Malam hingga seharian kemarin, saya benar-benar betah nongkrong di depan tv. Kalo biasanya akhir pekan selalu saya habiskan untuk melototin bola di layar kaca, kemarin ada tontonan yang lebih hebat daripada itu. Ya...sebuah tontonan sejarah. Bisa juga dikatakan sejarah sedang terjadi. Jenderal Besar Suharto, mantan presiden kita yang paling lama, berpulang ke rahmatullah. Setelah beberapa hari berjuang mempertahankan hidup di RSPP, beliau akhirnya wafat pada Hari Minggu kurang lebih jam satu lebih sepuluh menit Minggu siang kemarin.
Entah mengapa saya begitu tertarik mengikuti perkembangan Pak Harto, mulai dari sakit, dirawat di rumah sakit, kemudian wafat hingga akhirnya disemayamkan di Astana Giribangun. Mungkin karena kharisma dan kontroversi yang melingkupinya. Mungkin juga karena pemberitaan yang begitu besar dari media hingga seakan-akan kematian beliau selalu menjadi hal yang eksklusif. Berhari-hari wartawan mengepung RSPP. Menunggu sang jenderal menjemput ajal. Aneh juga, kalo dipikir-pikir. Baru kali ini terjadi di dunia. Detik-detik kematian seseorang disiarkan live oleh semua stasiun tv di sebuah negeri.
Ada hal menarik yang saya amati dari peristiwa meninggalnya Pak Harto ini. Semua stasiun televisi menyiarkannya non stop tanpa henti sampai beliau dimakamkan . Yang lebih wah lagi, mereka juga menghadirkan komentator-komentator handal dalam setiap sesi. Seperti layaknya pertandingan bola saja, komentator tersebut bicara ngalor ngidul mengenai Pak Harto mulai dari sejarah hidupnya, jasa-jasanya sampai tentu saja dosa-dosanya yang banyak dihujat belakangan ini. Maka demikianlah, orang-orang seperti Cak Nun, Amien Rais, Fadjroel Rahman sampai beberapa mantan aktivitis mahasiswa menjadi komentator baru diakhir pekan bersaing dengan komentator-komentator bola di acara lain.
Banyak pelajaran berharga saya ambil dari situ. Bukan hanya dari sejarah hidup Pak Harto yang panjang tetapi juga dari ulasan komentator-komentator tadi yang banyak menyingkap sisi hidup Pak Harto dari sisi metafisis. Sebuah hal yang amat saya sukai meskipun saya adalah seorang yang sangat rasional. Cerita-ceita mistis, khususnya Jawa, adalah hal yang sangat menarik untuk disimak. Disana terdapat pengetahuan tentang keselarasaan hidup hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan tentu saja manusia dengan penciptanya. Disana terdapat juga filsafat-filasafat agung tentang sebuah kepemimpinan. Sesuatu yang menarik untuk disandingkan dengan pemikiran-pemikiran rasional dan modern anak-anak muda sekarang.
Dalam salah satu komentarnya, Fachri Ali, memberikan komentar sekaligus tesis yang mengelitik saya. Menurut penelitiaannya, penguasa-penguasa Jawa mendekati masa-masa akhir hidupnya cenderung lebih dekat dengan tuhannya. Ia mengadakan penelitian di Kulon Progo bahwa dulu ia pernah berkenalan dengan seorang kepala desa disana. Sang kepala desa ini sangat sekuler dan njawani sekali. Di depan rumahnya terdapat sebuah langgar, walau begitu ia tidak pernah menjamahnya. Setiap petang, ia hanya memandang orang-orang di depannya beribadah sambil asyik menghisap rokok kesukaannya. Sepuluh tahun kemudian, ketika kembali kesana. Sang kepala desa ternyata telah berubah menjadi orang yang taat dan aktif di langgar. Begitu juga dengan Pak Harto, walau terkenal sangat njawani, di akhir hayatnya beliau perlahan-lahan mulai menghijau.
Saya jadi teringat, orang-orang di sekitar saya. Benar juga omongan pengamat politik ini. Betapa dulu, Mbah Kasan, Mbah Amat dan beberapa orang tetangga saya meninggal dalam masa tua sebagai orang yang taat di mesjid. Mereka menjadi tukang azan dan jamaah mesjid yang aktif walau dalam masa mudanya terkenal sebagai orang yang sangat abangan. Sampai-sampai ada guyonan bahwa orang-orang tua yang menjadi muadzin di masjid saya, dapat ditebak akan segera mendekati ajal.
Wah...kok ngelantur. Banyak sebenarnya yang ingin saya tulis tentang Pak Harto dari sisi kepemimpinan dan kejawennya. Sayang, saya keburu ada urusan jadi harus cepat-cepat kabur dari warnet. Belum ada kesimpulannya juga ni tulisan. Suatu saat saya sambung lagi. To be continued aja dech...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar