Jumat, 07 Desember 2007

KETIKA NGONTHEL MENJADI TREND


Ajakan untuk kembali menoleh sepeda sebagai alat transportasi yang sehat dan menyehatkan kini berkembang sebagai trend di berbagai daerah. Banyak kantor atau instansi baik pemerintah maupun swasta yang menganjurkan pegawainya untuk menggunakan sepeda pada hari-hari tertentu sewaktu berangkat ataupun pulang kantor. Umumnya mereka membentuk semacam klub atau perkumpulan yang secara rutin mengadakan kegiatan bersepeda bersama-sama.

Secara idealistis, kampanye penggunaan sepeda patut dihargai apabila didasari komitmen kuat dan sistematis untuk membangun hidup yang sehat. Baik bagi penggunanya maupun sebagai kontribusi kepada lingkungan. Jika bisa dilakukan secara massal dan konsisten, dapat dibayangkan berapa persen polusi udara dapat dikurangi dari kemungkinan penggunaan kendaraan bermotor. Sekaligus juga tercakup praktek penghematan bahan bakar minyak.

Yang perlu diperhatikan kemudian adalah fasilitas-fasilitas penunjang agar pengguna-pengguna sepeda mempunyai ruang yang cukup memadai di sepanjang ruas jalan. Arus lalu lintas yang campurbaur antara sepeda dengan kendaraan-kendaraan ataupun pengguna jalan lain akan membuat jalanan menjadi semrawut tak karuan. Selain itu sangatlah membahayakan keselamatan pengguna jalan. Lihatlah, kepadatan Jalan Parangtritis ataupun Jalan Bantul di waktu pagi dan petang saat banyak pengguna sepeda melintas beriringan dengan sepeda motor dan mobil. Seringkali terjadi gesekan atau benturan yang bisa mengakibatkan kecelakaan fatal. Oleh karena itu perlu dibuat kebijakan yang berpihak pada ketersediaan jalur-jalur khusus bagi sepeda.

Negeri Belanda adalah contoh yang baik bagi kita. Di sana pengendara sepeda mempunyai jalur khusus yang disebut fietspad. Sepeda bukan sekedar alat angkut alternatif, melainkan telah menjadi pilihan yang diapresiasi sebagai kebutuhan. Telah tertanam kesadaran hidup sehat dengan lingkungan yang sehat. Di masyarakat kita, kultur transportasi masih dihadapkan pada realitas kendaraan sebagai pencitraan diri, prestise, bahkan dikelola sebagai gaya hidup, bukan didasari kebutuhan praktis dan pilihan apresiatif yang bersentuhan dengan lingkungan.

Saya sendiri sebenarnya sudah lama tidak mengayuh sepeda. Dilema perjalanan menuju tempat kerja yang sangat jauh membuat saya mengesampingkannya. Hanya pada event-event tertentu, seperti waktu ada sepeda gembira atau pengin putar-putar keliling kampung sekedar menghilangkan kejenuhan. Badanpun tak sekuat dulu. Mengayuh sepeda sedikit saja kaki ini capenya minta ampun. Mungkin karena terlalu lama terbuai kenikmatan menunggangi kekasih setiaku, my lovely Supra...whakaka.

Saya pun jadi teringat masa-masa sekolah dulu ketika pulang pergi naik sepeda. Waktu itu sepeda merupakan alat transportasi yang banyak digunakan. Sepeda motor masih menjadi barang yang mewah. Lain dengan sekarang, hampir setiap keluarga memiliki sepeda motor, bahkan setiap anggota kelurga memilikinya sendiri-sendiri. Betapa asyik dan nikmatnya kala itu. Sekali dua kali bersama-sama teman-teman ke Jogja atau Parangtritis ngonthel beramai-ramai. Sebuah kenangan kecil yang sangat indah dan menyenangkan. Entah kemana kawan-kawanku dulu itu sekarang…?

Lepas dari itu semua, bila saja konsep back to cycle ini bukan hanya trend semata, tentulah sangat menjanjikan bagi berkurangnya polusi di sekitar kita. Jogjakarta yang dulu dikenal dengan kota sepeda sudah selayaknya kembali memberi ruang bagi pengguna sepeda. Setidak-tidaknya dengan itu kita sudah berperan bagi terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat.

Terban, 07 Desember 2007

Tidak ada komentar: