ahli sepakbola sekaliber apapun tampaknya akan pusing tujuh keliling bila disuruh memikirkan dan mencari jawaban atas fenomena sepakbola kita tersebut.

Seperti juga halnya dengan yang diperlihatkan timnas U-23 kita yang bertarung di Sea Games kali ini. Hanya membutuhkan hasil seri saja untuk lolos ke semifinal melawan tim yang notabebe sudah lolos duluan, Thailand, timnas kita tak berkutik dan keok 2-1. Padahal tim ini sudah dipersiapkan begitu panjang, bahkan pernah tampil bagus saat melakukan ujicoba selama sepekan di Argentina. Bandingkan dengan Thailand yang cuma dipersiapkan seminggu menjelang Sea Games. Mengenai mental bermain juga sudah lumayan bagus dengan semangat tinggi yang pantang menyerah sampai menit terakhir. Pelatihpun juga bagus. Ivan Venkov Kolev adalah pelatih yang sudah lama malang melintang di Indonesia sehingga sangat mengenal dan tahu betul karakteristik pemain-pemain Indonesia. Bonus jutaan rupiah juga telah menanti setiap pemain apabila kemenangan demi kemenangan dapat diraih. Tapi itu semua belum cukup untuk membangkitkan prestasi sepakbola Indonesia.

Menurut kacamata pribadi saya sebagai seorang warga negara Indonesia yang sangat menggemari bola, mungkin ada beberapa faktor yang mempengaruhi tidak bagusnya prestasi sepakbola kita. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor teknis, psikis dan juga dapat dilihat dari sisi spiritual. Dari faktor taknis dapat dilihat bahwa pembinaan pemain-pemain muda kurang optimal. Banyaknya pemain-pemain asing yang bermain di liga membuat frekuensi bermain pemain-pemain lokal berkurang. Pemain kita hanya menjadi ban serep bagi pemain asing. Lihat saja, bila setiap klub boleh memiliki sampai lima pemain, maka setiap posisi vital dalam sebuah tim sudah terisi semua oleh pemain impor tersebut. Padahal kalo dipikir-pikir, pemain-pemain asing itulah sebenarnya yang menyedot anggaran APBD begitu banyak. Mereka digaji jauh diatas rata-rata pemain lokal. Memang tak dapat dipungkiri, dengan banyaknya pemain asing membuat jalannya kompetisi berjalan megah dan meriah. Liga kita menjadi salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Tetapi, apakah kita hanya memikirkan gebyar dari luar saja, padahal dalamnya kosong??

Kemudian dari dari faktor psikis dapat dilihat bahwa mental pemain kita harus lebih dibenahi lagi. Rata-rata pemain Indonesia lebih mengedepankan emosi dalam bermain. Ini dapat terlihat dari begitu banyaknya tindak kekerasan di lapangan hijau. Memprotes wasit sambil mendorong dan mengubernya hingga lari tungganglanggang sudah jamak terlihat. Apalagi bila penonton juga tersulut emosinya, aksi lempar batu pun tak bisa dihindari. Jadilah menonton sepakbola Indonesia kadang seperti di neraka. Ini semua sebenarnya tak bisa lepas dari mental bangsa Indonesia zaman ini secara keseluruhan. Memang setelah era kebebasan bergulir, terlihat sekali bahwa kita terserang euforia yang berkepanjangan. Segala hal dianggap baik dan bebas tak berbatas apalagi nanti bila dikaitkan dengan HAM. Mungkin kita memang sedang dalam masa transisi pencarian jatidiri bangsa setelah sekian lama kran kebebasan tersumbat. Sepakbola adalah cermin kecil dari wajah kekerasan bangsa kita dewasa ini. Membenahi mental sepakbola Indonesia akan berhasil bila mental bangsa kita secara keseluruhan mulai berangsur membaik kembali.

Yang mungkin banyak dilupakan orang adalah faktor spiritual. Ini mungkin juga merupakan gambaran secara umum bangsa kita juga. Sebagai bangsa yang mengaku bertuhan dan beragama ternyata banyak sekali kelakuan kita yang jauh dari nilai-nilai luhur agama. Korupsi, kolusi dan semacamnya merajalela di negeri ini. Seperti halnya di tubuh PSSI sendiri disinyalir banyak kolusi dan uang haram yang beredar. Ini misalnya terlihat dari keputusan-keputusan komisi disiplin PSSI yang kadang tidak sesuai fakta di lapangan dan malah merugikan sportivitas sepakbola itu sendiri. Yang lebih menggelikan lagi sekarang ini PSSI dikendalikan dari dalam penjara. Nurdin Halid, sang ketua umum PSSI, tersandung masalah korupsi lagi sehingga harus mendekam di penjara. Tokoh ini memang hobi keluar masuk bui. Mungkin karena kharismanya yang begitu tinggi, tak seorangpun mampu mendongkelnya dari tampuk kepemimpinan. Bahkan ancaman FIFA pun tak mamapu melengserkannya. Melihat hal tersebut, saya jadi berpikir jangan-jangan duit pembinaan sepakbola kita itu juga bernilai haram di mata tuhan. Kegagalan yang berkepanjangan ini semata-mata karena tuhan tidak ridla dengan kelakuan kita. Siapa tahu??

Demikianlah sekedar keluh kesah saya sebagai orang Indonesia yang mendambakan memiliki tim nasional sepakbola yang kuat dan mampu berbicara banyak di dunia internasional. Tulisan ini dibuat dengan hati geram setelah menyaksikan kekalahan timnas U-23 melawan Thailand dalam Sea Games kali ini. Semoga ke depan kita tetap bersemangat terus membangun sepabola Indonesia walau memang itu tak mudah...

Tambak,....

Tidak ada komentar: