Senin, 07 Januari 2008

UANG VS KESETIAAN

Era kapitalisme telah menggerus nilai-nilai sebuah kesetiaan. Di zaman yang serba materi ini, segala sesuatu diukur dengan uang. Kesetian kepada negara, kesetiaan kepada janji, kesetiaan kepada pasangan dan kesetiaan-kesetiaan lain berantakan terganjal oleh barang yang satu ini.

Di sini saya hanya akan berbicara tentang kesetiaan di dunia sepakbola, sesuatu yang benar-benar saya ketahui. Mungkin ini juga bisa jadi cermin bagi kita dalam menjalani hidup. Bukankah sepakbola merupakan ‘kehidupan mini’ dimana disana terdapat begitu banyak tamsil kehidupan?

Tidak ada kesetiaan yang kekal dalam sepakbola modern. Uang, bisnis dan ketenaran bermain dan berperan besar disana. Dulu, Thiery Henry dan Patrick Viera seolah menjadi ikon bagi Arsenal. Kedua nama itu begitu melekat dengan nama besar Arsenal. Seolah tidak akan ada Arsenal bila tidak ada keduanya. Kini, seiring dengan berjalannya waktu, keduanya memilih jalannya sendiri-sendiri. Berpindah ke klub lain yang menjanjikan uang dan ketenaran berlimpah. Viera berlabuh ke Inter Milan sedang Henry ke Barcelona. Kini, selepas ditinggal senior-seniornya, ternyata Arsenal membuat sensasi yang mengejutkan. Young guns binaannya melejit luar biasa melebihi pendahulu-pendahulunya. Hingga saat ini mereka masih kokoh di singgasana Premier League mengungguli Manchester United, Chelsea maupun Liverpool. Nama Viera dan Henry yang dulu melegenda di kalangan fans Arsenal kini lambat laun mulai menghilang dan digantikan bintang-bintang muda yang bersinar seperti Cesc Fabregas, Adebayor maupun Theo Walcott. Merekalah kini pahlawan-pahlawan di Emirates Stadium.

Begitulah sepakbola. Kesetiaan dan kepahlawanan selalu beralih dari waktu ke waktu. Sekarang ia dipuja dan disanjung sebagai pahlawan di klubnya suatu saat ia akan dicaci, dibenci ataupun dianggap musuh bila pindah dan bergabung ke klub lain. David Beckam, Zinedine Zidane, Ronaldo, Shevchenko dan banyak bintang besar lainnya pernah mengalaminya. Tapi yang perlu dicatat, mereka adalah profesional sejati. Di setiap jejak klub yang dibelanya paling tidak ada prestasi dan kebanggan yang diukir untuk fans setianya. Dalam lembaran sejarah yang lebih panjang, tentulah nama mereka dicatat dengan tinta emas.

Sepakbola modern juga tidak lagi mengenal nasionalisme sempit. Sudah umum bila sebuah tim nasional suatu negara dilatih oleh pelatih asing. Bahkan, negeri yang katanya merupakan nenek moyangnya sepakbola seperti Inggris saja dilatih oleh pelatih asing, Don Fabio Capello, yang notabene orang Italia. Padahal dalam kancah sepakbola dunia, Inggris dan Italia merupakan dua negara yang bersaing ‘panas’, baik dalam ajang kompetisi maupun meriahnya liga.

Ada yang lebih ‘mengerikan’ lagi. Suatu negara menaturalisasi pemain asing menjadi warga negara agar dapat memperkuat tim nasionalnya. Sebenarnya itu menguntungkan kedua belah pihak, baik pemain atau negara yang bersangkutan. Lihatlah Deco yang notabene orang Brasil lebih memilih memperkuat Portugal daripada tanah kelahirannya. Bila ia tetap bertahan ingin masuk skuad Tim Samba, belum tentu ia dapat menikmati atmosfer Piala Dunia. Terlalu banyak pemain bertalenta tinggi yang menghuni skuad Brasil. Sedangkan di Portugal persaingan untuk masuk timnas tidak seketat Brasil. Portugal lebih menjanjikan kesempatan daripada Brasil.

Lihatlah juga negara tetangga kita Singapura yang secara besar-besaran merekrut pemain asing untuk memperkuat timnasnya. Alhasil, timnas mereka mampu bersaing dengan tim-tim mapan di Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia. Sedang Indonesia sendiri dulu pernah berencana menaturalisasi beberapa pemain asing hebat di Liga Indonesia agar dapat bermain untuk timnas PSSI. Tetapi rencana itu lambat laun menghilang seiring banyaknya pro dan kontra yang mengiringi.

Di level klub pun demikian. Sudah tidak mengherankan bila Arsenal yang notabene klub Inggris ataupun Inter Milan yang notabene klub Italia memainkan sebelas pemain asing dalam sebuah pertandingan. Walau yang bermain kesemuanya adalah pemain asing tapi animo publik setempat untuk memberikan dukungan kepada tim kesayangannya tetaplah tinggi, tidak berkurang sedikitpun.

Itulah sepakbola modern. Profesionalitas, kesetiaan, uang dan gurita bisnis selalu bersanding bersama. Tidak ada kesetiaan dan nasionalisme yang kekal dalam sepakbola. Mungkinkah itu juga merupakan cermin dari kehidupan kita secara nyata? Entahlah. Yang jelas semua itu, baik kesetiaan maupun nasionalisme, telah mengalami perubahan makna seiring perubahan zaman...

Wates city of soccer ( i hope someday ), 07 Desember 2007

Tidak ada komentar: