Sabtu, 05 Januari 2008

ANGKRINGAN...




ANGKRINGAN

Lapar mengajak saya ke warung angkringan
di pinggir jalan. Tuan pedagang angkringan
sedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang,
kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.
Saya makan dua bungkus nasi kucing.
Saya bikin kopi sendiri. Ambil rokok sendiri.
Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannya
untuk tuan saja,” kata saya dalam hati.
Lalu saya pulang. “Selamat tidur pejuang.”
Tuan pedagang angkringan terbangun.
“Tunggu jangan tinggalkan saya sendirian!”
Setelah semuanya ia bereskan, ia paksakan saya
segera naik ke atas gerobak angkringan
“Berbaringlah Tuan. Saya antar Tuan pulang”
Amboi saya telentang kenyang
diatas gerobak angkringan yang berjalan pelan
menyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam.
Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringan
menuju rumah impian nun di seberang.
Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibu
Sedang meninabobokan anaknya dalam ayunan :
Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang

( Joko Pinurbo )


Puisi diatas adalah salah satu karya Joko Pinurbo (Jokpin), penyair yang sangat saya hormati dan kagumi, dimuat di Harian Kompas Minggu tanggal 23 Desember 2007. Menceritakan tentang interaksinya dengan seorang pedagang angkringan. Angkringan... yah angkringan. Orang biasa menyebutnya dengan kucingan atau juga kafe ceret telu, sebuah fenomena tempat makan malam hari yang murah meriah, dimana kita bisa ngobrol ngalor ngidul tentang segala hal sepuasnya, khas Jogjakarta.

Bagi saya sendiri, angkringan seperti rumah kedua. Disitu segala kepenatan dan beban kerja seharian dapat saya lepaskan. Minum wedang jahe, kopi panas ataupun teh hangat disertai gorengan ringan dan tentu saja satu atau dua bungkus sego kucing plus beberapa lencer rokok ketengan. (...tetapi kalo ngrokok sekarang sudah jarang-jarang, sejak diknock out oleh batuk berkepanjangan beberapa tahun silam...) Juga ditambah swiwi, pupu atau malah beberapa tusuk sate bila duit di kantong ini masih memungkinkan. Sambil ngobrol dan guyon sekenanya sampai hampir larut malam. Kadang dalam hangat dan riuhnya obrolan-obrolan itu saya mendapat pelajaran dan pencerahan hidup. Selain itu hampir seluruh tulisan maupun karya saya tercipta beride awal dari sini.

Menurut penuturan keluarga pengangkring, sejarah angkringan sendiri bermula dari sosok Mbah Pawiro, lelaki asal Cawas, Klaten. Sekitar tahun 1950-an ia mengusung dua pikulan ting-ting hik dan menggelar dagangannya di emplasemen Stasiun Tugu Jogjakarta. Mbah Pawiro dengan teriakan “...iyek!!!”, dianggap sebagai generasi pertama penjaja angkringan di Jogja. Sekitar tahun 1969 dagangan itu diwariskan Mbah Pawiro kepada Siswo Raharjo, putranya. Setahun kemudian, Siswo Raharjo yang biasa dipanggil Lik Man, memindahkan dagangannya ke depan stasiun, dan lima tahun kemudian pindah lagi ke Jalan Bumijo, persis di sebelah utara Stasiun Tugu. Di tangan Lik Man inilah angkringan mencapai kesuburannya, dan menjadi bagian dari legenda Kota Jogjakarta. Seniman-seniman Jogja seperti Butet Kertaredjasa, Djadug Ferianto, Emha Ainun Nadjib, Bondan Nusantara dan Marwoto pernah menghabiskan malam di Angkringan Lik Man.

Kini, angkringan telah menyebar luas di Jogjakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Hampir di tiap-tiap sudut kota terdapat angkringan. Saat ini, diperkirakan terdapat 1000 buah angkringan dengan 1200an pedagang serta lebih dari 30000 warga kampung penyuplai makanan angkringan.

Angkringan yang terkesan pinggiran telah menjadi penanda kehidupan malam di Jogjakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Di sanalah bermula ide-ide segar, konsep-konsep lawakan, tempat aksi demonstrasi direncanakan, tempat munculnya ide skripsi dan penelitian, tempat meramal nomor buntut (dulu), diskusi politik, ataupun ngobrol biasa sekenanya. Para pedagang angkringan bukan hanya sebagai penjaja, tetapi juga teman ngobrol para pembeli. Minimal, mereka menjadi saksi dan pendengar yang baik. Hubungan penjaja dan pembeli ini, lebih dari sekedar hubungan ekonomi melainkan hubungan pertemanan. Tak heran bila semua penjaja angkringan dipanggil dengan sebutan akrab lik (paman). Sebut saja Lik Man, Lik Dul, Lik Doyo, Lik Min, Lik Har, Lik Iman...hehehe dan masih banyak lik-lik lainnya.

Setiap orang punya angkringan favorit sendiri-sendiri. Menu boleh sama, tetapi suasana akan memberi nuansa yang berbeda. Hampir seluruh angkringan di Jogja dan Wates, tempat kelahiran saya, pernah saya sambangi. Yang terfavorit dan terbaik versi saya tentu saja angkringan Lik Iman, sang penakluk malam, karib saya. Letaknya cukup strategis yakni di pinggir jalan besar yang menghubungkan Wates dengan Purworejo, tepatnya di depan Masjid Agung Wates Kedunggong. Di sana kita bisa kongkow-kongkow sambil melihat mobil dan motor lalu lalang berseliweran di depannya. Sesekali mungkin bisa kita dengar juga petikan gitar seniman-seniman padhang mbulan seperti Lik Landung Lepek ataupun Lik Wahid Rejo yang berwajah sangar tapi berhati lembut...hehe. Buat Lik Iman dan Padhang Mbulan, ni sudah tak promosikan lewat blogku gratis tis tis ndak usah bayar....whakaka.

Lepas dari itu semua, angkringan adalah wujud sebuah gerakan ekonomi rakyat bawah yang bersumber dari kearifan lokal yaitu tepo seliro dan biso rumongso (bisa menghayati perasaan orang lain) seperti yang diperlihatkan para lik-lik tadi. Sebagai sebuah penanda lokalitas sudah selayaknya fenomena angkringan ini dilestarikan atau jikalau memungkinkan dijadikan kekuatan ekonomi yang signifikan. Jangan sampai trend penggusuran suatu saat merembet pula ke area lik-lik ini. Hernando de Sotto , seorang pakar ekonomi, mengingatkan bahwa menata hak-hak atas kekayaan yang selama ini liar merupakan cara yang paling manjur untuk menyukseskan pengembangan ekonomi. Ia secara global menganjurkan agar mengubah seluruh kekayaan rakyat yang selama ini menjadi kekayaan mati menjadi kapital atau modal. Dan saya rasa angkringan dengan segala romansanya menjadi bagian dari itu semuanya.

Salam hangat buat para pengangkring dan komunitas angkringan semuanya.....

Tulisan ini saya dedikasikan kepada Lik Iman Subekti, sang penakluk malam. Sukses selalu dengan segala usaha-usahanya. Nuwun sewu, kemarin tak bisa ikut sowan Merapi. Suatu saat kita susun rencana baru yang lebih solid. OK prend !!

Wates city, 05 Januari 2007.

Tidak ada komentar: